Syariah

Nilai-nilai Islam dalam Pancasila

Sab, 2 November 2019 | 15:30 WIB

Nilai-nilai Islam dalam Pancasila

(Ilustrasi: NU Online)

Pancasila adalah dasar negara Indonesia. Pancasila memang bukan syariat, tapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya senapas dengan syariat. Sila-sila yang terkandung di dalamnya, adalah senapas dengan syariat. Karena keberadaannya yang senapas ini, maka Pancasila termasuk nota kesepahaman yang Islami. Bagaimana mungkin hal itu terjadi?

 

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan landasan teologis dari negara Indonesia. Sila pertama ini bersifat menjiwai keempat sila lainnya, menjadi cermin bagi konsepsi tauhid sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an Surat Al-Ikhlas. Nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, dipandang mampu mewadahi semua etnis, suku, dan golongan yang terdapat di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

 

Secara tidak langsung, nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila juga merupakan cerminan bahwa para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia, yang mayoritas adalah beragama Islam, sangat memahami keragaman yang ada di wilayah Indonesia dan memasukkan kaidah universal ajaran Islam ke dalam sila-sila Pancasila tersebut sebagai solusi jalan tengah (wasathan). Untuk itu, sangat layak bila kemudian disematkan bahwa Pancasila itu sangat Islami, karena senapas dengan pengamalan ayat:

 

وكذلك جعلناكم أمة وسطا لتكون شهداء على الناس ويكون الرسول عليكم شهيدا

 

Artinya, "Demikianlah Kami menjadukan kalian sebagai umay penengah agar kalian menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kalian" (QS al-Baqarah [2] : 143)

 

Dengan kata lain, menurut ayat di atas, Pancasila yang dirumuskan oleh para founding fathers yang terdiri atas mayoritas muslim, adalah hasil produk uji coba pertama kali pengamalan Islam Wasathiyah (Islam moderat) dalam konteks kenegaraan dan kebangsaan.

 

 

Di dalam hukum Islam, dikenal ada dua istilah hukum, yaitu hukum wadl’i dan hukum taklifi. Hukum wadl’i merupakan hukum situasional. Sementara hukum taklifi merupakan hukum yang menyangkut beban individu per individu yang kaitannya dengan pertanggungjawaban pribadi kepada Sang Khaliq. Dalam konteks kenegaraan, hukum wadl’i juga sering disebut sebagai hukum positif. KUHP, Undang-Undang, dan segala peraturan yang menjadi turunannya, seluruhnya disebut sebagai hukum wadl’i. Demikian pula dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi acuan pelaksanaan hukum pernikahan dan pembagian waris. Hal ini disebabkan ketentuan yang berlaku di dalamnya di susun menurut konteks zamannya dengan pertimbangan nilai universal yang dijaga secara bersama-sama.

 

Yang sering jadi perdebatan adalah: bisakah hukum wadl'i masuk dan mempengahi pelaksanaan hukum taklifi? Di sini sebagian ulama mengatakan tidak bisa. Sebagian yang lain, mengatakan bisa. Pandangan yang mengatakan bisa ini dinilai sebagai yang lebih realistis khususnya dalam menghadapi pertarungan politik. Misalnya untuk beberapa masalah yang krusial mengenai penerapan syariat, semacam Perda Syariat dan sejenisnya. Atau untuk menghadapi dikenalkannya beberapa nilai-nilai syariah ke dalam hukum positif lewat undang-undang (taqnin).

 

Di dalam sebuah kitab, hasil kolaborasi dari Dr. Jamal 'Athiyah dan Dr. Wahbah Zuhaili, disajikan sebuah dialektika perdebatan mengenai diskusi taqnin hukum syariah menjadi hukum positif atau sebaliknya menganggap bahwa hukum positif sebagai bagian dari hukum syariah. Beliau berdua menuliskan didalamnya sebuah pendapat dari Dr Thariq al Busyra, sebagai berikut:

 

وقد قدم المستشار طارق البشري بحثا مهما في مؤتمر عقد في قطر تحدث فيه باسهاب عن هذا الأمر وهو يرى أن كثيرا من القوانين الوضعية الحالية تتفق في الحكم مع احد الآراء الفقهية في مذهب من المذاهب وهو يري إسناد الحكم القانوني إلى الرأي الفقهي الذي يتفق معه بما يجعل له إساسا فقهيا ويقطع صلته بمصدره الوضعي الأجنبي

 

Artinya: "Seorang pakar hukum kenamaan, Thariq al-Busyra, suatu ketika pernah menyampaikan wacana yang penting sekali untuk dicermati dalam Forum Muktamar di Qatar. Beliau menyajikan dengan sangat impresif mengenai masalah satu ini, yaitu pandangannya tentang sejumlah produk hukum positif negara yang bisa dicocokan isinya dengan salah satu pendapat fiqih madzhab. Ia menyampaikan lebih jauh bahwa upaya menyandarkan hukum perundang-undangan kepada pendapat fiqih yang disepakati, bisa terjadi dengan jalan fiqih tersebut dijadikan sebagai landasan produk hukum dan memutus pengaruh situasional yang berasal dari faktor luar" (Jamal Athiyah dan Wahbah al-Zuhaily, Tajdidu al-Fiqh al-Islamy, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 40).

 

Pendapat ini sebenarnya menghendaki bahwa produk hukum fiqih ada kemungkinan untuk diintroduksikan ke dalam hukum wadl'i (hukum positif) negara, namun harus melalui mekanisme taqnin, yaitu pembahasan lewat parlemen melalui proses politik yang berlaku di suatu negara. Nah, kaitannya dengan Pancasila, Pancasila disusun atas dasar proses politik itu, terbukti dengan pengubahan sila pertama dari isi Jakarta Charter (Piagam Jakarta) menjadi berbunyi sila Ketuhanan Yang Maha Esa setelah memperhatikan delegasi dari Indonesia Timur. Apakah pengubahan ini menyalahi produk hukum fiqih? Jika dilihat dari dhahir bunyi kalimat Sila Pertama Pancasila ini, ternyata substansi sila tersebut tidak menyalahi konsepsi tauhid yang bersifat universal. Dalam hal ini, para founding fathers lebih memilih mengambil substansi dibanding cap, dengan tujuan utama menghindari terjadinya perpecahan anak bangsa.

 

Walhasil, tidak ada masalah bahwa Indonesia tidak bisa disebut sebagai Negara Islam. Karena yang terpenting dalam agama adalah substansi dan hakikat pengamalannya, bukan sekadar platform atau cap semata namun justru menghasilkam mudlarat yang besar bagi bangsa. Jargon kaidah yang musti dikedepankan dalam hal ini adalah seumpama kaidah berikut:

 

النزول من المثل الأعلى آلى الواقع الأدنى

 

Artinya: "Turun dari langit idealisme menuju realitas bumi yang lebih dekat" (Abdullah ibn Ibrahim al-Anshary, al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Muqaddamât li al-Mu'tamar, Beirut: al-Mansyurât al-Maktabah al-'Ashriyah, 1981 M: Juz 6, halaman 37-38).

 

Mekanisme permusyawaratan yang disampaikan dalam sila ke-4 Pancasila juga disebutkan sebagai musyawarah/perwakilan. Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa mekanisme ini dilakukan dengan jalan dua pertiga anggota musyawarah hadir (kuorum). Dari dua pertiga ini, keputusan musyawarah apabila tidak bisa disepakati oleh peserta musyawarah, maka tata cara pengambilan keputusan dilakukan dengan jalan voting, dan keputusan diambil dengan persetujuan separuh dari anggota yang hadir plua satu. Apakah ini bertentangan dengan syariat? Sudah pasti tidak.

 

Syariat Islam banyak yang menyebut bahwa pendapat yang lebih banyak diikuti oleh ulama adalah pendapat yang diikuti. Mana mungkin ada penyebutan lebih banyak tanpa adanya kuantifikasi? Bahkan dalam beberapa kaidah penggalian hukum yang sering dijadikan dasar pedoman. Seumpama istilah ijma', pendapat jumhur, pendapat aktsar. Semua pernyataan ini adalah dalil logika praktis bagi diperbolehkannya voting dalam syariah.

 

Sampai di sini, sudah jelas bukan, bahwa Pancasila memang bukan syariat. Namun nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila ternyata sangat Islami. Wallahu a'lam bi al-shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

 

 

-----------

Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dan Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo