Syariah

Niat Mandi Wajib Setelah Haid dan Tata Caranya

Sab, 16 Maret 2024 | 15:30 WIB

Niat Mandi Wajib Setelah Haid dan Tata Caranya

Ilustrasi mandi wajib. (Foto: NU ONline/Freepik)

Haid merupakan siklus bulanan yang dialami oleh kalangan perempuan. Jika darah haid berhenti, seorang muslimah diwajibkan melakukan mandi janabah atau junub untuk menghilangkan hadats besar. Mandi wajib terdiri dari dua rukun, niat dan meratakan air ke seluruh tubuh.

 

Berbeda dengan mandi biasa, mandi wajib memang perlu mendapatkan perhatian lebih. Imam An-Nawawi Al-Bantani dalam kitab Sullamul Munajat merincikan kedua rukun ini dan hal-hal yang harus diperhatikan ketika mandi wajib sebagai berikut:

 

و(فروض الغسل) أي أركانه للحي واجبا كان أو مندوبا (اثنان الأول: نية الطهارة للصلاة أو رفع الحدث الأكبر) فإن ترك التقييد بالأكبر كفي، وإن نوى الغسل فقط فلا (أو نحوهما) كنية الغسل للصلاة ورفع جنابة، وأن لم يعين سببها (بالقلب) كما في الوضوء (مع أول جزء يغسل من بدنه) مفروض لا مندوب كباطن فم وأنف، فلو اقترنت النية بمفروض من البدن كفي ولو من أسفل البدن ولو حالة استنجائه، لأن بدنه كعضو واحد فلا ترتيب فيه (فما غسله قبلها) أي النية (لا يصح فيجب إعادة غسله بعدها) أي النية

Artinya, “Adapun fardhu mandi yakni rukunnya, baik mandi wajib atau mandi sunnah, itu ada dua; (pertama) niat bersuci untuk shalat atau niat menghilangkan hadas besar) jika dalam lafal niat tidak menyebutkan ‘untuk menghilangkan hadas besar’ tidak mengapa, tapi jika hanya ‘meniatkan mandi’ saja tidak cukup. Atau cukup dengan niat mandi untuk shalat dan untuk menghilangkan janabah, sekalipun tidak menentukan sebab mandi.

 

Adapun tempat niat mandi di dalam hati, sebagaimana niat wudhu, bersamaan dengan basuhan pertama anggota badan yang wajib bukan yang sunnah seperti membasahi bagian dalam mulut dan hidung. Niat saat basuhan pertama pada badan itu sah sekalipun basuhan dimulai dari bawah sekalipun saat istinja, karena badan itu satu kesatuan sehingga tidak perlu berurutan.

 

Adapun yang dibasuh sebelum niat maka tidak sah sehingga wajib mengulang mandinya setelah niat yang diucapkan.”(Imam Nawawi, Sullam Munajat ‘ala Safinah as-Shalat, [Beirut, Dâr Kutub al-Islamiyah: t.t.], halaman 35)

 

Niat Mandi Wajib

Berdasarkan penjelasan Imam Nawawi Al-Bantani tersebut, setidaknya ada tiga poin penting yang sering luput dari perhatian. Ketiga poin tersebut yaitu: 

 

Pertama, niat harus diucapkan dalam hati bersamaan dengan saat pertama kali mengguyurkan air ke badan. Adapun niat yang diucapkan dalam lisan bertujuan untuk memantapkan sesuatu yang dii’tikadkan dalam hati. 

 

Kedua, tidak cukup meniatkan mandi saja contohnya; nawaitul ghusla (saya niat mandi). Tapi, harus disertai melafalkan niat yang menjelaskan bahwa mandi yang dilakukan adalah mandi wajib, contohnya; nawaitul ghusla fardhan lillahi ta’ala (aku mandi fardhu karena Allah ta’ala). Bisa juga dengan lafal yang lebih lengkap, nawaitul ghusla liraf’il hadatsil akbari lillahi ta’ala (aku niat mandi untuk menghilangkan hadas besar karena Allah ta’ala)

 

Ketiga, niat diucapkan saat basuhan pertama pada anggota badan. Jika baru ingat untuk niat setelah pembasuhan atau di tengah-tengah basuh maka tidak sah dan wajib mengulang basuhan sebelumnya.

 

Adapun lafal niat mandi wajib setelah haid adalah sebagaimana berikut:

 

نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ مِنَ الْحَيْضِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

Nawaitu ghusla liraf’il hadatsil akbari minal haidhi fardhan lillaahi ta’aalaa.

 

Artinya: “Aku niat mandi untuk menghilangkan hadas besar disebabkan haid karena Allah Ta’ala.”

 

Meratakan air

Di samping niat, meratakan air ke seluruh badan juga sama pentingnya karena merupakan rukun mandi wajib setelah haid. Masih dalam kitab yang sama, terdapat keterangan yang menyatakan bahwa air harus dipastikan mengalir ke seluruh anggota badan, termasuk sela-sela kuku, rambut, telinga dalam, dan daerah kewanitaan yang terlihat saat jongkok.

 

Itulah niat dan tata cara mandi wajib setelah haid yang mesti dilakukan oleh seorang muslimah. Setelah mandi wajib, seseorang kembali menjadi suci dari hadats besar dan berlaku kembali kewajibannya sebagai umat Islam, seperti shalat, puasa, dan ibadah lainnya. Wallahu a’lam.

 

Ustadzah Suci Amalia, Pengajar Ma’had Al-Jamiah UIN Jakarta.