Tasawuf/Akhlak

Tuntunan Bertutur Kata yang Baik bahkan kepada Orang Angkuh Sekalipun

Kam, 27 Mei 2021 | 06:00 WIB

Tuntunan Bertutur Kata yang Baik bahkan kepada Orang Angkuh Sekalipun

Ilustrasi pembicaraan. (Foto: NU Online)

Sikap santun dalam berdialog, lemah lembut dalam berbicara, halus dalam penyampaian pesan, merupakan jalan tengah yang membuat orang lain simpati. Karena hati yang bercerai-berai dan pendapat yang berbeda dapat terangkul dengan harmonis.


Allah subhanahu wa ta’ala– berpesan kepada Nabi Musa dan Harun –’alaihimassalam:


فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى [ طه/ 44]


“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia menjadi sadar atau takut.” (QS. Thaha: 44)


Ibnu Katsir ketika mengomentari ayat ini berkata: “Ada pelajaran sangat berharga yang dapat dipetik dari ayat di atas, yaitu bahwa Fir’aun yang terkenal keangkuhan dan arogansinya, sementara Nabi Musa sebaik-baik manusia pilihan Allah saat itu, namun demikian Allah memerintahkannya untuk tidak berbicara dengan Fir’aun kecuali dengan perkataan yang santun dan lemah lembut.

 


Kata-kata cacian hanya mengundang malapetaka, baik di dunia nyata maupun yang sering dilakukan orang-orang di media sosial. Cacian tidak akan menghadirkan kembali orang yang kabur dan tidak akan membuat simpati orang yang berkepala batu, justru hanya menanamkan rasa dendam di hati dan membuat orang yang berseberangan semakin nekad dan keras kepala. Bahkan, sudah banyak orang yang berurusan dengan polisi akibat memfitnah dan mencaci maki orang lain di media sosial.


Bila menghujani orang yang tidak sependapat dengan dengan makian, kecaman, dan kutukan, maka itu akan semakin memperkeruh persoalan dan memperparah penyakit. Oleh karena itu, bila menyampaikan nasihat, sampaikan lah dengan cara yang tidak membuat orang lain kabur, dan bila berdebat, berdebat lah dengan cara yang santun tanpa merendahkan lawan bicara.


Orang yang rendah moralnya, kotor tutur katanya, suka merendahkan martabat sesama, pengumpat orang lain, pelontar tuduhan terhadap orang tak berdosa, suka menyerang orang-orang yang baik, pengecam dan pengutuk, semua ucapannya hanya umpatan dan cacian, sungguh ia tidak pantas disebut sebagai Muslim yang bijak karena Rasulullah SAW sendiri selalu memberikan teladan terbaik bagi umatnya.


Allah berfirman,


لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ


“Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji, dan bukan pula orang yang kotor omongannya”.

 

 


Manusia yang suka mencela, mengutuk, mengejek dan berkata keji, bukanlah tipe manusia beriman. Rasulullah bukanlah pencela, pengecam, dan pengutuk. Sabda beliau:


إنِّي لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً


“Sesunguhnya aku tidak diutus sebagai tukang melaknat, tetapi aku diutus hanyalah sebagai rahmat.”


Beliau juga bersabda:


سِبَابُ المسْلِمِ فُسُوْقٌ


“Mencaci maki seorang Muslim adalah suatu kefasikan”.


Dalam riwayat lain disebutkan:


اَلْمُسْتَبَّانِ شَيْطَانَانِ يَتَهَاتَرَانِ وَيَتَكَاذَبَانِ


“Dua orang yang saling memaki adalah seperti dua setan yang saling menjatuhkan dan mendustakan lawannya”.

 

 


قَالَ جَابرٌ بن سليْم رَضيَ اللهُ عَنْه : قُلْتُ: اعْهَدْ إِلَيَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ: «لَا تَسُبَّنَّ أَحَدًا» قَالَ: فَمَا سَبَبْتُ بَعْدَهُ

 

حُرًّا، وَلَا عَبْدًا، وَلَا بَعِيرًا، وَلَا شَاةً، رواه أبو داود


Jabir Bin Salim –radhiyallahu ‘anhu– bercerita, “Aku berkata, “Buatlah ikatan perjanjian denganku Ya Rasulallah!” beliau lalu menjawab, “Janganlah sekali-kali engkau memaki orang lain”. Kata Jabir, “Sejak itulah aku tidak pernah memaki seorang pun, baik ia berstatus orang merdeka atau hamba sahaya, termasuk tidak memaki unta dan kambing”. (HR Abu Dawud)


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon