Tasawuf/Akhlak

Keutamaan Diam dan Menjaga Lisan menurut Islam

Ahad, 24 Desember 2023 | 06:00 WIB

Keutamaan Diam dan Menjaga Lisan menurut Islam

Ilustrasi. (Foto: NU Online/Freepik)

Sebagian orang mungkin ada yang mengira bahwa orang yang banyak bicara itu adalah orang hebat karena punya banyak pengetahuan dan pengalaman. Namun dalam ajaran Islam, diam dan menjaga lisan dinilai lebih baik karena memiliki sejumlah keutamaan.

 

Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam as-Syafi’I dalam kitab al-Jawahir al-Lu`lu`iyyah fi Syarhi al-arba’in an-Nawawiyyah karangan al-Imam al-Allamah as-Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Jardany, disebutkan bahwa salah satu faedah menjadi orang yang sedikit bicara atau tidak banyak omong adalah bisa menambah kecerdasan akal.

 

وقال الشافعي – رضي الله تعالى عنه –: ثلاثة تزيد في العقل: مجالسة العلماء، ومجالسة الصالحين، وترك الكلام فيما لا يعني.

 

Artinya: “Imam as-Syafi’i – Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu – berkata: Ada tiga hal yang bisa menambah kecerdasan seseorang: Pertama adalah berkumpul atau duduk bersama ulama, kedua adalah berkumpul dengan orang-orang saleh, dan ketiga adalah meninggalkan pembicaraan yang tidak berarti” (al-Syekh Muhammad bin Abdillah al-Jardani, al-Jawahir al-Lu`luiyyah fi Syarhi al-arba’in an-Nawawiyyah, [Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah, 1442], halaman 147)

 

Lebih lanjut, dalam keterangan yang sama, disebutkan bahwa siapa pun yang menginginkan agar diberikan hati yang bersinar, hendaknya ia meninggalkan pembicaraan yang sia-sia atau tidak berarti.

 

وقال أيضا: من أراد أن ينوِّر الله قلبه، فليترك الكلام فيما لا يعنيه.

 

Artinya: “Beliau (Imam Syafi’i Radhiyallahu ‘anhu) juga berkata: Barangsiapa yang menginginkan agar Allah subhanahu wa ta’ala menyinari hatinya, maka hendaknya ia berhenti membicarakan hal yang bukan urusannya” (al-Syekh Muhammad bin Abdillah al-Jardani, al-Jawahir al-Lu`luiyyah... halaman 147)

 

Bahkan, Sayyidina Umar bin Khattab yang merupakan khalifah kedua di masa Khulafaur Rasyidin juga berpesan agar kita menjadi orang yang hemat dalam berbicara, dalam hal ini adalah tidak ikut campur terhadap apa yang bukan menjadi urusan kita.

 

ووعظ عمر بن الخطاب – رضي الله تعالى عنه – رجلًا، فقال له: لا تتكلم فيما لا يعنيك واعتزل عدوك، واحذر صديقك الأمين – ولا أمين إلا من يخشى الله – ولا تمش – مع الفاجر فعليك من فجوره، ولا تطلعه على سرك، ولا تشاور في أمورك إلا الذين يخشون الله – عز وجل – 

 

Artinya: “Sayyidina Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu menasihati seorang laki-laki dan berkata kepadanya: Janganlah engkau berbicara terhadap apa yang bukan urusanmu, menjauhlah dari musuhmu, waspadalah terhadap temanmu yang dapat dipercaya – sebab tidak ada orang yang dapat dipercaya kecuali orang yang bertakwa kepada Allah, jangan bergaul dengan orang yang bermaksiat karena untuk berhati-hati dari maksiatnya, janganlah kamu membocorkan rahasiamu kepadanya, jangan jangan berdiskusi tentang urusanmu kecuali kepada orang-orang yang bertakwa kepada Allah azza wajalla” (al-Syekh Muhammad bin Abdillah al-Jardani, al-Jawahir al-Lu`luiyyah..., halaman 146)

 

Di dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga berpesan kepada umat Islam agar bisa menjadi orang yang lebih memilih untuk diam jika tidak bisa berkata yang baik. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam hadits kelima belas dari kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah karangan al-Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi atau lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi.

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ... (رواه البخاري ومسلم

 

Artinya: “Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau memilih untuk diam ..” (HR al-Bukhari dan Muslim)

 

Dari petikan hadits tersebut, pesan dari Rasulullah sudah sangatlah jelas, yaitu memerintahkan kepada umatnya agar bisa menjadi orang yang hemat bicara jika tidak bisa berkata yang baik. Terlebih lagi, apa yang disampaikan oleh Rasulullah dalam hadits tersebut diawali dengan kalimat "man kana yu'minu billahi wal yaumil akhir". Hal ini  mengisyaratkan bahwa jika seseorang mengaku sebagai orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentunya ia akan melaksanakan ajaran yang ada dalam hadits tersebut.

 

Mengenai ini, Imam al-Ghazali pernah berpesan agar bisa menjaga lisan sehingga tidak sampai merusak urusan kita. 

 

وقال الغزالي - رحمه الله تعالى-: لا تبسطن لسانك، فيفسدن عليك شأنك

 

Artinya: “Imam Al-Ghazali rahimahullahu ta’ala berkata: Jangan membesar-besarkan lisanmu, jangan sampai mereka merusak urusanmu” (al-Syekh Muhammad bin Abdillah al-Jardani, al-Jawahir al-Lu`luiyyah..., halaman 168)

 

Terlebih lagi Rasulullah bersabda:

 

عليك بطُولِ الصَّمتِ، فإنَّه مطرَدةٌ للشَّيطانِ، وعونٌ لك على أمرِ دِينِك.

 

Artinya: "Hendaklah engkau lebih banyak diam, sebab diam dapat menyingkirkan setan dan menolongmu terhadap urusan agamamu." (HR Ahmad)

 

Untuk itu, sudah seyogyanya kita berusaha untuk menjaga lisan agar diri kita bisa mendapatkan kebaikan, serta bisa termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir karena menjaga lisan kita. Wallahu a’lam.

 

Ahmad Hanan, Alumni Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan Pesantren MUS-YQ Kudus.