Syariah

Pesan Imam Al-Ghazali Terkait Peristiwa Karbala

Kam, 19 Agustus 2021 | 10:30 WIB

Pesan Imam Al-Ghazali Terkait Peristiwa Karbala

Imam Al-Ghazali mengingatkan terkait peristiwa musibah 10 Muharram di Karbala agar kita mengucapkan istirja', “innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘un”, dan berhusnuz zhan bahwa mereka yang menjadi korban di Karbala mendapatkan ampunan dan rahmat Allah. 

Imam Al-Ghazali memasukkan peristiwa musibah Karbala yang menimpa cucu Nabi Muhammad saw dalam keutamaan Hari Asyura (10 Muharram) pada karyanya, Mukasyafatul Qulub al-Muqarribu ila Hadhrati 'Allamil Ghuyub fi Ilmit Tashawwuf.


Imam Al-Ghazali menerangkan beberapa amalan pada hari Asyura di dalamnya. Ia menyebutkan beberapa hal yang dianggap sunnah oleh masyarakat, yaitu puasa hari Asyura, memperluas nafkah untuk keluarga, sedekah, bercelak, mandi, memasak bebijian, mengenakan minyak rambut, mengenakan parfum, dan peringatan peristiwa Karbala.


Semua kesunnahan pada hari Asyura itu diseleksi terkait kualitas periwayatannya dan sikap yang wajar dalam menyikapinya. (Imam Al-Ghazali, Mukasyafatu Qulub, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2019 M/1440 H], halaman 311-312).


Hadits “Sedekah satu dirham pada hari Asyura berbanding 700.000 dirham” didukung riwayat yang mungkar. Mandi pada hari Asyura yang dapat menghilangkan penyakit juga masuk kategori hadits maudhu'. Sedangkan bercelak pada hari Asyura tergolong bid'ah. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 311-312).


Musibah yang menimpa Husein ra pada 10 Muharram di Karbala merupakan syahadah (syahid) yang menunjukkan penambahan kemuliaan dan derajatnya di sisi Allah serta kepergiannya menyusul derajat tinggi ahlul bait.


Adapun kita yang hari ini diingatkan pada peristiwa musibah 10 Muharram di Karbala itu tidak lain dianjurkan untuk istirja' (mengucap “innā lillāhi wa innā ilayhi rāji‘un”) sebagaimana perintah agama dan berhusnuz zhan bahwa mereka yang menjadi korban di Karbala mendapatkan ampunan dan rahmat Allah sebagaimana firman-Nya pada Surat Al-Baqarah ayat 157. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).


Imam Al-Ghazali berpesan agar kita menjauhi cara-cara dan bid’ah kelompok Rafidhah dalam mengenang peristiwa 10 Muharram di Karbala, yaitu meratap, menangis, atau bahkan melukai diri karena itu bukan akhlak orang yang beriman. Seandainya cara-cara itu disyariatkan, niscaya hari kematian Rasulullah saw lebih layak diperingati demikian. (Al-Ghazali, 2019 M/1440 H: 312).

 

*


Ketika Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan wafat (berkuasa pada 41-60 H), putranya Yazid bin Muawiyah (penguasa Bani Umayyah yang berkuasa pada 60-64 H) dibaiat oleh penduduk Syam sebagai khalifah.


Yazid kemudian mengirim utusan ke Madinah untuk menuntut pengakuan atas kekuasaannya. Husein bin Ali bin Abu Thalib  (58 tahun) dan Abdullah bin Zubair menolak pembaiatan tersebut. Keduanya meninggalkan Madinah pada malam hari menuju Makkah.


Abdullah bin Zubair tidak mau berbaiat dan tidak juga memproklamirkan diri sebagai khalifah. Sedangkan Husein bin Ali dikirimi surat oleh loyalisnya di Kufah atau Irak. Ia kemudian bermusyawarah dengan sebagian sahabat Rasul yang masih hidup ketika itu. Tetapi tekad Husein untuk menuju Kufah tidak terbendung.


Abdullah bin Abbas ra menangis atas kepergian Husein. Demikian juga Abdullah bin Umar ra. Sedangkan Husein ra berangkat bersama sekelompok keluarganya laki-laki, perempuan, dan anak-anak ke Irak pada 10 Dzulhijjah 61 H.


Yazid bin Muawiyah meminta gubernur Iraq, Ubaidullah bin Ziyad, untuk menumpas rombongan Husein ra. Sebanyak 4.000 pasukan di bawah kendali Umar bin Sa’ad bin Abu Waqash mengepung dan membunuh Husein bin Ali bin Abu Thalib ra. (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, [Kairo, Darul Ghaddil Jadid: 2007 M/1428 H], halaman 203).


Sebagian dari mereka memukul kepala Husein bin Ali ra dengan pedang, memanah dan memenggal lehernyan pada 10 Muharram 61 H. Mereka juga menghabisi 72 pengikut loyal Husein bin Ali ra yang mengiringinya di Karbala, Irak.


Ibnu Qutaibah menyebut 90 orang laki-laki dan perempuan pengiring Sayyidina Husein bin Ali ra. (Ibnu Qutaibah, al-Imamah was Siyasah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 2009 M], juz II, halaman 184). Wallahu a’lam. (Ustadz Alhafiz Kurniawan)