Tasawuf/Akhlak

Sikap Terhadap Orang Tua Non-Muslim

Jum, 16 April 2021 | 10:15 WIB

Sikap Terhadap Orang Tua Non-Muslim

Islam menuntun para pemeluknya yang kebetulan berlainan agama dengan orang tua agar tetap menjalin hubungan baik dengan mereka.

Fenomena hijrah belakangan ini terus mengemuka di berbagai kalangan. Mulai para artis, kaum muda, kalangan profesional dan lainnya. Tidak hanya dari internal umat Islam, banyak pula orang mendapatkan hidayah dan memantapkan diri bersyahadat ‘asyhadu allâ ilâha illallâh wa asyhadu anna muhammadar rasûlullâh” memeluk agama Islam.


Meskipun membawa kegembiraan tersendiri, namun hal ini menyisakan berbagai problem, terlebih bagi para muallaf, utamanya berkaitan dengan bagaimana menjalin hubungan dengan orang tua yang masih berlainan keyakinan. Dalam kondisi seperti ini bagaimana Islam memberi tuntunan kepada pemeluknya?


Dalam hal ini Islam menuntun para pemeluknya yang kebetulan berlainan agama dengan orang tua agar tetap menjalin hubungan baik dengan mereka. Kisah para sahabat menjadi contohnya.


Ada sahabat Handhalah radhiyallâhu ‘anhu dari suku Aus yang memilih masuk Islam, sementara ayahnya Abu Amir bin Shaifi Ar-Rahib justru mendeklarasikan permusuhan kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, pindah ke Makkah bergabung dengan suku Quraisy dan berperang melawan umat Islam. Handhalah radhiyallâhu ‘anu pun meminta izin kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk membunuhnya, akan tetapi dilarang olehnya. Demikian pula Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallâhu ‘anu juga meminta izin untuk membunuh ayahnya yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul, pimpinan kaum munafiqin dari suku Khazraj, namun juga dilarang oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam, bahkan diperintahkan untuk tetap berperilaku baik kepadanya. (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-As’qalani, Al-Ishâbah fî Tamyîzis Shahâbah, [Bairut: Dârul Jîl, 1412 H], ed. Ali Muhammad al-Bajawi, cetakan pertama, juz II, halaman 137 dan juz IV, halaman 155).


Jauh sebelum mereka juga Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallâhu ‘anu, sahabat ketujuh yang masuk Islam dan salah satu dari sepuluh sahabat yang diberitakan akan masuk surga. Setelah mengikrarkan keislamannya di usia cukup muda, 19 tahun, ibunya tidak terima dan menentangnya. Demi menggoyahkan keimanan anaknya, ia nekat mogok makan, minum dan bicara. Namun setelah tiga hari merasa upayanya sia-sia, ia menghentikannya. Dalam kondisi seperti ini turunlah tiga ayat sekaligus yang memerintahkan Sa’d untuk tetap berbakti kepadanya. (Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Asbâbun Nuzûl, [Jakarta: Dârul Kutub Al-Islâmiyyah: 1431 H/2010 M], ed.: Muhamamd Dzul Kifli Zainuddin Al-Wathani, cetakan pertama, halaman 210-211 dan 213).


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا، وَإِنْ جَاهَدَاكَ لِتُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا، إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (العنكبوت: 8)


Artinya, “Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi keduanya.” (Al-Ankabût: 8)


وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ، حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14) وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا، وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ، ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15) (لقمان: 14-15)


Artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS Luqman: 14-15)


Secara substansial ayat-ayat ini memberi pengertian bahwa bagi seorang muslim yang punya orang tua berlainan agama diperintahkan untuk tetap berbakti kepada mereka. Bahkan secara jelas dalam surat Luqman ayat 15 disampaikan secara gamblang dengan frasa: وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. Perintah berbakti kepada orang tua meski berlainan agama tersebut sifatnya wajib. (Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Batthal Al-Bakri Al-Qurthubi, Syarh Shahîh Al-Bukhâri, [Riyadh, Maktabatur Rusyd: 1423 H/2003 M], ed.: Abu Tamim Yasir bin Ibrahim, cetakan kedua, juz IX, halaman 201).


Kebaktian anak kepada orang tua yang berlainan agama terwujud melayani mereka sebaik mungkin, tidak meninggikan suara kepadanya, tidak berkata kasar kepadanya, memenuhi keinginan-keinginannya, mencukupi kebutuhan hidupnya semampu mungkin, dan tidak mencelakakan mereka dan semisalnya, selama tidak mengajak kemaksiatan dan kekufuran, sebagaimana tersirat dalam frasa: وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا. Karena tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam kemaksiatan. Wallâhu a’lam.


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda