Di Balik Film Qodrat 2: Inspirasi dari Surat Ali Imran Ayat 139
NU Online · Selasa, 15 April 2025 | 10:00 WIB
Zainuddin Lubis
Penulis
“Bahwa ternyata Qadrat 2 itu dibangun ceritanya berdasarkan makna yang terkandung dari surat Ali Imran ayat 139, di mana makna dari surat Ali Imran ayat 139 ternyata dalam banget, bo. Lu tau enggak?” tutur aktris sekaligus produser eksekutif Qadrat 2, Dian Sastrowardoyo, dalam sesi tanya-jawab bersama Acha Septriasa di kanal YouTube Ahquote.
Ucapannya mungkin terdengar ringan, khas gaya obrolan santai, namun di balik itu tersimpan kedalaman makna yang tidak main-main. "Ini adalah ayat yang merupakan motivasi besar buat orang-orang beriman untuk bisa tetap kuat dan enggak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup," lanjut aktris yang terkenal lewat film Ada Apa Dengan Cinta.
Sekilas film Qodrat 2
Film Qodrat 2 merupakan sekuel dari film horor religi Indonesia "Qodrat" yang dirilis pada tahun 2022. Disutradarai oleh Charles Gozali, film ini kembali menampilkan Vino G. Bastian sebagai Ustadz Qodrat, dan Acha Septriasa sebagai Azizah. Film ini melanjutkan kisah perjuangan Ustadz Qodrat dalam menghadapi kekuatan jahat yang mengancam keluarganya.
Setelah kehilangan anaknya, Ustadz Qodrat dihadapkan pada ujian yang lebih berat. Kali ini, iblis menargetkan istrinya, Azizah, dengan tujuan menghancurkan iman Qodrat dan membuatnya berpaling dari Allah. Perjalanan Qodrat untuk menyelamatkan Azizah membawanya pada konfrontasi dengan kekuatan gelap yang menguji keyakinan dan keteguhannya.
Film yang bergenre horor mendapat sambutan positif dari penonton Indonesia. Dalam tujuh hari penayangannya, film ini berhasil meraih 1.669.866 penonton, menjadikannya salah satu film Indonesia terlaris pada tahun 2025. Keberhasilan ini menunjukkan antusiasme tinggi masyarakat terhadap film horor religi yang mengangkat tema spiritual dan perjuangan melawan kekuatan jahat.
Film ini mengeksplorasi tema keimanan, pengorbanan, dan perjuangan melawan godaan. Ustadz Qodrat digambarkan sebagai sosok yang teguh dalam keyakinannya, meskipun dihadapkan pada cobaan berat yang mengancam keluarganya. Perjuangannya melawan iblis yang menargetkan istrinya mencerminkan konflik batin antara mempertahankan iman dan menghadapi realitas pahit kehilangan. Adapun ayat yang dimaksud, surat Ali Imran ayat 139, berbunyi:
وَلَا تَهِنُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَنْتُمُ الْاَعْلَوْنَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ١٣٩
wa lâ tahinû wa lâ taḫzanû wa antumul-a‘launa ing kuntum mu'minîn
Artinya; "Janganlah kamu (merasa) lemah dan jangan (pula) bersedih hati, padahal kamu paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang mukmin."
Kata Profesor Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini merupakan potongan semangat dari langit. Ia turun dalam konteks pasca Perang Uhud, saat umat Islam mengalami kekalahan dan kesedihan mendalam. Tapi Allah memberikan penguatan: jangan lemah, jangan bersedih, karena jika kamu beriman, kamu tetap yang paling tinggi derajatnya (Profesor Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid II, halaman 227).
Sejatinya, Allah menegaskan agar kaum beriman tidak melemah dan tidak bersedih hati karena musibah yang menimpa. Justru, mereka harus memperkuat fisik dan mental untuk tetap teguh di jalan perjuangan. Kesedihan dan kelemahan tidak pantas dipelihara oleh mereka yang mengemban misi kebenaran.
Lebih jauh lagi, ayat ini memuat logika spiritual yang luas: mengapa harus bersedih jika orang-orang yang gugur telah memperoleh surga, dan yang terluka mendapat ampunan Allah? Ini adalah bentuk penghargaan Ilahi yang tak ternilai, yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar memiliki keimanan yang kokoh.
Oleh karena itu, kesedihan harus dikalahkan oleh keyakinan terhadap janji Allah. Semangat juang dalam Islam bukan sekadar soal kemenangan duniawi, tetapi juga tentang keyakinan akan balasan di akhirat.
Pesan ini menyelinap halus namun kokoh dalam narasi Qodrat 2, yang meski berbalut genre horor, mengusung perjuangan seorang tokoh melawan keputusasaan, menggenggam iman, dan melawan kegelapan batin, serta teluh yang jahat.
Ala kulli hal, ayat ini relevan sepanjang zaman, terutama saat umat Islam mengalami ujian atau kekalahan dalam perjuangan mereka. Pesannya jelas: jangan menyerah, jangan larut dalam duka, dan tetaplah percaya bahwa posisi orang-orang beriman sangat tinggi di sisi Allah.
Ketinggian itu bukan hanya karena mereka memperjuangkan kebenaran, tetapi karena keimanan yang menjadikan mereka kuat, tabah, dan yakin akan ganjaran yang abadi. Inilah kekuatan spiritual yang menjadi pondasi utama dalam perjuangan seorang mukmin sejati.
Bagi Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam kitab Tafsir Mafatihul Ghaib, ayat ini merupakan pesan ilahi yang diturunkan untuk menyemangati hati kaum Muslimin setelah keguncangan yang mereka alami pada Perang Uhud.
Dalam tafsirnya, Ar-Razi mengajak umat Islam untuk merenungi perjalanan sejarah umat-umat terdahulu, bahwa meski kebatilan kadang terlihat unggul di permukaan, kejayaan mereka bersifat sementara.
Pada akhirnya, kemenangan sejati akan menjadi milik mereka yang berjalan di atas kebenaran. Ini adalah pelajaran spiritual yang menggugah: bahwa dalam panggung sejarah, kebenaranlah yang akan bertahan dan menjadi pemenang.
Sejatinya, ayat ini, kata Ar-Razi, sebagai energi spiritual dari langit, sebuah dorongan moral agar umat Islam bangkit dari keterpurukan. Lebih jauh, Ar-Razi menafsirkan potongan ayat "jika kamu benar-benar orang-orang beriman" sebagai penegasan sekaligus syarat untuk meraih keunggulan. Keimanan bukan hanya identitas, tetapi fondasi yang menentukan arah dan hasil perjuangan.
Menurutnya, kemuliaan bukanlah hasil dari kekuatan militer atau dominasi duniawi, melainkan anugerah yang diberikan kepada mereka yang setia pada ajaran Islam. Selama umat Islam menjaga keimanan mereka, Allah menjanjikan kemuliaan di dunia dan kemenangan di akhirat.
وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا كَأَنَّهُ قَالَ إِذَا بَحَثْتُمْ عَنْ أَحْوَالِ الْقُرُونِ الْمَاضِيَةِ عَلِمْتُمْ أَنَّ أَهْلَ الْبَاطِلِ وَإِنِ اتَّفَقَتْ لَهُمُ الصَّوْلَةُ، لَكِنْ كَانَ مَآلُ الْأَمْرِ إِلَى الضَّعْفِ وَالْفُتُورِ، وَصَارَتْ دَوْلَةُ أَهْلِ الْحَقِّ عَالِيَةً، وَصَوْلَةُ أَهْلِ الْبَاطِلِ مُنْدَرِسَةً، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ تَصِيرَ صَوْلَةُ الْكُفَّارِ عَلَيْكُمْ يَوْمَ أُحُدٍ سَبَبًا لِضَعْفِ قَلْبِكُمْ وَلِجُبْنِكُمْ وَعَجْزِكُمْ، بَلْ يَجِبُ أَنْ يَقْوَى قَلْبُكُمْ فَإِنَّ الِاسْتِعْلَاءَ سَيَحْصُلُ لَكُمْ وَالْقُوَّةُ وَالدَّوْلَةُ رَاجِعَةٌ إِلَيْكُمْ
Artinya; "Dan janganlah kamu merasa lemah dan jangan (pula) bersedih hati. Seakan-akan Allah berfirman: Jika kalian meneliti keadaan umat-umat terdahulu, niscaya kalian akan mengetahui bahwa para pengikut kebatilan, meskipun sesekali mereka mendapatkan kekuasaan dan kemenangan, namun pada akhirnya urusan mereka akan berakhir dengan kelemahan dan kehancuran. Sedangkan kekuasaan akan kembali berada di tangan para pengikut kebenaran, dan kejayaan para pengikut kebatilan akan lenyap. Maka, tidak sepantasnya kemenangan orang-orang kafir atas kalian pada hari Uhud menjadi sebab kelemahan hati kalian, ketakutan kalian, dan ketidakberdayaan kalian. Bahkan sebaliknya, hati kalian harus menjadi kuat, karena kemenangan dan kekuasaan itu pada akhirnya akan menjadi milik kalian," (Imam Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut: Darul Ihya at-Turats Al-Araby, 1420 H], Jilid IX, hlm. 371).
Untuk itu, bagi para penonton yang jeli, Qodrat 2 bukan hanya tentang pertempuran metafisik antara jin dan manusia, tapi juga tentang perjuangan spiritual dalam menghadapi trauma, keraguan, dan godaan untuk menyerah. Film ini seperti tafsir sinematik dari ayat 139, bahwa dalam kondisi terpuruk, imanlah yang membuat manusia tetap tinggi.
Dian Sastro sebagai produser tampaknya sadar betul bahwa kekuatan cerita bukan hanya dari plot yang menegangkan, tapi juga dari kedalaman pesan. Dengan mengangkat inspirasi dari Al-Qur’an, Qodrat 2 menjadi lebih dari sekadar hiburan. Ia adalah ajakan halus untuk tetap kuat dalam iman dan tidak tunduk pada ketakutan, baik dalam kehidupan nyata maupun yang tersimbolkan lewat sinema.
Melalui penggabungan antara seni dan spiritualitas ini, Qodrat 2 membuktikan bahwa film bisa menjadi medium dakwah yang lembut, sekaligus refleksi jiwa bagi siapa saja yang menontonnya. Dan dari mulut seorang seniman seperti Dian, kita diingatkan bahwa setiap karya punya akar, dan akar Qodrat 2 ternyata tumbuh dari ayat yang sangat memotivasi dan menyembuhkan.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman, tinggal di Parung.
Terpopuler
1
Fantasi Sedarah, Psikiater Jelaskan Faktor Penyebab dan Penanganannya
2
Khutbah Jumat: Lima Ibadah Sosial yang Dirindukan Surga
3
Khutbah Jumat: Tujuh Amalan yang Terus Mengalir Pahalanya
4
Pergunu Buka Pendaftaran Beasiswa Kuliah di Universitas KH Abdul Chalim Tahun Ajaran 2025
5
Pakai Celana Dalam saat Ihram Wajib Bayar Dam
6
Khutbah Jumat: Jangan Bawa Tujuan Duniawi ke Tanah Suci
Terkini
Lihat Semua