Tafsir

Mendapati Tafsir Al-Qur’an yang Nyeleneh? Ini Penyebabnya

Jumat, 6 September 2019 | 14:00 WIB

Mendapati Tafsir Al-Qur’an yang Nyeleneh? Ini Penyebabnya

Egoisme kepentingan penafsir kerap menjerumuskannya pada penafsiran yang aneh dari pandangan kebanyakan ulama.

Dalam dunia ilmu tafsir dikenal istilah al-ashîl wa al-dakhîl fi tafsîr al-qur’an (yang asli dan yang asing dalam tafsir Al-Qur’an). Ilmu ini masuk rumpun kajian analisis terhadap keaslian sumber penyandaran riwayat tafsir oleh seorang mufassir dalam melakukan penafsiran. Selain faktor keaslian nukilan, turut juga dianalisis dalam bagian rumpun kajian ini, yaitu unsur asing yang masuk (al-dakhîl) dalam melakukan riwayat penukilan itu. 
 
Dalam istilah ilmu hadits, rumpun ilmu ini masuk bagian dari ilmu takhrij, atau dikenal sebagai ilmu kritik hadits, khususnya terhadap sumber riwayat dan matan hadits. Di dalam ilmu takhrij, sudah barang tentu mencakup ilmu lain, yaitu ilmu jarh wa al-ta’dil, ilmu ahwâl ruwâti al-ahâdits, dan semacamnya. 
 
Karena Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala kepada Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka untuk memahaminya, dibutuhkan banyak pengetahuan tentang bagaimana beliau memahami wahyu tersebut, lewat hadits yang diriwayatkan oleh para ulama’ dan terdokumentasikan dalam kitab dîwan. Demikian pula, untuk mengetahui hadits riwayat tafsir, tidak ada jalan lain selain menggunakan wasilah berupa pemahaman sahabat, para tabi’in dan para ulama’ setelahnya, khususnya ulama madzâhib al-arba’ah (empat imammazhab), dan tâbi’ (murid-muridnya), serta muqallid (para penganutnya) hingga sekarang. 
 
Jadi, bila ada yang berasumsi bahwa memahami Al-Qur’an dan Hadîts bisa dilakukan tanpa lewat silsilah sanad dari para ulama sehingga pemahaman tersebut disambungkan hingga ke ulama sekarang, maka sudah pasti mereka akan menghasilkan suatu pemahaman yang aneh dan asing. Sifat aneh dan asing ini sudah pasti disebabkan karena pemahamannya menyimpang dari pemahaman yang disepakati sebelumnya. 
 
Suatu misal: bila para ulama dulu memahami praktik ajaran dengan cara langsung diajarkan oleh guru sanad, dan pemahaman itu ditularkan hingga umat generasi sekarang, bahwa membaca Al-Qur’an yang pahalanya disampaikan kepada orang yang sudah meninggal adalah boleh dan bisa sampai, terbukti dari praktik ini yang terus-menerus lestari hingga sekarang, lalu secara tiba-tiba ada pihak yang melarang membacanya dengan niat tersebut, maka sudah pasti bahwa pemahaman ini adalah hal yang aneh. Sudah pasti ada unsur al-dakhil (pemalsuan dan pembelokan) dalam menyampaikan ajaran tersebut.
 
Unsur asing yang nyeleneh ini bisa lahir dari beberapa sebab, antara lain:
 
Pertama, karena ada unsur kesengajaan untuk merusak superioritas Islam, sementara mereka tidak sanggup melawannya secara langsung. Untuk itu direncanakan merusaknya secara sistemik melalui pembelokan penafsiran sumber pokok ajarannya, yaitu lewat wasilah Al-Quran dan al-Hadits. Fenomena munculnya nabi palsu, dan kafir zindiq, menjadi asumsi dasar bagi hipotesa awal ini. 
 
Kedua, karena ada kemungkinan faktor simplifikasi materi Al-Qur’an sehingga dalam beberapa hal ada pemaksaan interpretasi dan ta’wil yang selanjutnya dapat berakibat pada penyimpangan makna dari makna seharusnya. Dalam situasi ini, maka kedudukan penafsir adalah ibarat seorang mufassir politik atau mufassir yang diliputi dengan suatu kepentingan. Ia membawa penafsiran ke arah upaya mendukung kelompoknya dengan mengabaikan kode etik keilmiahan penafsiran. Kaidah tafsir berperan besar untuk dapat dipakai sebagai instrumen mengukur sejauh mana penyimpangan tersebut terjadi.
 
Ketiga, karena ada kemungkinan dorongan yang benar yakni dukungan keluhuran agama Islam, sehingga diperlukan upaya mendapatkan legitimasinya sebagai wujud pembenaran risâlah akan tetapi instrumen yang dipergunakan tidak bersumber dari rangkaian sanad yang benar dan mu’tabar, seperti jargon kembali ke Al-Qur’an dan al-Hadits yang sebenarnya dalam jargon ini mengajak untuk meninggalkan sanad pemahaman dari para ulama’ sebelumnya.
 
Keempat, keterputusan bayan tafsir (penjelasan tafsir) dari Nabi Muhammad SAW membawa akibat pada upaya analisis teks kebahasaan yang memungkinkan seorang mufasir memaksakan interpretasi tanpa memperhatikan kaidah dasar tafsir.
 
Kelima, adanya disintegrasi di kalangan kaum muslimin akibat pergantian khalifah dan siyasah. Tak pelak lagi, bahwa perpecahan politis yang berhasil mengoyak umat menjadi banyak firqah ini, yang berjalan beriringan dengan dinamika politik pada waktu itu, telah melahirkan sejumlah permasalahan yang berkepanjangan sehingga sekarang. Salah satu permasalahan adalah akibat sikap ta’ashtsiqah dari lawannya. 
 
Keenam, munculnya sejumlah ahli qushash dan wu’adh (tukang ceramah), telah turut serta menyumbang lahirnya sejumlah hadits maudhu’ dan dha’if yang selanjutnya banyak juga berperan di dalam menyumbang al-dakhil fit tafsir (pembelokan tafsir). Misalnya, akhir-akhir ini ada qushâsh dan wu’adh tentang hari kiamat. Hitungan matematis mereka sering menjadi dasar pembelokan konsep kiamat itu yang sebenarnya memiliki ujung mengajak masuk dalam kelompoknya. Misalnya: mereka sebenarnya mengajak mendukung ke arah politik tertentu menegakkan kekhilafahan romantis. 
 
Ketujuh, kemunculan beberapa kalangan mutashâwifin. Maksud dari mutashâwifin (pura-pura tasawuf) ini tidak sama pengertiannya dengan shûfi. Jika kalangan shûfi merupakan pengamal ajaran tasawuf dari guru yang bersanad, maka untuk kalangan mutashâwifin ini adalah serupa dengan orang fâsiq, yaitu orang yang hanya bisa berkomentar akan tetapi dia sendiri tidak melakukan. Contoh: orang mengajak menegakkan kalimat tauhid (لاإله إلا الله) di jalan-jalan, sementara ia sendiri tidak pernah berdzikir rutin dengan kalimat tersebut untuk memenuhi aspek kewajiban pribadinya dalam berdzikir لاإله إلا الله. Inilah bagian dari representasi rajulun fâsiq. Dalam Al-Qur’an, ia dicirikan sebagai:
 
وإذا قيل لهم لاتفسدوا في الأرض قالوا إنما نحن مصلحون (11) ألا إنهم هم المفسدون ولكن لايشعرون (12)
 
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Janganlah berbuat kerusakan di bumi!’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan (revolusi).’ (12) Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan akan tetapi mereka tidak merasa.” (QS Al-Baqarah [2]: 11-12).
 
Ketika diingatkan dengan sifat aneh yang dimilikinya yang jelas telah menimbulkan efek fasad (mudarat), mereka lebih memilih untuk membantah dan menuruti kemauannya yang ia kira sebagai cara satu-satunya untuk melakukan perbaikan (ganti sistem/revolusi). 
 
Kembali pada persoalan riwayat tafsir. Penelitian riwayat merupakan hal mutlak untuk dilakukan bilamana pemahaman tersebut berkaitan dengan hukum. Adapun bila berkaitan dengan ilmu pengetahuan, seperti biologi, fisika, ekonomi dan sebagainya, ada peluang untuk masuk ke dalam dunia tafsir, akan tetapi hanya pada aspek menegaskan pemahaman yang sudah ma’tsûrât (disampaikan dalam bentuk dokumen riwayat) dan berupa penegasan terhadap ayat-ayat yang sifatnya kauniyah (berkenaan dengan alam).
 
Misalnya, untuk memahami bagaimana bentuk bumi, peredaran benda langit, peredaran bulan, dan lain sebagainya, mutlak dalam hal ini dibutuhkan alat penafsiran berupa pengetahuan. Adapun yang berkaitan dengan ayat hukum, seperti lama ‘iddah perempuan yang ditinggal mati suami, atau ‘iddah perempuan thalaq mati, maka semua ini merupakan ilmu yang bersifat ta’abbudi (harus mengikut pada dokumen nash dan riwayat penafsiran). Meskipun dunia modern sudah menemukan alat baru berupa mesin USG yang bisa digunakan untuk mengetahui kondisi rahim sehingga bisa memastikan kondisi istibrâ-u al-rahmi (bebasnya rahim), sifat dari ilmu ini tidak bisa mengalahkan aspek ta’abbudi dari ‘iddah yang mensyaratkan masa tunggu selama beberapa waktu lamanya sebagaimana sudah ditetapkan syariat. 
 
Walhasil, keanehan dalam dunia tafsir ayat Al-Qur’an merupakan sebab lahirnya ilmu al-ashîl wa al-dakhîl fi tafsîr al-qur’an. Sebagai penutup dari tulisan ini, sebuah kutipan dari Syeikh Abdul Wahab al-Fayad, salah satu ulama’ tafsir dari Universitas Al-Azhar. Beliau menggambarkan mengapa “keanehan” terjadi dalam tafsir ? Sepintas kilas, hal itu beliau sampaikan dalam muqaddimah kitab karyanya:
 
الدخيل... إنه عبارة عن التفسير الذي ليست له أصول ثابتة في الدين كأن يكون مخالفا لروح القرآن الكريم أو منافيا للعقل السليم أو ناشئا عن فهم سقيم أو نابعا من فكر وافد على الإسلام دين الله القويم
 
Artinya: “Al-Dakhil ... merupakan suatu istilah bagi penafsiran yang tidak memiliki sumber rujukan teruji (tsabitah) dalam agama, misalnya: penafsiran yang bertentangan dengan ruh ajaran Al-Qur’an yang Mulia, atau bertentangan dengan akal sehat, atau tumbuh karena pemahaman yang sakit, atau lahir dari pemikiran baru atas agama Islam yang seharusnya didudukkan sebagai agama Allah yang lurus.” (Abdul Wahab Abdul Wahab al-Fayad, al-Dakhîl fi Tafsîr Al-Qur’an al-Karîm, Kairo: Mathba’ah al-Hadlârah al-‘Arabiyyah, 1980: 2/3).
 
Wallahu a’lam bish shawâb. 
 
 
Ustadz Muhammad Syamsudin, Wakil Sekretaris Bidang Maudluiyah – LBMNU PWNU Jawa Timur