Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 156: Teguhkan Hati dalam Musibah

NU Online  ·  Rabu, 23 April 2025 | 06:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 156: Teguhkan Hati dalam Musibah

Ilustrasi musibah. Sumber: Canva/NU Online.

Saban manusia tak bisa luput dari musibah. Ia datang seperti angin yang tak pernah kita undang. Mengetuk pintu hidup tanpa aba-aba. Kadang berupa kehilangan orang yang terkasih, kadang berupa luka, kadang pula hadir dalam bentuk yang bahkan tak mampu kita namai. Namun, musibah bukanlah hukuman semata. Ia adalah bahasa Tuhan yang tak semua orang bisa segera mengerti.


Dalam hidup ini, kita berjalan di atas jalan yang sering kali tak kita kenal arahnya. Kita menata rencana, menyulam harapan, dan menggantungkan cita-cita tinggi di langit. Tapi kemudian, badai datang dan menghantam semua yang telah kita bangun. Rumah yang kita rawat bisa roboh, orang yang kita cintai bisa pergi meninggalkan, dan tubuh yang kita banggakan bisa jatuh sakit. Di sanalah musibah menyapa, menarik kita dari keramaian dunia, mengajak kita duduk sejenak dalam hening yang dalam.


Dalam Al-Qur'an, Allah menyebutkan musibah adalah cermin. Ia memantulkan siapa kita sebenarnya saat dunia tak lagi memberi tepuk tangan. Ia menguji ketulusan sabar, memperlihatkan sejauh mana kita bersandar pada Yang Mahakuasa. Dalam kepedihan, kita belajar bahwa manusia adalah makhluk lemah, dan kekuatan sejati hanya datang dari keikhlasan menerima dan usaha untuk bangkit kembali.


Simak firman Allah dalam QS A-Baqarah ayat 156:


اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ۝١٥٦


alladzîna idzâ ashâbat-hum mushîbah, qâlû innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn


Artinya, “(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan ‘Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn’ (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali).”


Ayat ini merupakan bagian dari rangkaian ayat yang berbicara tentang kesabaran, ujian, dan keimanan sejati, yaitu dari ayat 155 sampai 157 dalam Surat Al-Baqarah. Allah Subhanahu wa Ta‘ala memberikan peringatan bahwa manusia akan diuji dengan berbagai bentuk kesulitan seperti rasa takut, kelaparan, kehilangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Namun, Allah memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.


Dalam Tafsir Al-Misbah, ketika menjelaskan Surah Al-Baqarah ayat 156, Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa kalimat "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un", mencerminkan kesadaran bahwa manusia adalah milik Allah. Untuk itu, Allah berhak sepenuhnya melakukan apa saja terhadap milik-Nya sesuai kehendak-Nya. 


Namun, setiap perbuatan Allah tidak lepas dari kebijaksanaan dan kasih sayang-Nya. Ujian atau musibah yang menimpa bukan tanpa makna, pasti ada hikmah yang tersembunyi di baliknya. Sebagai Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Allah menyambut setiap hamba yang kembali  dengan cinta dan rahmat. Maka, pertemuan kelak dengan Allah bukanlah pertemuan yang menakutkan, melainkan perjumpaan yang penuh kasih. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, [Ciputat: Lentera Hati, 2002], Jilid I, hlm. 367)


Lebih jauh, kata Profesor Quraish Shihab, kepemilikan Allah atas manusia bukan bersifat individual semata, tetapi mencakup semua makhluk. Kata "kami milik Allah" menggambarkan kebersamaan dalam kepemilikan itu. Maka, saat musibah datang menimpa seseorang, ia tidak sendirian dalam penderitaan itu. Ia bukan yang pertama dan bukan pula yang terakhir. Kesadaran bahwa banyak orang juga mengalami musibah serupa akan meringankan beban yang ditanggung, karena penderitaan yang dibagi bersama menjadi lebih mudah untuk dihadapi (Tafsir Al-Misbah, hlm. 367).


Dengan demikian, ada keindahan yang tersembunyi dalam musibah, seperti pelangi yang muncul setelah hujan deras. Ia membuka ruang bagi jiwa untuk tumbuh. Ia mengajarkan arti syukur dari sisi yang berbeda. Ia menguatkan ikatan antarmanusia melalui empati dan saling peduli. Dan di atas segalanya, musibah adalah titian menuju Tuhan, menyadarkan bahwa di balik setiap kehilangan, ada tangan lembut yang sedang menggenggam erat dan tak pernah melepaskan.


Tidak, musibah bukan akhir dari cerita. Ia adalah jeda, tempat jiwa mengambil napas sebelum melangkah lebih teguh. Ia bukan untuk mematahkan, tapi untuk membentuk. Sebab dari tangis yang jatuh di sepertiga malam, akan lahir kekuatan yang bahkan tak pernah kita tahu kita miliki.


Begitu pun menurut Imam al-Qurthubi, dalam kitab Tafsir Jami' li Ahkami Al-Qur'an, ayat ini sebagai perlindungan bagi orang yang terkena musibah dan sedang diuji. Pasalnya, kalimat istirja' yang terkandung dalam ayat ini mengandung dua unsur penting: pengakuan atas tauhid dan kesadaran akan akhirat. 


Ucapan “Sesungguhnya kami adalah milik Allah” menunjukkan bahwa seluruh diri dan hidup kita adalah milik Allah. Kita bukanlah pemilik hidup ini, melainkan hanya hamba yang sepenuhnya berada dalam kekuasaan-Nya. Ini adalah bentuk penghambaan sejati, sebuah pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan berada dalam genggaman-Nya.


Sementara itu, ucapan “dan kepada-Nyalah kami akan kembali” adalah pengingat bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara. Pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Allah, mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan. Ini mengajarkan kita tentang kefanaan dunia dan pentingnya bersiap untuk kehidupan akhirat.


Lebih lanjut, Imam al-Qurthubi juga mengutip pendapat seorang ulama besar, Said bin Jubair, mengatakan bahwa kalimat istirja' ini adalah anugerah khusus yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumnya. Beliau berkata, “Kalimat-kalimat ini tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelum Nabi kita. Seandainya Nabi Ya’qub telah mengetahuinya, niscaya ia tidak akan berkata: ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.’” Ucapan ini menunjukkan betapa istimewanya kalimat istirja’ sebagai bentuk keteguhan iman saat menghadapi cobaan.


Simak penjelasan Imam Qurthubi berikut:


الرابعة: قوله تعالى: قالوا إنا لله وإنا إليه راجعون جعل الله تعالى هذه الكلمات ملجأ لذوي المصائب، وعصمة للممتحنين : لما جمعت من المعاني المباركة ، فإن قوله : إنا لله توحيد وإقرار بالعبودية والملك. وقوله: وإنا إليه راجعون إقرار بالهلك، على أنفسنا والبعث من قبورنا، واليقين أن رجوع الأمر كله إليه كما هو له. قال سعيد بن جبير رحمه الله تعالى: لم تعط هذه الكلمات نبيا قبل نبينا، ولو عرفها يعقوب لما قال: يا أسفى على يوسف


Artinya, “Keempat: Firman Allah Ta’ala: ‘Mereka berkata: Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah kami akan kembali.’ Allah Ta’ala menjadikan kalimat ini sebagai tempat berlindung bagi orang-orang yang tertimpa musibah dan sebagai pelindung bagi mereka yang diuji, karena kalimat ini mengandung makna-makna yang penuh berkah.


Adapun ucapan ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah’ merupakan bentuk tauhid dan pengakuan atas penghambaan serta kepemilikan Allah terhadap kita. Sedangkan ucapan ‘dan kepada-Nyalah kami akan kembali’ adalah pengakuan atas kebinasaan diri kita, keyakinan akan dibangkitkannya kita dari kubur, serta keyakinan bahwa seluruh urusan akan kembali kepada-Nya sebagaimana semuanya adalah milik-Nya.


Said bin Jubair rahimahullah berkata, “Kalimat-kalimat ini tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelum Nabi kita. Seandainya Nabi Ya’qub telah mengetahuinya, niscaya ia tidak akan berkata, ‘Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.’” 

 

Dengan demikian, Surat Al-Baqarah ayat 156 mengajarkan kepada kita bahwa dalam setiap musibah tersimpan pelajaran dan hikmah. Kalimat “innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” menjadi pelindung hati agar tidak larut dalam kesedihan, sekaligus menjadi jembatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang sabar dan diberi petunjuk oleh Allah. Aamiin.


Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Islam Tinggal di Ciputat