Tafsir

Jangan Rusak Bumi! Ini 5 Ayat Al-Qur'an dan Tafsirnya yang Melarang Merusak Lingkungan Hidup

NU Online  ·  Rabu, 18 Juni 2025 | 14:00 WIB

Jangan Rusak Bumi! Ini 5 Ayat Al-Qur'an dan Tafsirnya yang Melarang Merusak Lingkungan Hidup

Ilustrasi pertambangan. Sumber: Canva/NU Online.

Di antara berita-berita tentang perang, politik yang gaduh, dan algoritma yang memelintir kesadaran, sebuah suara terbit, datang dari 73 ribu orang, tersebar di 77 negara, bicara dalam 87 bahasa. Mereka bukan elite, bukan pembuat kebijakan, bukan juga utusan negosiasi. Mereka manusia biasa, yang berkata: kami takut.


Kepada siapa ketakutan itu disampaikan? Kepada kita semua, dan terutama kepada mereka yang menyebut diri "pemimpin". Survei bertajuk Peoples’ Climate Vote 2024, yang tayang di laman UNDP.org, mencatat lebih dari separuh manusia kini lebih cemas daripada tahun lalu. Bukan karena harga cabai atau inflasi global, tapi karena cuaca. Karena sesuatu yang dulu disebut “alam”, sekarang jadi ancaman. Seolah bumi tak lagi bersahabat, dan langit berubah seperti mata yang mengawasi dengan amarah.


Saya teringat kalimat Camus: “Untuk merasa bahwa dunia absurd, manusia harus masih hidup.” Tapi dalam iklim yang melampaui batas, absurditas telah menjadi keseharian: sungai mengering lalu meluap, hujan turun di musim kemarau, dan gelombang panas menjalar seperti kutukan. Ketika suhu naik dua derajat, manusia kehilangan bahasa untuk mengeluh, yang tersisa hanya isyarat tubuh: pingsan, batuk, lari.


Tapi survei ini bukan cuma katalog rasa takut. Ia juga peta harapan. Sekitar 80 persen responden ingin sesuatu yang sederhana, keadilan. Mereka ingin negara-negara kaya membantu yang miskin. Mereka ingin perusahaan berhenti membakar dunia demi grafik keuntungan. Mereka ingin sekolah mengajarkan bagaimana hidup dengan bumi, bukan menaklukkannya.


Jauh sebelum survei ini muncul dan kata “ekologi” tumbuh dalam seminar dan jargon-jargon akademik, Al-Qur’an telah berkata tentang bumi sebagai rumah. Bukan milik satu bangsa, bukan hak tunggal satu generasi, tapi amanah bersama, untuk dijaga, bukan dijarah. Di dalam kitab suci itu, terdapat pelbagai ayat : larangan-larangan eksploitasi alam secara berlebihan, dan merusak bumi. Manusia, meski merasa penguasa, sejatinya hanya tamu. Dan tamu yang baik, kata pepatah lama, tak meninggalkan kotoran di lantai rumah yang ditumpanginya.


Kita membacakan ayat demi ayat tentang larangan berbuat kerusakan (fasad fi al-ardh). Sebagaimana disebut dalam ayat-ayat itu, kerusakan bukan sekadar dosa ekologis. Ia adalah pengkhianatan terhadap janji purba antara manusia dan semesta: untuk hidup bersama, bukan saling melukai. Nah berikut 5 ayat Al-Qur'an tentang larangan merusak lingkungan hidup.


Pertama, surat Al-Baqarah Ayat 11;


وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ ۝١١


wa idzâ qîla lahum lâ tufsidû fil ardli qâlû innamâ naḫnu mushliḫûn


Artinya, "Apabila dikatakan kepada mereka, 'Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan'."

 

Imam Thabari, seorang ahli tafsir besar dari abad ke-3 Hijriah, menjelaskan dalam kitab Jami‘ul Bayan bahwa yang dimaksud kerusakan di bumi adalah perbuatan maksiat, kekafiran, dan kemunafikan. Menurutnya, siapa pun yang tidak taat kepada Tuhan berarti telah ikut merusak bumi. Sebab, bumi dan langit hanya akan menjadi baik jika manusia hidup sesuai dengan perintah Allah


Apa itu “kerusakan”? Apa itu “perbaikan”?

Barangkali kita perlu kembali ke pandangan sederhana yang diajukan oleh Ar-Rabi‘ bin Anas, seorang perawi yang dikutip Thabari, bahwa maksiat adalah akar dari kerusakan. Dan siapa pun yang bermaksiat kepada Allah, atau memerintahkan orang lain untuk bermaksiat, sejatinya sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri, dan untuk seluruh bumi.


Tapi di zaman ini, “maksiat” telah menjadi istilah yang terlalu sempit jika dibaca hanya dalam ruang ibadah. Kita lupa bahwa maksiat juga berarti tidak menunaikan amanah, tidak bersikap adil, membiarkan keserakahan merajalela, dan menyamarkan dusta sebagai niat baik. Bukankah itu semua adalah kemunafikan?


Maka, ketika lautan menghitam karena tumpahan minyak, ketika udara dicekik karbon, ketika anak-anak kehilangan masa depan karena kerakusan generasi sebelumnya, tidakkah itu juga maksiat?

Seorang bijak besari pernah berkata: manusia modern hidup seolah-olah mereka pemilik bumi, bukan bagian darinya. Tapi Islam mengajarkan sebaliknya: manusia adalah khalifah, penjaga, bukan pemangsa. Peran yang kini diremehkan, digantikan oleh gelar-gelar: investor, pengusaha, pemimpin negara.

Akhirnya, kita perlu bertanya: apakah dunia hari ini sedang memperbaiki diri, atau sedang memperhalus kerusakan agar tampak seperti perbaikan? Karena jika bumi ini adalah ayat yang terhampar, maka setiap kebohongan yang ditanam di dalamnya, akan tumbuh menjadi bencana ekologi. Dan Tuhan pun telah memberi isyaratnya. Sejak lama.


(وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ) ، هم المنافقون. أما"لا تفسدوا في الأرض"، فإن الفساد، هو الكفر والعملُ بالمعصية. ٣٤٠- وحدِّثت عن عمّار بن الحسن، قال: حدثنا ابن أبي جعفر، عن أبيه، عن الرَّبيع: (وإذا قيل لهمْ لا تفسدوا في الأرض) يقول: لا تعْصُوا في الأرض (قالوا إنما نحن مصلحون) ، قال: فكان فسادُهم ذلك معصيةَ الله جل ثناؤه، لأن من عَصى الله في الأرض أو أمر بمعصيته، فقد أفسدَ في الأرض، لأن إصلاحَ الأرض والسماء بالطاعة (٢)


Artinya; “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi,’ mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan.’”


Yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang-orang munafik. Adapun larangan “Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi,” maka yang dimaksud dengan kerusakan di sini adalah kekufuran dan perbuatan maksiat.


340 – Diriwayatkan kepadaku dari ‘Ammar bin Al-Hasan, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Ja‘far, dari ayahnya, dari Ar-Rabi‘: Tentang firman Allah: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi,’” — maksudnya: janganlah kalian berbuat maksiat di bumi.


(Mereka berkata: “Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan”), Ar-Rabi‘ berkata: Kerusakan mereka itu adalah perbuatan maksiat kepada Allah, Maha Tinggi pujian-Nya, karena siapa pun yang bermaksiat kepada Allah di bumi atau memerintahkan orang lain untuk bermaksiat, maka sungguh ia telah berbuat kerusakan di bumi. Karena perbaikan bumi dan langit itu adalah dengan ketaatan kepada Allah. (Imam Thabari, Jamiul Bayan, [Makkah: Darul Tarbiyah wa Turats,tt], Jilid I, hlm, 289).


Kedua, Al-Baqarah Ayat 205;


وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ


wa idzâ tawallâ sa‘â fil-ardli liyufsida fîhâ wa yuhlikal-ḫartsa wan-nasl, wallâhu lâ yuḫibbul-fasâd


Artinya: "Apabila berpaling (dari engkau atau berkuasa), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi serta merusak tanam-tanaman dan ternak. Allah tidak menyukai kerusakan."


Sementara itu, Imam al-Qurthubi, dalam tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengutip pendapat ulama tafsir klasik seperti Mujahid dan Imam Thabari, menyebut ayat ini memperingatkan orang-orang zalim yang merusak alam.


Imam Thabari menyebut bahwa orang yang membakar tanaman dan membunuh hewan seperti keledai termasuk dalam golongan yang dilaknat oleh Allah. Dan bukan hanya mereka saja, siapa pun yang melakukan tindakan merusak seperti itu juga terkena laknat dan hukuman.


Beberapa ulama bahkan menegaskan: siapa yang membunuh hewan tanpa alasan atau membakar tumpukan hasil panen, maka ia pantas mendapat celaan dan kehinaan sampai Hari Kiamat. Mujahid menambahkan, akibat dari perbuatan merusak seperti itu, Allah bisa saja menahan turunnya hujan. Maka tanaman tidak tumbuh, hewan ternak mati, dan manusia sendiri yang akhirnya menderita.


Pada akhirnya, pesan dari semua ini jelas, jika manusia merusak bumi, maka alam akan membalas. Hujan bisa berhenti, tanah bisa mengering. Maka, jagalah bumi, karena kerusakan di atasnya bukan hanya dosa, tapi juga membawa bencana bagi semua makhluk.


Simak penjelasan Imam Qurthubi berikut;


وَالْمَعْنِيُّ فِي الْآيَةِ الْأَخْنَسُ فِي إِحْرَاقِهِ الزَّرْعَ وَقَتْلِهِ الْحُمُرَ، قَالَهُ الطَّبَرِيُّ. قَالَ غَيْرُهُ: وَلَكِنَّهَا صَارَتْ عَامَّةً لِجَمِيعِ النَّاسِ، فَمَنْ عَمِلَ مِثْلَ عَمَلِهِ اسْتَوْجَبَ تِلْكَ اللَّعْنَةَ وَالْعُقُوبَةَ. قَالَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ مَنْ يَقْتُلُ حِمَارًا أَوْ يُحْرِقُ كُدْسًا اسْتَوْجَبَ الْمَلَامَةَ، وَلَحِقَهُ الشَّيْنُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَقَالَ مُجَاهِدٌ: الْمُرَادُ أَنَّ الظَّالِمَ يُفْسِدُ فِي الْأَرْضِ فَيُمْسِكُ اللَّهُ الْمَطَرَ


Artinya: “Makna ayat ini adalah laknat bagi orang yang membakar tanaman dan membunuh keledai, demikian menurut ath-Thabari. Ulama lain mengatakan bahwa laknat ini berlaku umum bagi semua orang, sehingga siapapun yang melakukan perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan laknat dan hukuman tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang membunuh keledai atau membakar tumpukan gandum, dia berhak mendapatkan celaan dan kehinaan sampai hari kiamat. Mujahid mengatakan bahwa maksudnya adalah orang yang zalim berbuat kerusakan di muka bumi, sehingga Allah SWT menahan hujan.” (Syekh Syamsuddin Al-Qurthubi, al-Jami' Li Ahkami Al-Qur'an, [Kairo: Darul Kutub al-Mishriyah,1963] Jilid III, halaman 17).


Ketiga, surat Al-A'raf ayat 56;


وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ ۝٥٦


wa lâ tufsidû fil-ardli ba‘da ishlâḫihâ wad‘ûhu khaufaw wa thama‘â, inna raḫmatallâhi qarîbum minal-muḫsinîn


Artinya; "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik."


Menurut Prof. Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, Allah melarang manusia merusak bumi setelah menciptakannya dengan begitu indah, seimbang, dan penuh kasih sayang. Yang dimaksud dengan kerusakan di sini bukan hanya maksiat, tapi juga hal-hal yang mengganggu keharmonisan alam: seperti pencemaran lingkungan, pembakaran dan penebangan hutan liar, atau peperangan yang menghancurkan kehidupan.


Allah menciptakan alam dengan penuh rahmat. Maka manusia, sebagai khalifah di bumi, punya tanggung jawab untuk merawat dan menjaganya, bukan sebaliknya, merusaknya demi kepentingan sesaat. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Penerbit Lentera Hati, 2002], jilid V, halaman 123).


Keempat, surat Al-Mulk ayat 15;

هُوَ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْاَرْضَ ذَلُوْلًا فَامْشُوْا فِيْ مَنَاكِبِهَا وَكُلُوْا مِنْ رِّزْقِهٖۗ وَاِلَيْهِ النُّشُوْرُ ۝١٥


huwalladzî ja‘ala lakumul-ardla dzalûlan famsyû fî manâkibihâ wa kulû mir rizqih, wa ilaihin-nusyûr 


Artinya; "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan."


Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dalam kitab Tafsir Al-Munir, ayat 15, mengajak kita merenungi bumi bukan sekadar sebagai tempat tinggal, melainkan sebagai anugerah besar dari Tuhan. Di atasnya, manusia hidup, bercocok tanam, bernapas, dan menatap langit. Segala yang kita butuhkan telah tersedia, tanpa kita pernah menciptakannya. 


Tapi bumi tidak diam. Ia bukan panggung kosong tempat manusia bebas beraksi. Ia menyimpan hukum yang tak tertulis: bahwa kenikmatan datang bersama tanggung jawab. Manusia diberi kebebasan, namun kebebasan itu dibingkai oleh pengawasan Ilahi. Bila lalai, bila rakus dan merusak, bumi bisa mencabut kembali kemurahannya, dengan gempa, banjir, atau kekeringan yang mematikan.


Karena itu, bumi bukan milik mutlak manusia, melainkan amanah yang mesti dijaga. Ada tanggung jawab moral yang tak bisa ditunda: menjaga kesuburannya, menghormati keseimbangannya, mengelolanya dengan kesadaran bukan keserakahan. Sebab yang kita pijak ini bukan milik nenek moyang semata, tapi warisan yang harus tiba di tangan anak cucu dalam keadaan utuh, atau setidaknya layak huni. Simak keterangan Syekh Wahbah berikut:


إن الأرض وما فيها من خيرات ومنافع وكنوز مسخرة للإنسان هي من نعمة الله وفضله، وهي حقل التجارب، ومرصد السلوك الإنساني 


Artinya; "Sesungguhnya bumi beserta segala isinya, termasuk kebaikan, manfaat, dan harta terpendam, yang diperuntukkan bagi manusia, adalah bagian dari nikmat dan karunia Allah. Bumi ini juga merupakan ladang ujian dan tempat pengamatan perilaku manusia." (Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid XIX, hlm. 24).


Kelima, surat A'raf ayat 85;


وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ ۝٨٥


wa ilâ madyana akhâhum syu‘aibâ, qâla yâ qaumi‘budullâha mâ lakum min ilâhin ghairuh, qad jâ'atkum bayyinatum mir rabbikum fa auful-kaila wal mîzâna wa lâ tabkhasun-nâsa asy-yâ'ahum wa lâ tufsidû fil-ardli ba‘da ishlâḫihâ, dzâlikum khairul lakum ing kuntum mu'minîn


Artinya, “Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, 'Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman'.”


Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan, Allah melarang manusia merusak bumi, apalagi setelah Allah menghiasinya dengan banyak nikmat. Yang dimaksud dengan merusak di sini adalah berbuat maksiat, seperti menipu saat jual beli, menghalalkan yang sebenarnya haram, dan saling membunuh. Dulu, sebelum Nabi Syu’aib diutus, masyarakat hidup dalam banyak dosa. Tapi setelah beliau datang dan mengajak pada kebaikan dan tauhid (mengakui keesaan Allah), keadaan pun jadi jauh lebih baik. Ini jadi bukti bahwa setiap nabi diutus untuk memperbaiki keadaan umatnya.


Syekh Nawawi juga menyimpulkan isi perintah Allah dalam ayat ini dalam dua hal penting. Pertama, taat kepada Allah dengan mengakui bahwa hanya Dia yang patut disembah dan percaya kepada para nabi. Kedua, bersikap baik kepada sesama manusia, seperti tidak curang dan tidak merugikan orang lain. 


وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بالمعاصي بَعْدَ إِصْلاحِها بعد أن أصلحها الله بتكثير النعم فيها. قال ابن عباس: كانت الأرض قبل أن يبعث الله شعيبا رسولا، تعمل فيها المعاصي وتستحل فيها المحارم وتسفك فيها الدماء فذلك فسادها، فلما بعث الله شعيبا ودعاهم إلى الله صلحت الأرض. وكان كل نبي يبعث إلى قومه فهو صلاحهم، وحاصل هذه التكاليف الخمسة يرجع إلى أصلين:


أحدهما: التعظيم لأمر الله ويدخل فيه الإقرار بالتوحيد والنبوة. وثانيهما: الشفقة على خلق الله ويدخل فيه ترك البخس وترك الإفساد ذلِكُمْ أي هذه الأمور الخمسة خَيْرٌ لَكُمْ مما أنتم فيه في طلب المال، لأن الناس إذا علموا منكم الوفاء والصدق والأمانة رغبوا في المعاملات معكم فكثرت أموالكم


Artinya; "Dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi dengan maksiat, setelah Allah memperbaikinya dengan memperbanyak berbagai nikmat di dalamnya."


Ibnu Abbas berkata: "Dahulu bumi sebelum Allah mengutus Nabi Syu'aib sebagai rasul, dipenuhi dengan perbuatan maksiat, penghalalan hal-hal yang diharamkan, dan pertumpahan darah, itulah bentuk kerusakannya. Lalu ketika Allah mengutus Nabi Syu'aib dan beliau mengajak mereka kepada Allah, maka bumi menjadi baik kembali."


Setiap nabi yang diutus kepada kaumnya adalah pembawa kebaikan (perbaikan) bagi mereka. Inti dari lima perintah yang telah disebutkan sebelumnya kembali pada dua pokok utama: Pertama, mengagungkan perintah Allah, yang mencakup pengakuan terhadap tauhid dan kenabian. Kedua, memiliki kasih sayang terhadap makhluk Allah, yang mencakup meninggalkan kecurangan dan perbuatan merusak.


"Yang demikian itu", yakni lima perkara tersebut, "lebih baik bagi kalian" daripada apa yang kalian kejar berupa harta kekayaan, "jika kalian benar-benar beriman." Karena apabila orang-orang mengetahui bahwa kalian menepati janji, jujur, dan amanah, maka mereka akan senang bertransaksi dengan kalian, sehingga harta kalian akan bertambah banyak." (Syekh Nawawi Banten, Tafsir Marah Labib, [Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1417 H], Jilid I, halaman 385). 


Dengan demikian, ayat-ayat di atas menegaskan larangan merusak bumi, menyeru manusia sebagai khalifah untuk menjaga, bukan menghancurkan. Kerusakan lingkungan bukan sekadar dosa ekologis, tetapi pengkhianatan terhadap janji purba antara manusia dan semesta.

 

Ketika lautan menghitam, udara tercemar, dan anak-anak kehilangan masa depan, bukankah itu maksiat zaman modern? Maka, di tengah absurditas iklim yang kian nyata, kita diajak kembali menjadi tamu yang baik di bumi ini, menjaga warisan untuk generasi mendatang, bukan meninggalkan kotoran di lantai rumah Tuhan. Wallahu a'lam.


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam Tinggal di Parung.