Tasawuf/Akhlak

Apakah Tunjangan Guru Hapus Keikhlasan Mengajar? Begini Jelasnya

Kam, 1 September 2022 | 21:00 WIB

Apakah Tunjangan Guru Hapus Keikhlasan Mengajar? Begini Jelasnya

Tunjangan guru tidak bisa dijadikan sebagai pilihan dengan keikhlasan. Tunjangan dan keikhlasan guru sekaligus.

Pandangan tentang tunjangan guru dengan keikhlasan kadang masih dipertentangkan. Guru yang mengharap tunjangan dari khidmahnya mencerdaskan generasi bangsa kadang dicap sebagai guru yang tak ikhlas. Ini mirip orang yang memperjuangkan agama karena mengharap imbalan, lalu dianggap sebagai orang yang tak ikhlas dalam perjuangannya.


Nah apakah benar guru yang mengharap tunjangan dari aktivitas mengajarnya berarti bukan guru yang ikhlas, tapi justru guru yang menjual ilmu untuk kepentingan duniawi?


Merujuk masalah amal kebaikan yang bercampur dengan motif-motif duniawi, seperti pamer atau riya’, bayaran atau tunjangan, dan semisal ulama berbeda pendapat.


Pendapat pertama menyatakan, amal kebaikan yang bercampur dengan motif duniawi tetap dapat mendatangkan pahala akhirat. Pendapat kedua menyatakan, amal seperti itu justru mendatangkan siksa neraka. Pendapat ketiga menyatakan, tidak mendatangkan pahala dan juga tidak mendatangkan siksa.


Pendapat keempat memerinci. Asal motif atau pemicu pertama amal kebaikan itu adalah ikhlas karena Allah Ta’ala, maka motif-motif duniawi yang datang setelahnya maka tidak berpengaruh sama sekali.


Dengan kata lain, asal motif utama amal tersebut adalah keikhlasan karena Allah, maka amal tersebut tetap dinilai sebagai amal yang ikhlas dan mendatangkan pahala. Dalam hal ini Imam at-Thabari jelas-jelas menegaskan:


إذا كان أصل الباعث هو الأول لا يضره ما عرض له بعد ذلك


Artinya, “Jika pemicu utama jihad fi sabilillah adalah yang pertama, yaitu untuk meninggikan dakwah agama Islam, maka motif-motif duniawi yang datang setelahnya tidak berpengaruh.”


Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar Al-'Asqalani, pendapat seperti ini juga menjadi pendapat jumhur atau mayoritas ulama, wa bidzalika qalal jumhur. (Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1379], juz VI, halaman 28; dan Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah], juz IV, halaman 384).


Pendapat ini seiring dengan sabda Nabi saw terhadap sahabatnya yang melakukan amal kebaikan dan kemudian membanggakannya, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah ra:


إني أعمل عملا يطلع عليه فيعجبني قال: لك أجران : أجر السر وأجر العلانية. رواه الطبراني في الأوسط ورجاله ثقات


Artinya, “Sungguh aku melakukan suatu amal kebaikan yang dilihat oleh orang lain, lalu hal itu membuatku bangga.” Nabi saw merespon: “Kamu dapat dua pahala. Pahala merahasiakan amal kebaikan, dan pahala menampakkannya.” (HR at-Thabarani dalam Mu’jamul Ausath dan perawinya adalah para perawi yang dapat dipercaya). (Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma‘uz Zawaid wa Manba’ul Fawaid, [Beirut, Darul Fikr: 1412 H], juz X, halaman 517).


Nah, kalau merujuk pendapat Imam at-Thabari dan mayoritas ulama ini, maka yang terpenting bagi guru adalah menata niat bahwa tujuan utama aktivitas mengajarnya adalah lillahi ta’ala. Mengajar dalam rangka mencerdaskan generasi bangsa karena Allah ta’ala. Adapun terkait gaji, tunjangan, dan bonus-bonus lainnya, maka itu adalah the second goal, tujuan kedua, tujuan berikutnya. Wallahu a’lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Founder Aswaja Muda dan Redaktur Keislaman NU Online.