Tasawuf/Akhlak

Imam Al-Ghazali: Hakikat Cinta, Macamnya dan yang Berhak dicinta

Kam, 8 Juli 2021 | 09:00 WIB

Imam Al-Ghazali: Hakikat Cinta, Macamnya dan yang Berhak dicinta

Allah yang layak dicinta

Berbicara cinta, artinya berbicara sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahkan, sejak zaman Nabi Adam ‘alaihissalâm sampai kelak hari kiamat datang, pembahasan tentang cinta tidak akan selesai. Setiap generasi mempunyai bahasan menarik dan pelik tentangnya. 

 

Islam sebagai agama paripurna, juga andil membahas topik ini. Islam mengatur tentang cara bercinta, dan siapa yang layak dicinta. Bahkan, tidak jarang kita temukan jargon, “Islam sebagai agama cinta.” Juga banyak manusia menemukan jati diri dan bangkit, bahkan menemukan bakat yang selamanya terpendam dalam dirinya karema cinta. Meskipun tidak sedikit pula dengan cinta orang justru kehilangan akal sehat dan melakukan berbagai kejahantan yang sangat tidak manusiawi atas nama cinta. 

 

Hujjatul Islâm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihyâ’ Ulûmiddîn menjelaskan satu bab khusus tentang cinta (mahabbah). Mulai dari dalil-dalil cinta, hakikat, sebab, dan siapa yang berhak mendapatkan cinta. 

 

Dalil-dalil Cinta

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang berbicara cinta. Begitu pun dengan hadist Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, bahkan keimanan paling sempurna adalah iman yang dilandasi cinta. Tanpa cinta, keimanan hanya sebatas nama tanpa makna. Allah berfirman:

 

وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ

Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

 

Hadist Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam juga tidak kalah menarik ketika membahas cinta:

 

يَا رَسوْلَ اللهِ، مَا الإيْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلهُ أَحَبَّ إلَيْكَ مِمَّا سِوَاهُمَا. (رواه أحمد)

Artinya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud iman? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: “Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih Kamu cintai daripada selain keduanya.” (HR. Ahmad)

 

Dengan cinta, orang akan menjadi istimewa di sisi Pencipta. Tanpa cinta, ia tidak lebih sekadar seorang hamba yang tidak mempunyai nilai lebih di sisi Tuhan. Imam Al-Ghazali menulis kalam hikmah yang disampaikan Syekh Sari As-Saqathi, tokoh sufi pertama kota Baghdad:

 

تُدْعَى الْأُمَمُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِأَنْبِيَائِهَا عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ. فَيُقاَلُ: يَا أُمَّةَ مُوسَى وَيَا أُمَّةَ عِيسَى وَيَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ غَيرِ المُحِبِّيْنَ لِلهِ تَعَالَى. فَإِنَّهُم يُنَادُوْنَ: يَا أَوْليَاءَ اللهِ هَلُمُّوا إِلىَ الله سُبْحَانَهُ فَتَكَادُ قُلُوبُهُم تَنْخَلِعُ فَرْحًا

Artinya, “Kelak di hari kiamat, semua umat akan dipanggil menghadap Allah sesuai dengan nama nabinya. Maka dikatakan: ‘Wahai umat Musa, wahai umat Isa, wahai umat Muhammad’, kecuali para pecinta Allah, maka mereka akan dipanggil: ‘Wahai kekasih Allah, kemarilah menghadap Allah subhânahu wa ta’âla’. Maka seketika hati mereka hampir terceraiberai karena bahagia (sebab panggilan itu).” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, [Bairut, Dârul Ma’rifah, 2010], juz IV, halaman 295).

 

Menyimak penjelasan di atas, cinta menjadi salah satu hal penting dalam Islam. Dengannya, orang akan mempunyai nilai keimanan yang lebih di sisi Tuhan. Seolah, cinta menjadi kewajiban secara tersirat yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang sudah mempunyai keimanan secara mantap. Bagaimana tidak, dengan cinta nilai ibadah dan ketaatan seseorang akan semakin sempurna, sedangkan ketaatan merupakan salah satu cabang dari cinta itu sendiri. Tentu, untuk bisa melakukan ketaatan secara sempurna harus melalui cinta terlebih dahulu. Lantas apakah yang dimaksud cinta?

 

Hakikat Cinta dan Klasifikasinya
Menurut Imam Al-Ghazali, yang perlu dipahami sebelum membahas hakikat cinta adalah pengetahuan dan penemuan Si Pencinta. Menurutnya, cinta tidak akan tergambar, atau minimal tidak akan ada dalam sosok seseorang jika ia tidak mengetahui pada sosok yang ingin dicinta. Karenanya, semua benda benda mati tidak bisa dikatakan sebagai pecinta, karena tidak memiliki indra untuk menemukan apa pun yang layak untuk dicinta.

 

Pengetahuan dan penemuan menjadi proses penting untuk menemukan cinta secara hakiki. Tentu nilai cinta tidak akan sama antara satu dengan lainnya, semua tergantung seberapa besar pengetahuan dan penemuannya dalam pengembaraan Si Pencinta menemukan hakikat cinta dan kepada siapa akan mencinta. Rumusnya menurut Al-Ghazali, setiap hal yang ketika menemukannya merasa nyaman dan tenang maka ia akan dicinta (mahbûb). Pun setiap sesuatu ketika menemukannya merasa tersakiti dan bingung maka ia akan dibenci (mabghûd). Dan setiap sesuatu yang sama sekali tidak berdampak bahagia dan luka, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang dicinta maupun dibenci. Karenanya, definisi yang ditawarkan Al-Ghazali adalah:

 

الحُبُّ عِبارَةٌ عَنْ مَيْلِ الطَّبْعِ إِلىَ الشَّيْءِ المُلَذِّ

Artinya, “Cinta adalah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap lezat.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, juz IV, halaman 296).

 

Juga penting dipahami, jika kadar cinta sesuai dengan pengetahuan dan penemuan Si Pencinta, tentu akan menjadikan nilai cinta menjadi berbeda. Misalnya, mata akan senang dengan melihat sesuatu yang indah, telinga akan senang ketika mendengar lagu-lagu yang baik dan irama yang tersusun dan rapi, hidung akan senang ketika mencium bau-bau harum, indra perasa akan senang ketika memakan setiap makanan yang enak dan lezat. Begitulah rumus cinta yang disampaikan Al-Ghazali. Seolah ia hendak mengatakan, cinta itu universal. Tidak selalu tentang materi, akan tetapi nilai cinta sesuai dengan posisi masing-masing.

 

Imam Al-Ghazali memposisikan cinta sebagai sesuatu yang memaksa. Tidak heran jika para pecinta membahasakannya sebagai sesuatu yang datang tanpa diundang. Al-Ghazali menyatakan:

 

اِنَّ حُبَّ القَلْبِ لِلمُحْسِنِ اِضْطِرَارًا لاَ يُسْتَطَاعُ دَفْعُهُ وَهُوَ جُبْلَةٌ وَفِطْرَةٌ لَا سَبيْلَ إِلَى تَغْيِيرِهَا

Artinya, “Sungguh kecintaan hati orang yang berbuat baik merupakan sesuatu yang bersifat pasti, tidak bisa ditolak. Itu merupakan watak dan naluri yang tidak bisa diubah.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, juz IV, halaman 298).

 

Imam Al-Ghazali membagi cinta menjadi lima kategori. Pertama, cinta kepada diri, kesempurnaan dan keberadaannya. Kedua, cinta kepada setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Ketiga, cinta kepada orang-orang yang selalu berbuat baik kepada orang lain, meski kebaikan itu tidak diperbuat untuknya. Keempat, cinta pada setiap sesuatu secara materi, seperti kecantikan, ketampanan, etika baik, ucapan lemah lembut dan lainnya. Kelima, kecintaan yang disebabkan satu frekuensi yang terjalin dalam diri masing-masing orang yang saling mencinta.

 

Lima pembagian kategori di atas berdasarkan sebab-sebab cinta yang kerap kali terjadi pada manusia. Tentu jika lima sebab tersebut dimiliki oleh seseorang, maka secara pasti akan menjadi orang yang sangat dicinta. Contohnya, jika orang mempunyai anak dengan wajah tampan/cantik, baik etikanya, sempurna ilmunya, baik perangainya, berbuat baik pada orang lain, dan berlaku baik pada kedua orang tuanya, sudah tentu ia akan menjadi anak yang sangat dicinta oleh kedua orang tuanya.

 

Yang Berhak Dicinta
Sebagaimana disebutkan pada ayat dan hadits di awal tulisan, cinta merupakan hal penting dalam Islam. Dengan cinta orang akan lebih semangat dan ikhlas untuk melakukan setiap sesuatu yang disenangi oleh yang dicinta. Dengan cinta pula, ia tidak lagi bertanya mengapa dan kenapa, karena semuanya dilakukan atas dasar cinta yang sudah melebihi segalanya. Karenanya, seharusnya cinta diberikan pada pihak yang memang berhak mendapatkan cinta dan layak untuk dicinta. Siapakah dia? 

 

Menurut Imam Al-Ghazali, tidak ada yang berhak untuk dicinta kecuali Allah Ta’ala. Jika ada seorang hamba meletakkan cintanya kepada selain Allah, itu menunjukkan bahwa cintanya muncul karena kebodohan dan sempitnya pengetahuan terhadap Allah. Jika ia benar-benar mengetahui sifat-sifat Allah, tentu ia tidak akan memperdulikan manusia dan fokus mencintai Allah Dzat Yang Mahakuasa.

 

Namun demikian, mencintai Allah artinya juga harus mencintai Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, ulama, orang-orang bertakwa dan para kekasih Allah. Kenapa demikian? Al-Ghazali menjelaskan:

 

لِأَنَّ مَحْبُوبَ المَحْبُوْبِ مَحْبُوْبٌ وَرَسُوْلَ المَحْبُوْبِ مَحْبُوبٌ وَمُحِبُّ المَحْبُوبِ مَحْبُوبٌ

Artinya, “Karena sesuatu yang dicintai oleh kekasih adalah seperti kekasih, utusan kekasih adalah seperti kekasih, dan pecinta kekasih adalah seperti kekasih pula.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, juz IV, halaman h. h. 301).

 

Melihat penjelasan ini kita temukan bahwa hakikatnya tidak ada kekasih kecuali Allah. Tidak ada yang berhak untuk dicinta selain Allah. Yang paling layak dan paling sempurna memenuhi lima kategori cinta di atas hanyalah Allah, bukan lainnya. Selain Allah mungkin hanya memiliki salah satunya, sedangkan Allah mempunyai keseluruhannya. Tentu, jika orang masih memberikan cinta kepada selain Allah, disebabkan dangkalnya pengetahuan kepada-Nya. Wallâhu a’lam.

 

Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.