Tafsir

Makna Ayat Keras terhadap Kafir

Sen, 19 April 2021 | 10:15 WIB

Makna Ayat Keras terhadap Kafir

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus Sayyidina Utsman untuk mendahului ke Makkah dan memberitahu penduduknya bahwa tujuan kedatangan umat Islam adalah untuk umrah, bukan untuk berperang. Namun Sayyidina Utsman justru ditahan dan bahkan kemudian beredar kabar bahwa ia telah dibunuh.

Di antara ayat yang sering dijadikan propaganda untuk menyeru kekerasan atas nama agama adalah ayat yang mengesankan anjuran bersikap keras terhadap orang-orang kafir, sebagaimana difirmankan:


مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ، وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا،

 

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ، ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ، وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ

 

فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ، وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ

 

مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الفتح: 29)


Artinya, “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat. Dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman tersebut kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.”


Lalu bagaimana memahaminya? Benarkah ayat tersebut memerintahkan umat Islam secara mutlak agar bersikap keras terhadap orang yang berbeda agama?


Sebagaimana ayat-ayat perang, ayat yang menunjukkan sikap keras terhadap orang-orang kafir harus dipahami sesuai konteksnya, yaitu konteks konflik antara umat Islam dengan mereka.


Ayat tersebut, bahkan keseluruhan ayat dalam surat Al-Fath, turun di tengah-tengah konflik antara umat Islam dengan orang-orang kafir Makkah yang menghalangi mereka untuk beribadah umrah pada 6 H. Waktu itu Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam bersama 1400 sahabatnya telah sampai di Dzul Hulaifah dan mulai ihram dari sana.

 

Kemudian ketika sampai di Hudaibiyyah, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam mengutus Sayyidina Utsman untuk mendahului ke Makkah dan memberitahu penduduknya bahwa tujuan kedatangan umat Islam adalah untuk umrah, bukan untuk berperang. Namun Sayyidina Utsman justru ditahan dan bahkan kemudian beredar kabar bahwa ia telah dibunuh.


Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pun lalu membaiat para sahabat untuk menyerang Makkah—padahal tanpa dukungan peralatan perang dan hanya berbekal peralatan seadanya—. Situasi berbalik, penduduk Makkah ketakutan mendengar keseriusan umat Islam, sehingga mereka melepaskan Sayyidina Utsman dan mengajukan perjanjian damai yang kelak dikenal dengan nama Sulhu Hudaibiyyah. Perjanjian damai perwujud dan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam beserta pada sahabatnya terpaksa membatalkan umrahnya, dan pulang membawa kesedihan luar biasa.


Nah, dalam kondisi ketegangan konflik seperti itu, tepatnya di Kurâ’ul Ghamîm, turunlah surat Al-Fath untuk menghilangkan kesedihan umat Islam dengan kabar gembira, bahwa kota Makkah akan segera terbebaskan. (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz IV, halaman 121).


Dalam konteks konflik seperti itulah semestinya ayat keras terhadap orang kafir tersebut dipahami. Penggunaan ayat itu dalam masa damai tentu tidak tepat dan sangat kontraproduktif dengan misi besar Islam sebagai agama yang merahmati alam semesta. Sebagaimana para sahabat menjadi pribadi yang tidak hanya mengasihi kaum muslimin, namun juga kepada non-muslim yang hidup berdampingan secara damai. Di tengah suasana damai, Umat Islam seharusnya menjalin hubungan yang rukun dan harmonis dengan orang yang berbeda agama sebagai implementasi kerahmatannya.


Para sahabat sendiri yang disinggung dalam ayat di atas, dalam suasana damai ternyata juga tidak hanya mengasihi terhadap kaum muslimin saja, sebagaimana Sayyidina Umar bin Khattab radhiyallâhu ‘anhu mengasihi non muslim ahli kitab yang sudah lanjut usia dengan menjamin kebutuhan hidupnya dari baitul mâl:


وَقَدْ رَأَى عُمَرُ شَيْخًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ سَأَلَ عَلَى أَبْوَابِ النَّاسِ، فَقَالَ: مَا أَنْصَفْنَاكَ؟ أَخَذْنَا مِنْكَ الْجِزْيَةَ مَا دُمْتَ غَنِيًّا

 

ثُمَّ ضَيَّعْنَاكَ الْيَوْمَ. فَأَمَرَ بِأَنْ يُجْرِيَ عَلَيْهِ قُوتُهُ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ.


Artinya, “Sungguh Sayyidina Umar bin Al-Khatthab radhiyallâhu ‘anu melihat seorang ahli kitab yang telah lanjut usia meminta-minta di pintu rumah orang-orang, lalu ia berkata kepadanya: ‘Bagaimana kami dapat berbuat adil kepadamu. Kami ambil upeti jizyah darimu saat kamu kaya, kemudian kami sengsarakan dirimu saat ini’. Lalu Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu menjamin kebutuhan makanan non-muslim tersebut dari baitul mâl.”


Demikianlah Sayyidina Umar radhiyallâhu ‘anhu, dalam suasana damai meneladankan kasih sayang terhadap orang yang berlainan keyakinan. Cukuplah kisahnya menjadi pelajaran bagi kaum muslimin dalam membangun keharmonisan hidup dalam masyarakat yang majemuk dan berbeda latar belakang agama, sebagaimana ditegaskan oleh Imam As-Samarqandi:


فَعَلَيْكَ أَنْ تَقْتَدِيَ بِمَنْ قَبْلَكَ. فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ مَدَحَ أَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالتَّرَاحُمِ. فَقَالَ: رُحَمَاءُ

 

بَيْنَهُمْ. وَكَانُوا رُحَمَاءَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ جَمِيعًا وَعَلَى أَهْلِ الذِّمَّةِ


Artinya, “Maka kalian harus mengikuti orang-orang sebelum kalian. Karena sungguh Allah Ta’ala benar-benar memuji para sahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam, lalu Allah berfirman: ‘Mereka orang-orang yang penuh kasih sayang di antara mereka.’ (Al-Fath: 29). Para sahabat itu mengasihi seluruh kaum muslimin dan non-muslim dzimmi yang hidup berdampingan secara damai.” Wallâhu a’lam. (Abdullah bin Husain Ba’alawi, Is’âdur Rafîq wa Bughyatut Tashdîq, [Surabaya, al-Hidayah, tth.], juz II, halaman 23), dan (Abul Laits Nashr bin Muhammad As-Samarqandi, Bahrul ‘Ulûm, [Bairut, Dârul Fikr], ed. Mahmud Mathraji, juz I, halaman 205).


Dengan melihat konteks ayat dan teladan para sahabat, maka sangat tidak benar menjadikan ayat tersebut sebagai alasan bersikap keras secara serampangan terhadap orang yang berbeda agama. Wallâhu a’lam.  


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda