Tasawuf/Akhlak

Kebahagiaan Ahli Kubur karena Kebaikan Keluarganya

Kam, 3 Maret 2022 | 10:00 WIB

Kebahagiaan Ahli Kubur karena Kebaikan Keluarganya

Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat ahli kubur keluar dari kubur mereka dengan pakaian yang sangat bagus dan wajah putih berseri-seri.

Sudah menjadi tradisi baik masyarakat di Tanah Air. Setiap ada yang meninggal, keluarganya menyibukkan diri dengan berbagai kebaikan hingga beberapa hari sepeninggalnya. Mulai dari membayar fidyah, melunasi utang-piutang, hingga  sedekah makanan yang dikemas dalam acara tahlilan dan kiriman doa.


Rupanya, itu bukan sekadar tradisi, melainkan juga amal kebaikan yang didasarkan pada dalil-dalil. Antara lain adalah hadis riwayat Abu Dawud ath-Thayalisi berikut ini. 


Ash-Shaltu ibn Dinar meriwayatkan dari Al-Hasan, dari Jabir bin Abdullah, yang menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:


إِنَّ أَعْمَالَكُمْ تُعْرَضُ عَلَى عَشَائِرِكُمْ وَأَقْرِبَائِكُمْ فِي قُبُورِهِمْ، فَإِنْ كَانَ خَيْرًا اسْتَبْشَرُوا بِهِ، وَإِنْ كَانَ غَيْرَ ذَلِكَ قَالُوا: اللَّهُمَّ أَلْهِمْهُمْ أَنْ يَعْمَلُوا بِطَاعَتِكَ 


Artinya, “Sungguh, amal-amal kalian ditunjukkan kepada keluarga dan kerabat kalian di dalam alam kubur mereka. Jika amal kalian baik, mereka gembira. Namun, jika amal kalian tidak baik, mereka berdoa, ‘Ya Allah, berilah mereka ilham untuk berbuat ketaatan kepada-Mu,’” (HR. Abu Dawud ath-Thayalisi).


Sejalan dengan hadits di atas, ada sebuah kisah yang disebutkan oleh Syekh Muhammad ibn Abu Bakar dalam Kitab Al-Mawa‘izh Al-‘Ushfuriyyah. Dikisahkan ada seorang yang bernama Tsabit Al-Banani yang memiliki suatu kebiasaan baik, yakni berziarah kubur setiap malam Jumat dan berdoa di sana sampai waktu subuh menjelang.


Suatu ketika, di tengah munajatnya, ia dilanda rasa kantuk yang luar biasa hingga akhirnya tertidur. Dalam tidurnya, ia bermimpi melihat ahli kubur keluar dari kubur mereka dengan pakaian yang sangat bagus dan wajah putih berseri-seri.


Tak lama berselang, datanglah hidangan yang berisi rupa-rupa makanan untuk masing-masing mereka. Namun, tampak di antara mereka ada seorang anak muda yang berwajah pucat pasi, berambut kusut,  berhati sedih, dan berpakaian lusuh. Kepala menunduk sambil berlinang air mata.


Rupanya tidak ada hidangan apa pun baginya. Saat ahli kubur yang lain pulang membawa kegembiraan, ia justru pulang membawa kesedihan.


Saat ditanya keadaannya oleh Tsabit, “Wahai anak muda, siapakah kamu sesungguhnya? Saat orang-orang mendapat makanan, lalu pulang membawa kebahagiaan, kamu tak mendapat hidangan apa-apa dan malah tampak diliputi kesedihan.”


Dengan raut kebingungan, si pemuda menjawab, “Wahai pemimpin Muslimin, aku ini terasing di tengah mereka. Aku tak memiliki seorang pun yang mengingatku dengan kebaikan dan doa. Sementara mereka memiliki sanak keluarga dan kerabat, yang semuanya mengingat mereka dengan doa, kebaikan, dan sedekah. Saban malam Jumat, mereka dikirimi rupa-rupa kebaikan dan pahala sedekah. Saat di dunia, aku dan ibuku akan menunaikan ibadah haji karena kami berniat menjalankannya. Ketika memasuki wilayah Mesir, Allah berkehendak lain. Dia memanggilku dan aku dikubur oleh ibuku di kuburan ini. Sejak menikah lagi, ibuku menjadi lupa kepadaku. Tidak pernah ingat kepadaku dengan doa atau sedekah. Itulah sebabnya aku menjadi putus asa dan sedih setiap saat.”


Tsabit lantas bertanya, “Wahai anak muda, coba ceritakan di mana ibumu sekarang? Aku akan mengabarinya tentang kamu dan keadaanmu.”


“Hai pemimpin Muslimin, ibuku di kampung ini, di negeri ini. Silakan kabarkan saja. Jika ia tidak percaya kepada Tuan, sampaikan  saja padanya, ‘Di kantongmu ada 100 mitsqal perak warisan dari sang ayah dan itu adalah hak anaknya yang harus disedekahkan,” kata si pemuda.


Setelah Tsabit berusaha mencari, akhirnya ibu si pemuda ditemukan. Ia menyampaikan kepadanya tentang kabar putranya, sekaligus menyampaikan perihal 100 mitsqal perak  yang disebutkan tadi.


Mendengar kabar demikian, si wanita langsung tak sadarkan diri. Setelah beberapa lama, ia kembali sadar dan langsung menyerahkan 100 mitsqal perak tadi kepada Tsabit, seraya berpesan, “Aku mewakilkan saja kepadamu untuk menyedekahkan perak ini demi anakku yang terasing.” Tsabit lantas menerima perak itu dan menyedekahkannya untuk anak muda tadi.


Saat bertemu lagi malam Jumat, Tsabit kembali berangkat menziarahi saudara-saudaranya. Ia bermimpi lagi seperti sebelumnya. Dalam mimpi, ia berjumpa kembali dengan si pemuda, namun sekarang ia tampak gembira, mengenakan pakaian bagus, dan berwajah putih.


Saat itu, si pemuda berkata, “Wahai pemimpin Muslimin, Allah telah merahmatimu, sebagaimana engkau telah menyayangiku.”


Dari di kisah di atas, dapat dipetik beberapa pelajaran sebagai berikut:

 
  • Orang yang meninggal atau ahli kubur masih dapat memperoleh manfaat dari kebaikan keluarga dan kerabatnya.
 
  • Tak hanya memperoleh manfaat, ahli kubur juga merasa gembira atau sedih karena amalah keluarganya.
 
  • Memang benar, ahli kubur sudah terputus amalnya, tapi masih diberi kesempatan untuk mendoakan keluarganya.
 
  • Cukup masyhur pendapat ulama yang menyebutkan bahwa setiap malam Jumat, ahli kubur diberi tahu siapa saja orang-orang yang mendoakan atau menziarahi kuburnya.
 
  • Bentuk kebaikan orang yang masih hidup kepada orang tua yang telah tiada atau siapa saja yang sudah meninggal adalah menziarahi kuburnya, mendoakan, berinfak atas namanya,  bersedekah untuknya, dan melanjutkan kebaikan-kebaikannya.


Dari penggalan kisah di atas, jelaslah bahwa kedua orang tua atau para ahli kubur akan sedih dengan keburukan keluarganya dan akan gembira dengan kebaikan mereka. (Lihat: al-Mawa‘izh al-‘Ushfuriyyah, hal. 18-19).


Ustadz M Tatam Wijaya, anggota Forum Ulama-Umara Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.