Syariah

Sistem Ketatanegaraan dalam Islam, Bagaimana Bentuknya?

Kam, 31 Oktober 2019 | 12:15 WIB

Sistem Ketatanegaraan dalam Islam, Bagaimana Bentuknya?

Dengan kemunculan nation-state ini, bermunculan pula banyak dinamika baru yang dihadapi para pemikir keislaman. (Ilustrasi: Stanford News)

Sejarah mencatat bahwa terdapat banyak sistem ketatanegaraan yang diselenggarakan di dunia ini. Pertama, negara teokrasi. Sistem ini terbentuk seiring adanya keyakinan dari warga negaranya bahwa pemimpin tertinggi negara merupakan utusan yang dikirim oleh Tuhan dan mendapat mandat kepemimpinan.

 

Kedua, sistem monarki. Sistem ini lahir dengan kekuasaan absolut dan mutlak ada di tangan raja. Kelak kemudian, di era modern, sistem ini berangsur berubah menjadi sistem monarki moderat, meskipun juga masih ada yang mempertahankan pola keabsolutan itu. Contoh dari sistem monarki absolut adalah Kerajaan Arab Saudi. Sementara, contoh dari sistem monarki moderat adalah beberapa tampilan dari negara persemakmuran dewasa ini, seperti Malaysia, Inggris, Singapura, Australia, dan Selandia Baru. Ketiga, sistem autokrasi. Sistem ini hampir menyerupai sistem monarki absolut, dengan kekuasaan mutlak ada di tangan seseorang. Keempat, sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, kekuasaan sepenuhnya ada di tangan rakyat.

 

Adanya banyak variasi bentuk dan sistem negara ini merupakan sinyalemen bahwa tidak ada konsep tata negara yang bersifat baku di dunia ini. Seluruhnya merupakan konsep ijtihadi, dengan kekuatan hukum yang bersifat dhanni (relatif).

 

Dalam catatan sejarah Islam, pasca-wafatnya Baginda Rasulillah SAW, konsep kekhalifahan beberapa kali mengalami perubahan. Pengangkatan Khalifah Abu Bakar Al-Shiddiq merupakan representasi dari pemerintahan yang dibentuk atas dasar musyawarah mufakat (al-syura) sebagai cikal bakal demokrasi. Sementara itu pengangkatan khalifah kedua, yakni khalifah Umar ibn Khathab, merupakan representasi dari sistem monarki absolut, karena dilakukan melalui penunjukan dan penobatan.

 

Saat khalifah ketiga hendak diangkat, mulai muncul istilah ahl al-halli wa al-'aqdi yang ditunjuk oleh sahabat Umar ibn Khathab agar melakukan persiapan guna melangsungkan suksesi kepemimpinan. Imam al-Suyuthy dalam Tarikhu al-Khulafa dan Syeikh Ramadhan al-Buthy dalam Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah ma'a Mûjiz li Târîkh al-Khilafah al-Râsyidah sering menyebut istilah Ahl al-Halli wa al-'Aqd ini sebagai Ahl al-Syurâ. Penyebutan ini memiliki landasan bahwa mereka yang duduk dalam majelis AHWA yang berjumlah 6 orang sahabat, merupakan representasi dari upaya kompromi politik. Langkah kompromi ini dipilih agar tidak lahir friksi di kalangan umat. Hasil akhir dari kompromi politik ini adalah terpilihnya Sayyidina Utsman ibn Affan radliyallahu ‘anhu atau yang biasa dipanggil Dzu al-Nurain sebagai pemegang tampuk pimpinan kekhalifahan umat Islam, bergelar Amîr al-Mukminin, sebuah gelar yang disandang untuk kali pertamanya oleh Sayyidina Umar ibn Khathab dan dilanjutkan pada periode Utsman ibn Affan.

 

Jika ditelusuri lebih jauh, bahwa terpilihnya Sayyidina Utsman ibn Affan ini, secara tidak langsung telah terjadi pergeseran kembali pada sistem kekhalifahan. Yang asalnya dari Syura, berubah menjadi monarki, lalu ke sistem perwakilan (Ahlul Halli wal Aqdi). Saat Sayyidina Ali ibn Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, sistem pemerintahan kembali berubah seolah menyerupai sistem teokrasi. Bahkan kemudian pasca terjadinya perjanjian Daumatu al-Jandal, yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali Ibn Abi Thalib, sistem pemerintahan dalam Islam berubah drastis menjadi sistem mamlakah (Monarki Absolut) dengan tampilnya sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan sebagai Khalifah dari Dinasti Ummayyah untuk yang pertama kalinya.

 

Berdasar catatan sejarah, sistem monarki absolut dengan ciri khas kekuasaan berlangsung turun-temurun ini bertahan hingga abad ke-19. Tumbangnya kekuasaan monarki absolut ini ditandai oleh runtuhnya kekuasaan Turki Utsmany. Sejak saat itu, sistem ketatanegaraan berubah drastis menjadi sistem negara bangsa (nation state) yang bertahan hingga saat ini.

 

Praktis dengan melihat pasang surut sejarah kekhalifahan ini, tidak ada satu pun sistem ketatanegaraan di dunia ini yang bersifat baku, khususnya dalam dunia Islam. Orientasi para sahabat dalam mendirikan pemerintahan adalah semata karena memandang unsur maslahah bagi masyarakat. Demikian pula setelah generasi para sahabat hingga kemudian kemunculan wacana nation-state di abad ke-19 M.

 

Ketiadaan bakunya sistem kekhalifahan ini melahirkan sebuah kesimpulan, bahwa:

 

الأصل في المعاملة إباحة حتى يدل الدليل على خلافه

 

"Hukum asal muamalah itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya."

 

Maksudnya adalah, bahwa ketatanegaraan merupakan bagian dari mu'amalah. Oleh karenanya, boleh melakukan ijtihad terhadapnya. Karena merupakan bagian dari sistem mu’amalah, maka sistem ketatanegaraan bukan termasuk bagian dari rukun iman yang bersifat mutlak dan qath’iy. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah lahirnya relatifitas yang disepakati di kalangan ulama’ guna menyikapi realitas yang tengah terjadi. Dari sini kemudian lahir konsepsi qa'idah furu'-nya yaitu:

 

المعاملة طلق حتى يعلم المنع

 

"Hukum melakukan muamalah itu sifatnya bebas, sampai dijumpai adanya dalil pencegah kebolehannya."

 

Maksudnya, adalah bahwa karena ketiadaan sistem baku ketatanegaraan dalam sejarah periwayatan nash, maka membentuk sistem negara dengan model apa pun hakikatnya adalah bebas. Yang tidak diperbolehkan dalam pendiriam negara itu adalah memberikan legalitas halal terhadap perkara yang diharamkan, atau bahkan sebaliknya menghalalkan perkara yang haram.

 

Dengan kemunculan nation-state ini, bermunculan pula banyak dinamika baru yang dihadapi para pemikir keislaman. Berbekal dinamika ini, para fuqaha kontemporer menjadi terpicu untuk melakukan kaji ulang terhadap beberapa teks keagamaan, sehingga lahir rumusan baru wacana keislaman dalam konteks negara bangsa (nation state)..

 

Dalam rangka melahirkan rumusan baru, selanjutnya para fuqaha melirik terhadap konsep maqashid al-syari'ah yang sudah berkembang di dunia Islam. Menurut konsep ini, disepakati bahwa tujuan utama syariat Islam adalah mewujudkan lima penjagaan, yaitu hifdh al-dîn (penjagaan agama), hifdh al-nasl (penjagaan keturunan), hifdh al-mâl (penjagaan harta), hifdh al-nafs (penjagaan jiwa) dan hifdh al-'aql (penjagaan kehormatan). Belakangan Ibn 'Asyur menambahi kelima penjagaan ini dengan hifdh al-'irdhi (penjagaan kehormatan). Dengan demikian, ke-5 penjagaan berubah menjadi 6 objek penjagaan.

 

Hadirnya negara memiliki mandat berupa menjaga nilai universal maqashid al-syariah itu. Untuk itu didapati rumusan, bahwa bentuk negara hakikatnya adalah bukan merupakan tujuan (ghayah). Ia hanya merupakan wasilah (instrumen). Dengan demikian bisa dipahami, bahwa bergonta-gantinya sistem ketatanegaraan di era khalifah al-rasyidah adalah semata karena para sahabat memahami bahwa negara merupakan wasilah (instrumen) bukan ghayahghayah (tujuan).

 

Melalui pemahaman ini, selanjutnya dapat ditarik konklusi yang masuk akal jika di dalam teks wahyu, konsep dan bentuk negara serta sistem ketatanegaraan ini tidak disebutkan secara tersurat (dhahir nash) dan rinci (tafshili) dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits. Sebaliknya, justru malah teks wahyu banyak berbicara hanya mengenai soal negara dan sistem pemerintahan secara global (ijmaly) dan universal saja. Cermin dari keuniversalan ini sebagaimana terungkap dari konsep al-syura (musyawarah), al-'adalah (keadilan), al-huriyah (kebebasan), dan al-musawah (kesetaraan). Walhasil, teknis kenegaraan adalah diserahkan kepada manusia untuk menyusunnya, yang penting tetap menjaga nilai universalitas syariat tersebut. Wallahu a'lam bish shawab.

 

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh Pesantren Hasan Jufri Putri, Pulau Bawean Gresik, Jawa Timur

 

 

-----------
Artikel ini diterbitkan atas kerja sama antara NU Online dan Direktorat Jendral Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo