Syariah

Lima Jenis Pengalaman Perempuan Haid dalam Fiqih Thaharah

Sel, 27 September 2022 | 18:00 WIB

Lima Jenis Pengalaman Perempuan Haid dalam Fiqih Thaharah

Wanita memiliki pengalaman berbeda dalam mengalami menstruasi/haidh. Setidaknya ulama fiqih mendokumentasikan lima jenis haidh

Permasalahan-permasalahan seputar haid sangatlah sensitif bagi perempuan yang tidak mengetahui dan memahami siklus pendarahan dengan benar. Sebab, jika wanita tidak memahaminya, besar kemungkinan semua ibadah yang dilakukannya akan rusak, dan semua tindakannya akan terjerumus pada perbuatan haram.


Hal itu dikarenakan sangat banyak hal-hal yang boleh dilakukan bagi wanita, namun menjadi tidak boleh jika dalam keadaan haid. Oleh karena itu, sangat penting bagi para wanita khususnya, dan laki-laki pada umumnya untuk memahami ilmu yang satu ini, agar segala ibadah dan perbuatannya tidak terjerumus pada praktik yang diharamkan.


Dalam hal ini, setelah penulis menjelaskan seputar keadaan dan hukum murajaah Al-Qur’an bagi wanita haid, kini penulis akan menjelaskan pembagian wanita ketika sedang mengalami pendarahan. Hal ini penting untuk dimengerti, karena tidak semua darah yang keluar dari kemaluan wanita bisa dikatakan sebagai darah haid.


Syekh Syamsuddin Muhammad Abul Abbas ibn Syihabuddin ar-Ramli (wafat 1004 H), dalam kitabnya mengatakan bahwa wanita yang sedang mengalami pendarahan terbagi menjadi beberapa bagian, di antaranya, yaitu: (1) Mubtadaah mumayyizah; (2) Mubtadaah Ghairu Mumayyizah; (3) Mu’tadah Mumayyizah; (4) Mu’tadah Ghairu Mumayyizah; (5) Mutahayyirah; dan lain sebagainya. (Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, [Beirut, Darul Fikr: tt], I/341).


Pertama, Mubtadaah Mumayyizah

Mubtadaah mumayyizah adalah wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haid, dan ia bisa membedakan warna darah antara yang kuat dan lemah. Dengan demikian, darah yang kuat dihukumi haid selama tidak melebihi batas paling lamanya haid, yaitu 15 hari, dan tidak kurang dari batas minimal haid, yaitu 24 jam. Sedangkan darah yang lemah dikatakan istihadhah (darah penyakit), jika keluarnya melebihi batas minimal haid (15 hari).


Sedangkan syarat seorang wanita yang sedang mengalami pendarahan bisa dikatakan Mumayyizah apabila memenuhi 4 syarat, yaitu: (1) Darah kuat tidak kurang dari 24 jam; (2) Darah kuat tidak lebih dari 15 hari dan malam; (3) Darah lemah tidak kurang dari batas minimal masa suci, yaitu 15 hari. Syarat ketiga ini berlaku jika darah yang keluar terus-menerus tanpa henti, dan jika terputus-putus, maka syarat ini tidak berlaku; dan (4) Darah lemah keluar secara terus-menerus. Maksud terus-menerus dalam hal ini adalah tidak terputus oleh darah kuat. (Sayyid Abdurrahman as-Saqaf, al-Ibanah wal Ifadhah fi Ahkamil Haidh wan Nifas wal Istihadhah, [Maktabah Kanz Hikmah: tt], halaman 63-64).


Kedua, Mubtadaah Ghairu Mumayyizah

Menurut Sayyid Abdurrahman, mubtadaah ghairu mumayyizah bisa digambarkan dengan dua hal, (1) Wanita yang pertama kali mengeluarkan darah haid melebihi batas maksimal haidh dengan satu sifat, misal hitam saja, atau merah saja; dan (2) Wanita yang pertama kali haidh melebihi batas maksimal, dan darah yang keluar dengan warna yang berbeda, namun tidak bisa membedakan warna darah yang keluar.


Dalam hal ini, yang dianggap sebagai darah haidh hanyalah satu hari satu malam pertama saat mengalami pendarahan, sementara hari selanjutnya dianggap sebagai darah istihadhah. (Abdurrahman as-Saqaf, 72).


Ketiga, Mu’tadah Mumayyizah

Mu’tadah adalah wanita yang sudah pernah mengalami haidh dan masa suci. Sedangkan mu’tadah mumayyizah adalah wanita yang pernah mengalami haidh dan memiliki adat kebiasaan masa haidh, kemudian keluar darah kuat melebihi adat biasanya, dan disusul dengan darah lemah. Dalam hal ini, yang dihukumi sebagai haidh adalah darah yang kuat, sekalipun melebihi adat haidhnya, sedangkan darah yang lemah dihukumi istihadhah. (Abdurrahman as-Saqaf, 73).


Keempat, Mu’tadah Ghairu Mumayyizah

Mu’tadah ghairu mumayyizah adalah wanita yang sudah pernah mengalami haidh dan suci, kemudian mengeluarkan darah melebihi batas maksimal haidh (15 hari) dengan satu warna darah, atau beberapa warna hanya saja ia tidak bisa membedakan warna darahnya, serta tidak memenuhi beberapa ketentuan-ketentuan tamyiz sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam hal ini, masa haidh dan masa sucinya dikembalikan pada adat kebiasaannya. Sebagaimana ditegaskan,


وَحُكْمُهَا أَنَّهَا تُرَدُّ اِلَى عَادَتِهَا فِي الْحَيْضِ وَالطُّهْرِ


Artinya, “Adapun hukumnya (mu’tadah ghairu mumayyizah), dikembalikan pada kebiasaannya dalam menentukan haidh dan sucinya.” (Abdurrahman as-Saqaf, 76).


Kelima, Mutahayyirah

Mutahayyirah adalah wanita yang sudah pernah mengalami haidh dan suci darinya, kemudian mengalami pendarahan kembali. Hanya saja, ia lupa pada kebiasaan (adat) haidhnya, baik dari segi waktu atau pun kadaranya, atau karena lupa pada permulaan keluarnya darah. Ia juga tidak bisa membedakan warna darahnya. Sedangkan penyebab seorang wanita bisa dikatakan mutahayyirah (bingung) adalah karena lupa, sembrono, atau alasan lainnya, seperti sakit, gila, dan alasan-alasan yang lain.


Dalam hal ini, wajib bagi wanita yang sedang dalam keadaan mutahayyirah untuk berhati-hati (ihtiyath). Sebab, darah yang keluar saat itu tidak bisa dipastikan haidh, tidak pula bisa dipastikan istihadhah. Oleh karena itu, ia dihukumi sebagai wanita haidh dalam beberapa hal, dan dihukumi wanita suci dalam hal-hal yang lain,


مَعْنَى الْاِحْتِيَاطِ: أَنَّهَا كَالْحَائِضِ فِي أُمُوْرٍ وَكَالطَّاهِرِ فِي أُمُوْرٍ


Artinya, “Maksud berhati-hati (bagi wanita mutahayyirah) adalah: ia seperti wanita haid dalam beberapa hal-hal (yang diharamkan), dan seperti wanita suci dalam hal-hal lain (yang diwajibkan).”


Maksud sama dengan wanita haidh dalam beberapa hal adalah wanita mutahayyirah diharamkan enam hal, sebagaimana yang diharamkan bagi wanita haid, (1) bersenang-senang antara pusar dan lutut; (2) membaca Al-Qur’an di luar shalat; (3) menyentuh mushaf; (4) membawa mushaf; (5) diam dalam masjid; dan (6) lewat di dalam masjid.


Sedangkan yang dimaksud sama dengan wanita suci dalam beberapa hal adalah ia wajib mengerjakan 5 hal yang diwajibkan bagi wanita suci, yaitu: (1) shalat; (2) thawaf; (3) puasa; (4) boleh untuk dithalak; dan (5) mandi besar. (Abdurrahman as-Saqaf, 77).


Demikian penjelasan seputar mubtadaah, mu’tadah, dan mutahayyirah perihal wanita yang sedang mengalami pendarahan. Wallahu a’lam.


Ustadz  Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur