Syariah

Utang Negara Bukan Utang Rakyat

Sen, 21 Mei 2012 | 15:00 WIB

Utang Negara Bukan Utang Rakyat

Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF disaksikan oleh Michel Camdessus selaku Managing Director (Foto: Istimewa)

Sampai saat ini negara kita masih belum bisa keluar dari krisis ekonomi. Untuk menutupi anggaran, terpaksa negara terus meminjam ke sana ke mari, sehingga sampai kini utang negara telah mencapai kurang lebih 1.859,43 triliun atau 202,55 miliar dollar AS.

 

Artinya, jika utang negara dibagi rata di antara penduduk, maka setiap kepala termasuk bayi yang baru lahir, harus menanggung beban utang masing-masing sekitar 8-7 juta rupiah. Sementara kita tahu bahwa tidak sedikit di antara uang utang tersebut dikorup oleh para pejabat.
 

Pemerintah sebagai pelaksana wewenang negara adalah wakil kita, atau memegang mandat untuk mengurus keperluan rakyat dan melindungi hak-haknya. Kemaslahatan rakyat adalah acuan utama seluruh kebijakan dan kerja negara–pemerintah, sesuai kaidah fiqih “Tasarruful imam ‘alar raiyyah manuthun bil mashlahah.
 

Aturan main soal utang piutang termaktub dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 282, hal ini sebagai indikator betapa seriusnya urusan utang piutang tersebut, bukan sepanjang hidup di dunia saja, tapi sampai akhirat kelak.
 

Berkaitan dengan beban utang, beberapa hadits Nabi Muhammad SAW perlu diperhatikan; pertama  menerangkan bahwa beliau tidak berkenan menshalatkan jenazah yang masih mempunyai utang (HR al-Bukhari).
 

Kedua bahwasannya Pahala ahli kubur akan ditangguhkan sampai utangnya dilunasi. (HR. Turmudzi).
 

Ketiga bahwa pada hari kiamat nanti utang itu sudah dibayar dengan pahala kebaikan, jika pahalanya sudah habis sementara penagih masih antri, maka dosa piutang akan dipikul kepada yang mempunyai utang (HR al-Bukhari).
 

Keempat bahwa Allah swt akan membebaskan semua dosa orang yang mati syahid, kecuali masalah utang (HR Muslim, Riyadhush Shalihin, dalam "Kitab Jihad").
 

Dengan demikian, hubungannya dengan utang negara apakah menjadi utang pribadi warga? Lantas siapakah yang berkewajiban membayanya?
 

Mengenai hal ini, apa yang dijelaskan oleh Izuddin bin Abdis Salam sekiranya dapat diambil dasar bahwa tanggungjawab ada pada negara, apa bila utang itu digunakan untuk kemaslahatan rakyat banyak.
 

Namun terhadap utang negara yang dikorup oleh para pejabat dan kroninya, maka negara membayarnya dengan dana yang ditarik kembali dari orang-orang yang mengkorupnya. Seperti diisyaratkan dalam al-Fatawa.
 


وَأَمَّا دَيْنُ الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ مَعْذُوْرًا فِي تَأْخِيْرِهِ إِلَى مَا بَعْدَ الْمَوْتِ فَلاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ أَنَّهُ يَعْصِى وَلاَ يَأْثَمُ، فَإِنْ كَانَ عَاصِيًا فِي تَأْخِيْرِهِ فَإِنَّهُ يَأْثَمُ بِذَلِكَ، وَإِنِ اسْتَدَانَهُ لِمَعْصِيَةٍ كَانَ عَلَيْهِ وِزْرًا لِأَنَّهُ عَصَى مَعْصِيَتَيْنِ، وَإِنِ اقْتَرَضَ لِوَاجِبٍ أَوْ مُبَاحٍ وَلَمْ يُقْصِرْ فِي التَّأْخِيْرِ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَأَمَّا قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ. فَالتَّعَلُّقُ ضَرْبَانِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يَتَعَلَّقَ تَعَلُّقَ عِقَابٍ وَمُؤَاخَذَةٍ، فَهَذَا لَا تَجْرِي فِيْ حَقِّ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ اْلإِسْلاَمِ إِذَا لَمْ يَأْثَمْ بِاْلاقْتِرَاضِ وَلاَ بِالْمَطَالِ، وَهَذَا مُحَالٌ أَنْ يُوْجَدَ فِيْ حَقِّ النَّبِيِّ r، فَإِنَّهُ لَا يَقْتَرِضُ إِلاَّ فِيْ طَاعَةٍ أَوْ مُبَاحٍ. الثَّانِي أَنْ تَعَلَّقَ نَفْسُهُ بِدَيْنِهِ بِأَنْ تُؤْخَذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ مَكَانَ مَا أَخَذَ مِنَ الدُّيُوْنِ الْمُبَاحَةِ، كَمَا بَاعَ فِي الدُّنْيَا مَسْكَنَهُ وَخَادِمَهُ مَعَ أَنَّهُ لَا إِثْمَ عَلَيْهِ

(Artinya) Adapun utang seseorang yang meninggal dunia, jika yang bersangkutan memiliki udzur dalam menunda pelunasan utangnya sampai meninggal dunia, maka tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama muslimin bahwa tidak maksiat dan tidak menanggung dosa.
 

Jika ia bermaksiat dalam menunda pelunasan utangnya, maka ia berdosa dengan sebab penundaan tersebut. Jika ia berutang untuk perbuatan maksiat, maka ia berdosa dengan dua maksiat, dan jika ia berutang untuk sesuatu yang wajib atau mubah, dan ia tidak teledor dalam menunda (pembayaran) maka ia tidak berdosa.
 

Sabda Nabi SAW: “Diri seorang mukmin tergantung dengan utangnya sampai dilunasi.” Pengertian 'tergantung' itu mempunyai dua macam makna.
 

Pertama, tergantung dengan hukuman dan siksaan. Yang demikian ini tidak berlaku pada seorang Muslim pun, ketika ia tidak berdosa dengan utang dan menunda pelunasannya. Yang seperti ini mustahil terjadi pada pribadi Nabi SAW, karena beliau tidak berutang kecuali untuk ketaatan atau sesuatu yang mubah.

Kedua, dirinya tergantung dengan utang tersebut. Dalam arti pahala-pahala amal kebaikannya diambil untuk mengganti utang-utangnya dalam hal-hal yang mubah, sebagaimana ketika di dunia ia menjual rumah untuk melunasi utang, dan setelah itu dia tidak berdosa.

 

Disarikan dari Hasil Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama Di Asrama Haji Pondok Gede. Jakarta, 25-28 Juli 2002. (Redaktur: Ulil A. Hadrawy)