Tasawuf/Akhlak

Tunjangan Guru Hilangkan Keikhlasan Mengajar? Begini Kata Imam Al-Ghazali 

Ahad, 4 September 2022 | 21:00 WIB

Tunjangan Guru Hilangkan Keikhlasan Mengajar? Begini Kata Imam Al-Ghazali 

Sering kali gaji dan tunjangan ditempatkan berhadapan sehingga kita harus memilih salah satunya. Padahal tidak mesti demikian

Tuduhan terhadap guru yang berniat cari uang dengan aktivitas mengajarnya sebagai guru yang tidak ikhlas,  atau guru yang jual ilmu demi meraup keuntungan duniawi sering terjadi. Sementara sebagai manusia, guru juga perlu menafkahi keluarga. Lalu sebenarnya bagaimana Islam memandangnya? 


Merujuk pada kasus amal kebaikan yang bercampur dengan motif-motif duniawi, ada penjelasan menarik dari Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin.


Berkaitan amal kebaikan yang bercampur dengan motif-motif duniawi, Imam Al-Ghazali punya pandangan yang berbeda dengan ulama lainnya.


Menurutnya hal itu tergantung motif mana yang mendominasi, apakah motif ukhrawi mengajar lillahi ta'ala, motif cari keuntungan duniawi; atau justru seimbang antara keduanya.


(1) Bila seimbang, maka amal kebaikan tidak mendatangkan pahala dan juga tidak menyebabkan dosa. (2) Bila motif duniawi yang mendominasi, maka amal kebaikan tidak mendatangkan manfaat pahala baginya, bahkan justru menjadi dosa dan mendatangkan siksa. Namun demikian, siksanya lebih ringan dibandingkan dengan amal kebaikan yang sejak awal memang 100% ditujukan untuk motif-motif duniawi seperti pamer amal dan semisalnya.


Kemudian (3), bila motif ukhrawi yang mendominasi maka akan mendatangkan pahala sesuai prosentase motif ukhrawi yang ada. 


Pandangan Imam Al-Ghazali seperti ini seiring firman Allah ta'ala yang tak akan pernah menyia-nyiakan amal kebaikan manusia sedikit apapun. Allah berfirman:


فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ (٧) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (٨


Artinya, "(7) Siapa saja mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya; (8) dan siapa saja mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat balasannya pula," (Surat Az-Zalzalah: 7-8).


Juga firman Allah:


إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍۢ ۖ وَإِن تَكُ حَسَنَةً يُضَٰعِفْهَا وَيُؤْتِ مِن لَّدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا


Artinya, "Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan (sekecil dzarrah), niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya," (Surat An-Nisa: 40).


Nah dari penjelasan Imam Al-Ghazali dapat kita ketahui, guru yang dalam aktivitas mengajarnya bermotif mencari keuntungan duniawi, maka tidak serta merta bisa dituduh sebagai guru yang tidak ikhlas. Tidak bisa dianggap sebagai guru yang jual ilmu demi meraup harta dunia.


Sudah semestinya dilihat-lihat. Bila motif mengajarnya seimbang dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan keperluan mencari bayaran, maka tidak masalah. Guru semacam ini cuma mendapatkan bayaran dunia saja, tidak mendapatkan investasi pahala akhirat yang lebih besar.


Bila motif mengajarnya lebih didominasi dengan motif ukhrawi, motif beribadah mencari pahala akhirat dan ridha Allah, maka selain mendapatkan bayarannya ia juga akan mendapatkan pahala akhirat sesuai dengan persentase motif ukhrawinya.


Namun bila motif duniawi, motif mencari uang bayaran yang mendominasi, maka inilah yang harus dihindari sebab aktivitas mengajarnya hanya akan menjadi dosa dan mendatangkan siksa. Na'udzubillah.


Penjelasan lebih lengkap dapat dibaca dalam kitab Ihya 'Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya 'Ulumiddin, [Surabaya, Darul Mukhtar], juz IV, halaman 379).


Penjelasan seperti ini belum mempertimbangkan motif mencari bayaran untuk memenuhi living cost atau kebutuhan hidup dari guru yang menjadi tulang punggung keluarga. Semisal guru yang juga berstatus sebagai kepala keluarga, yang tentu punya kewajiban untuk memenuhi nafkah anak dan istrinya. 


Bila motif mengajarnya selain untuk beribadah lillahi ta'ala, juga untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang jadi tanggungjawabnya, bukankah aktivitas mengajarnya menjadi amal shaleh yang berlipat ganda pahalanya? Pahala mengajar dan pahala memenuhi kebutuhan keluarga. Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online