Tasawuf/Akhlak

Inilah Balasan bagi Orang yang Melalaikan Pembayaran Hutang

Sel, 13 September 2022 | 15:40 WIB

Inilah Balasan bagi Orang yang Melalaikan Pembayaran Hutang

Islam menganjurkan umatnya untuk tidak lalai dalam melakukan pembayaran hutang.

Dalam Islam, berhutang memang sesuatu yang diperbolehkan dan telah diatur ketentuannya, selama orang yang berhutang memiliki niatan dan kemampuan membayar di kemudian hari. Sebab, jika orang yang berhutang tidak memiliki niatan dan kemampuan untuk membayar, maka ancaman dan peringatan dari Rasulullah saw sudah siap menanti orang itu, sejak ia masih berada di dunia, di saat kematian, di alam kubur, hingga di akhirat. 


Ketika orang itu masih di dunia, Rasulullah saw memperingatkan, melalui hadits berikut ini: 


مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا، أَدَّاهَا اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا، أَتْلَفَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ


Artinya,“Siapa saja yang mengambil harta orang lain (berhutang) seraya bermaksud untuk membayarnya, maka Allah akan (memudahkan) melunasinya bagi orang tersebut. Dan siapa saja yang mengambilnya seraya bermaksud merusaknya (tidak melunasinya), maka Allah akan merusak orang tersebut,” (HR. Ibnu Majah). 


Dijelaskan para ulama, siapa saja yang berhutang dengan niat akan melunasinya, maka Allah akan memberikan jalan kemudahan dalam melunasinya. Sebaliknya, orang yang berhutang, tetapi tidak ada niat untuk melunasinya, maka Allah akan membiarkan orang itu dalam kesulitan hidup.   


Beratnya dosa orang yang melalaikan hutang, sampai-sampai ia terbunuh dalam keadaan syahid sekalipun, maka dosa hutang tetap tidak terampuni. Demikian sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw.


فِي الدَّيْنِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ رَجُلًا قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ، ثُمَّ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، ثُمَّ عَاشَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ مَا دَخَلَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَقْضِيَ دَيْنَهُ


Artinya, “Dalam urusan hutang, demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, seandainya seseorang terbunuh di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, kemudian terbunuh lagi di jalan Allah, kemudian hidup lagi, tetapi ia memiliki tanggungan hutang, maka ia tidak akan masuk surga sampai melunasi hutangnya,” (HR. Ahmad).

 
Pada saat kematiannya, orang yang berhutang tidak mendapat rida Allah swt. Hal itu tercermin dalam sikap Rasulullah saw ketika datang seorang jenazahnya kepadanya untuk dishalatkan. Namun, beliau menolak menshalatkannya. Beliau bertanya, “Apakah sahabat kalian ini memiliki hutang?”


Mereka menjawab, “Iya.”


Beliau bertanya lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu untuk melunasinya?”


Dijawab oleh mereka, “Tidak.”


Beliau mengatakan, “Shalatkan saja sahabat kalian itu oleh kalian!” Untungnya, ‘Ali bin Abi Thalib menyela, “Biarlah kewajibanku melunasi hutangnya.” Mendengar demikian, beliau berkenan maju dan menshalati jenazah orang tersebut. (HR. al-Bukhari). 


Setelah berada dalam kubur, orang yang berhutang juga mengalami penyesalan yang luar biasa, sampai-sampai tangannya terbelenggu di tengkuknya, sebagaimana hadits Rasulullah saw, “Orang yang memiliki hutang, di alam kuburnya, tangannya terbelenggu. Tidak ada yang dapat melepaskannya hingga hutangnya dilunasi.” 


Belum lagi di akhirat kelak, orang berhutang juga kebaikannya diambil oleh orang yang menghutanginya, sebagaimana hadits berikut:


مَنِ ادَّانَ دَيْنًا وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ أَدَّى الله عَنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنِ اسْتَدَانَ دَيْنًا، وَهُوَ لَا يَنْوِي أَنْ يُؤَدِّيَهُ فَمَاتَ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: ظَنَنْتُ أَنِّي لَا آخُذُ لِعَبْدِي حَقَّهُ، فَيُؤْخَذُ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَيُجْعَلُ فِي حَسَنَاتِ الْآخَرِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ الْآخَرِ فَجُعِلَتْ عَلَيْه 


Artinya, “Siapa saja yang berhutang, seraya berniat untuk melunasinya, maka Allah akan melunasinya dari orang tersebut pada hari Kiamat. Sementara siapa saja yang berhutang, seraya tidak ada niat untuk melunasinya, kemudian ia meninggal, maka pada hari Kiamat, Allah berkata kepadanya, ‘Aku mengira bahwa Aku tidak mengambil haknya untuk hamba-Ku.’ Maka diambillah kebaikan-kebaikannya, lalu diberikan kepada kebaikan-kebaikan yang lain. Setelah tidak ada lagi kebaikan yang bisa diambil, maka keburukan yang lain dilimpahkan kepadanya.” (HR. Ath-Thabrani). 


Maksudnya adalah kebaikan orang-orang yang berhutang ditambahkan kepada kebaikan-kebaikan orang yang menghutangi. Setelah kebaikan yang berhutang tidak ada, maka keburukan-keburukan orang yang menghutangi dilimpahkan kepada orang yang berhutang. 


Mengingat beratnya ancaman bagi orang yang memiliki hutang, maka syariat juga memberi pahala dan balasasn yang besar kepada si pemberi pinjaman yang rela memberi kelonggaran kepada si peminjam yang mengalami kesulitan melunasi hutang. Terlebih jika ia sampai lapang dada membebaskannya.  Dijanjikan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya:  


مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا، أَوْ وَضَعَ لَهُ، أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي ظِلِّ عَرْشِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya, “Siapa saja yang memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan membayar hutang, atau membebaskannya, maka Allah akan menaunginya di bawah naungan arasy-Nya pada hari Kiamat. Dalam riwayat lain, disebutkan, ‘....maka Allah akan melindunginya dari panasnya neraka jahanam.’” (HR. Ahmad).
 

Demikian pula, ketika memiliki kelapangan hati untuk melunasi hutang orang yang kesulitan. Ia dijanjikan Allah dilepaskan dari tanggungan pada hari Kiamat. 


لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ مسلم يَقْضِي عَنْ أَخِيهِ دَيْنَهُ إِلَّا فَكَّ اللهُ رِهَانَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya, “Tidaklah seorang hamba muslim melunasi hutang saudaranya, kecuali Allah akan melepaskan tanggungannya pada hari kiamat,” (HR. ad-Daruquthni).


Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa pinjaman yang diberikan kepada orang lain, setiap harinya dinilai sebagai sedekah selama belum jatuh tempo pembayaran. Sementara setelah jatuh tempo pembayaran, maka setiap harinya hutang itu dinilai sebagai sedekah dua kali lipatnya.    


مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ فَأَنْظَرَهُ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَيْهِ صَدَقَةٌ 


Artinya, “Siapa saja yang memberi penangguhan kepada orang yang kesulitan bayar hutang sebelum jatuh tempo pembayaran, maka setiap harinya dianggap sebuah sedekah baginya. Sementara jika sudah jatuh tempo, maka setiap harinya dinilai dua kali lipat sedekah baginya,” (HR. Ahmad). 


Para ulama menyebutkan, mengapa pahala memberi pinjaman lebih besar daripada pahala sedekah biasa, sebab utang atau pinjaman yang dilakukan seseorang semata dilakukan atas dasar kebutuhan. Sementara sedekah yang diberikan adakalanya dibutuhkan oleh si penerima adakalanya kurang dibutuhkan. 


Meski demikian, dengan kemurahan-Nya, Allah juga memberikan keringanan kepada orang berhutang yang kesulitan membayar hutangnya, selama ketidakmampuannya bukan karena kesengajaan dan kelalaian.


Pada hari Kiamat, Allah akan memanggil hamba yang berhutang, hingga didirikan di hadapan-Nya, lalu ditanya, “Wahai anak Adam, untuk apa engkau mengambil hutang itu, dan untuk apa engkau menyia-nyiakan hak manusia?”


Sang hamba yang berhutang menjawab, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku mengambilnya, tetapi  aku tidak memakannya, aku tidak meminumnya, aku tidak memakainya, dan aku menyia-nyiakannya. Hutang itu berada di tanganku karena terbakar, dicuri, atau hilang.”


Allah berfirman, “Hamba-Ku benar, sehingga Aku lebih berhak melunasi hutangmu pada hari ini.” Kemudian, Allah menyeru sesuatu dan menyimpannya pada neraca amal orang itu, sampai timbangan kebaikan-kebaikannya mengungguli keburukan-keburukannya. Lalu Allah memasukan hamba tersebut ke dalam surga berkat rahmat-Nya.” Demikian dalam hadits riwayat Ahmad dan ath-Thabrani, sebagaimana yang dikutip oleh Syekh Zainduddin al-Malaibari dalam Kitab Irsyadul ‘Ibad, halaman 78.


Dari sejumlah hadits di atas, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan berikut: 


1. Siapa saja yang berhutang, maka hendaknya memiliki niatan yang baik dan itikad yang kuat untuk melunasinya. Sebab, dengan begitu, Allah akan memberi kemudahan kepadanya. 


2. Cukup berat ancaman bagi orang yang melalaikan hutang, baik di dunia, pada saat kematian, pada saat di alam kubur, maupun di akhirat. Agar tidak termasuk orang yang melalaikan hutang, maka di saat kita memiliki hutang dan belum memiliki uang untuk membayarnya, maka tunjukkan itikad baik dan niatan untuk membayarnya, seperti menemui si pemberi pinjaman, menyampaikan permohonan maaf, dan berusaha untuk mengangsurnya jika sudah ada.


3. Oleh karena beratnya ancaman bagi orang yang melalaikan hutang, maka syariat juga memberi balasan yang besar bagi siapa saja yang memberi kelonggaran  kepada orang yang berhutang, kepada orang yang membebaskannya, dan juga kepada siapa saja yang melunasi hutang saudaranya.  


4. Membayar hutang memang suatu keharusan. Namun sebagai Zat yang maha murah, Allah juga mengetahui siapa saja hamba-Nya yang benar-benar tidak mampu melunasi hutangnya. Sehingga di akhirat, Dia berjanji yang akan melunasinya. Wallahu a’lam.


Ustadz Tatam Wijaya, alumnus Pondok Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.