Tafsir

Memahami Perintah Memerangi Orang Kafir dalam Al-Qur'an

Jum, 16 April 2021 | 05:01 WIB

Memahami Perintah Memerangi Orang Kafir dalam Al-Qur'an

Dari konteks seperti ini dapat dipahami, bahwa perintah perang dalam ayat 5 sejak awal turun hanya ditujukan kepada orang-orang kafir yang memang sedang berkonflik dengan umat Islam dan yang terlebih dahulu melanggar perjanjian, bukan lainnya.

Tak dapat dipungkiri, fenomena terorisme di Indonesia maupun dunia sangat berkaitan dengan ayat-ayat perang dalam Al-Qur'an yang disalahpahami oleh para ‘jihadis’. Semua orang yang tidak seiman harus diperangi dan dibunuh seperti pemahaman yang dibangun. Sebagai contoh, ayat perang yang sering dijadikan justifikasi kejahatan teror adalah ayat 5 surat At-Taubah sebagai berikut:


فَإِذَا انْسَلَخَ الأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُواْ الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُواْ لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ، فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمْ، إِنَّ اللهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ  (التوبة: 5)


Artinya, “Apabila sudah habis bulan-bulan mulia itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertobat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sungguh Allah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS At-Taubah: 5)


Sekilas ayat ini menunjukkan perintah yang sangat tegas untuk memerangi orang-orang kafir, orang yang tidak seiman, siapa pun itu. Pokoknya dianggap kafir, berlainan agama, maka semuanya wajib diperangi dan dibunuh. Tentu konsekuensi pemahaman sekilas seperti ini sangat berbahaya. Terlebih di masa sekarang, di mana manusia dengan berbagai latar belakang agama yang berbeda-beda hidup dalam satu lingkungan, satu kota dan satu negara. Tak dapat dibayangkan, bagaimana kacaunya dunia bila seluruh orang punya pemahaman destruktif seperti itu.


Bila dilihat dari sisi konteksnya, ayat-ayat awal At-Taubah turun pada 9 H untuk memberitahukan umat Islam agar membatalkan perjanjian dengan suku-suku di sekitar kota Makkah, kecuali Bani Dhamrah, yang sebelumnya suku-suku itu menjadi sekutu suku Quraisy dalam perjanjian Hudaibiyah pada 6 H—urusan dengan suku Quraisy sendiri sudah selesai pada saat Fathu Makkah 8 H—. Perintah pembatalan perjanjian itu turun karena mereka terlebih dahulu melanggar perjanjian, sebagaimana sebelumnya mereka juga melanggar kesepakatan dalam perjanjian Hudaibiyah. Tidak sebagaimana Bani Dhamrah, satu-satunya sekutu Quraisy yang tetap mematuhi perjanjian damai dengan umat Islam. (Ali bin Muhammad Al-Khazin, At-Ta’wil fi Ma’ânit Tanzîl, [Bairut, Dârul Fikr, 1399 H/1979 M], juz III, halaman, 63); dan (Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyyatus Shawi ‘ ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz II, halaman 170-173).


Dari konteks seperti ini dapat dipahami, bahwa perintah perang dalam ayat 5 sejak awal turun hanya ditujukan kepada orang-orang kafir yang memang sedang berkonflik dengan umat Islam dan yang terlebih dahulu melanggar perjanjian, bukan lainnya. Sehingga tidak dapat dipahami bahwa ayat tersebut memerintahkan umat Islam—yang sedang dalam kondisi konflik militer dengan pihak lain—untuk memerangi semua orang yang tidak seagama.


Demikian pula bila dilihat dari sisi substansinya. Ayat tersebut tidak dapat dipaksakan untuk dipahami sebagai perintah perang kepada semua orang yang berlainan agama. Pemahaman seperti ini justru bertentangan dengan ayat-ayat setelahnya. 

 

Ayat 6 secara tegas menyatakan, bila ada orang kafir yang meminta perlindungan—meski dalam suasana konflik militer—maka tetap harus dilindungi dan dijamin keselamatannya. Andaikan ayat 5 memang merupakan perintah memerangi semua orang kafir, niscaya orang yang meminta perlindungan tidak boleh dilindungi dan tetap harus diperangi.


وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ (التوبة: 6) 


Artinya, “Dan jika di antara kaum musyrikin ada orang yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar ia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu karena sungguh mereka adalah kaum yang tidak mengetahui.” (QS At-Taubah: 6)


Kemudian Ayat 7 secara jelas menerangkan kebolehan melakukan perjanjian terhadap orang kafir sekaligus perintah untuk mematuhi perjanjian tersebut selama mereka juga mematuhinya. Sementara ayat 8 menjelaskan kebolehan membatalkan perjanjian dengan orang kafir ketika mereka terlebih dahulu melanggar perjanjian.


كَيْفَ يَكُونُ لِلْمُشْرِكِينَ عَهْدٌ عِنْدَ اللهِ وَعِنْدَ رَسُولِهِ إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ (7) كَيْفَ وَإِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ لَا يَرْقُبُوا فِيكُمْ إِلًّا وَلَا ذِمَّةً يُرْضُونَكُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ وَتَأْبَى قُلُوبُهُمْ وَأَكْثَرُهُمْ فَاسِقُونَ (8)  (التوبة: 7-8)


Artinya, “Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrik, kecuali dengan orang-orang yang kalian telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) di dekat Masjidil Haram (Hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepada kalian hendaklah kalian berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. Bagaimana mungkin (ada perjanjian demikian), padahal jika mereka memperoleh kemenangan atas kalian mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan kalian dan tidak pula mengindahkan (perjanjian). Mereka menyenangkan hati kalian dengan mulut-mulut mereka sedangkan hatinya menolak. Kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS At-Taubah: 7-8)


Andaikan ayat 5 merupakan perintah memerangi semua orang kafir, maka niscaya umat Islam tidak boleh membuat perjanjian damai dengan mereka dan tidak akan ada sikap-sikap berbeda—mematuhi perjanjian ketika mereka mematuhinya dan membatalkan perjanjian ketika mereka melanggarnya—. Sederhananya, andaikan ayat 5 memerintahkan memerangi semua orang kafir, niscaya ayat-ayat setelahnya ini tidak perlu turun dan tidak perlu ada.


Karenanya para ulama Ahlussunnah wal Jamaah, di antaranya Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, mantap menyatakan bahwa sebab perintah memerangi orang kafir itu sebenarnya bukan karena kekafirannya, tapi karena deklarasi perang dan permusuhan mereka terhadap umat Islam. Syekh Al-Buthi menegaskan:


فَهَذِهِ شَوَاهِدُ الثَّلَاثَةُ تَأْتِي بَعْدَ الْآيَةِ الَّتِي فَهِمُوا مِنْهَا وُجُوبَ مُقَاتَلَةِ الْمُشْرِكِينَ وَمَنْ فِي حُكْمِهِمْ لِعِلَّةِ الْكُفْرِ لَا الْحِرَابَةِ، يَنْطِقُ كُلٌّ مِنْهَا بِأَوْضَحَ بَيَانٍ بِأَنَّ الْعِلَّةَ هِيَ الْحِرَابَةُ وَالْغَدْرُ، لَا غَيْرُ ذَلِكَ. 


Artinya, “Maka ketiga ayat ini—At-Taubah ayat 6, 7 dan 8—yang datang setelah ayat 5 yang menjadi sumber pemahaman kewajiban memerangi orang musyrik dan orang-orang kafir semisalnya adalah karena kekafirannya, masing-masing ayat tersebut secara jelas menegaskan, bahwa sebab wajibnya memerangi orang kafir adalah karena permusuhan dan penghianatan yang mereka lakukan. Bukan karena sebab lainnya.” (Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Al-Jihâd fil Islâm, [Damaskus-Bairut: Dârul Fikr dan Dârul Fikr al-Mu’âshir: 1414 H/1993 M], halaman 101).


Sangat wajar bila dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat perang yang memerintah memerangi orang-orang kafir yang mendeklarasikan permusuhan dan peperangan terhadap umat Islam dalam konflik komunal tempo dulu. Namun tidak berarti ayat-ayat perang itu memerintahkan umat Islam untuk memerangi siapa saja yang berlainan keyakinan, kapan saja dan di mana saja. Bukankah misi utama Nabi Muhammad shallallâhu ‘alaihi wasallam adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta? Bukankah di Madinah beliau juga hidup berdampingan dan bahkan menjamin keselamatan nyawa orang yang berlainan agama dengannya? Karenanya, ayat-ayat perang dalam Al-Qur'an niscaya harus dipahami dalam konteks sebenarnya. Wallâhu a’lam.


Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda