Tasawuf/Akhlak

Inti Agama Islam pada Pengagungan Allah dan Kasih Sayang

NU Online  ·  Senin, 11 Maret 2019 | 08:30 WIB

Inti Agama Islam pada Pengagungan Allah dan Kasih Sayang

(Foto: @tnews.co.th)

Sebagaimana telah maklum bahwa ajaran Islam sangat komplek dan mencakup segala bidang dan sendi kehidupan umat manusia. Tak ada perilaku manusia sekecil apapun itu kecuali Islam telah mengatur dan menetapkan ketentuannya.

Islam mengatur masalah aqidah, hukum, pergaulan dengan sesama manusia, hingga persoalan bagaimana sebaiknya seseorang menjalani tidurnya. Semuanya diatur dengan sangat detail oleh Islam. Untuk itu semua 30 juz ayat Allah telah diturunkan, ribuan hadits Rasulullah telah terkodifikasi, dan ajaran para ulama telah tertulis pada ribuan atau bahkan jutaan judul buku yang berjilid-jilid.

Namun demikian bila dicermati lebih jauh ajaran Islam yang begitu kompleksnya sesungguhnya, di bidang apapun, semuanya tidak lepas dan hanya terangkum dalam dua hal. Kedua hal itu adalah mengagungkan Allah subhânahû wa ta’âlâ dan berlaku kasih sayang terhadap makhluk-Nya.

Simpulan ini banyak disampaikan oleh para ulama semisal Syekh Muhammad Nawawi Banten. Di dalam kitabnya Nashâihul ‘Ibâd ulama asli Indonsia yang bergelar Sayid Ulama Hijaz ini menuturkan:

فان جميع أوامر الله تعالى ترجع الى خصلتين التعظيم لله تعالى والشفقة لخلقه

Artinya, “Sesungguhnya semua perintah-perintah Allah kembali kepada dua hal; mengagungkan Allah ta’âlâ dan berkasih sayang terhadap makhluk-Nya,” (Lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Nashâihul ‘Ibâd, [Jakarta, Darul Kutul Al-Islamiyah: 2010], halaman 9).

Sementara di dalam kitabnya yang lain, Tafsir Marâh Labîd, Syekh Nawawi mengungkapkan hal yang sama dengan redaksi yang berbeda:

الطاعات محصورة في أمرين: التعظيم لأمر الله، والشفقة على خلق الله

Artinya, “Ketaatan-ketaatan itu terangkum pada dua hal, yakni mengagungkan Allah dan berbuat kasih sayang (syafaqah) terhadap makhluk-Nya,” (Lihat Muhammad Nawawi Al-Jawi, Marâh Labîd, [Beirut, Darul Fikr: 2007], juz I, halaman 117).

KH Subhan Makmun, pengasuh Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, yang juga Rais Syuriyah PBNU, dalam satu kesempatan menjelaskan bahwa seseorang bisa dikatakan telah melakukan ketaatan dengan sebenarnya bila ia telah melakukan kedua hal di atas.

Mereka yang hanya takzhîm memuliakan Allah saja tanpa dibarengi dengan perilaku kasih sayang terhadap sesama makhluk belum dikatakan taat dengan sebenar-benarnya taat.

Ia memberikan satu gambaran, “Ketika Anda di tengah malam bangun untuk melakukan shalat tahajud, lalu ketika Anda hendak mengelar sajadah di tempat shalat ternyata di sana ada sekelompok semut yang sedang mengerubungi bangkai seekor cicak, apa yang akan Anda lakukan?

Apakah Anda akan menyapu bersih semut-semut itu agar Anda dapat bersembahyang di sana, ataukah Anda akan membiarkan mereka tetap menikmati makanannya sementara Anda mencari tempat lain untuk shalat?

Bila Anda menyapu bersih semut-semut itu maka Anda belum dikatakan melaksanakan ketaatan dengan sebenarnya karena Anda hanya mengagungkan Allah dengan bertahajud namun tidak berkasih sayang terhadap makhluk-Nya dengan mengusir semut-semut yang sedang menikmati makanannya.” Demikian Kiai Subhan menjelaskan.

Lebih jauh terpenuhinya dua hal yang menjadi rangkuman dari ajaran Islam itu erat kaitannya dengan kebahagiaan sejati yang dapat diraih oleh manusia. Menurut Imam Abu Hayan Al-Andalusi di dalam kitab tafsirnya Al-Bahrul Muhîth bahwa kebahagiaan itu terikat dengan dua hal, yakni mengagungkan Allah SWT dan berlaku kasih sayang terhadap makhluk-Nya. Dalam tafsir tersebut Abu Hayan menegaskan:

بِأَنَّ السَّعَادَةَ مَرْبُوطَةٌ بِأَمْرَيْنِ التَّعْظِيمِ لِلَّهِ وَالشَّفَقَةِ عَلَى خَلْقِهِ

Artinya, “Bahwa seseungguhnya kebahagiaan itu terikat pada dua hal, yakni mengagungkan Allah dan berlaku kasih sayang terhadap makhluk-Nya,” (Lihat Abu Hayan Al-Andalusi, Al-Bahrul Muhîth fit Tafsîr, [Beirut, Darul Fikr: 2005], juz IX, halaman 286).

Lebih lanjut Abu Hayan juga menuturkan bahwa kecelakaan, kebinasaan dan kesedihan mengenai orang-orang musyrik karena mereka tidak mau mengagungkan Allah dengan menauhidkan-Nya dan menafikan sekutu bagi-Nya serta mereka tidak mau berkasih sayang terhadap makhluk-Nya dengan memberikan kebaikan bagi mereka. (Lihat Abu Hayan Al-Andalusi, Al-Bahrul Muhîth fit Tafsîr, [Beirut, Darul Fikr: 2005], juz IX, halaman 286).

Dari penjelasan para ulama di atas kiranya dapat diambil satu pemahaman bahwa seseorang akan dapat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya baik di dunia maupun di akhirat kelak bila ia mau melakukan dua hal yang menjadi ajaran inti agama Islam, yakni mengagungkan Allah dan mengasihi sesama makhluk-Nya.

Berbaik-baik kepada Allah saja tidak cukup. Bagaimana mungkin Allah merasa senang dengan seseorang yang berperilaku baik kepada-Nya, namun sementara itu Allah melihat makhluk ciptaan-Nya diperlakukan tidak semestinya. Dalam keadaan seperti ini tentunya bukan kebahagiaan yang akan diperoleh dari Allah, namun bisa jadi kemurkaan-Nya.

Bisa digambarkan pada diri kita, akankah kita merasa senang ketika kita begitu dihormati oleh seseorang namun di sisi lain kita melihat anak kita diperlakukan tidak baik oleh orang itu? Tentunya yang akan kita berikan kepada orang itu bukanlah rasa simpatik dan hormat, tapi justru kemarahan dan kebencian. Bukan begitu? Wallâhu a’lam.


Ustadz Yazid Muttaqin, aktif di PCNU Kota Tegal.