Sirah Nabawiyah

Akhlak Mulia, Sifat Terdepan Nabi Muhammad

Ahad, 30 Mei 2021 | 18:30 WIB

Akhlak Mulia, Sifat Terdepan Nabi Muhammad

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Nabi Muhammad SAW diikuti karena sedari kecil memperlihatkan kejujuran, akhlak mulia, dan lemah lembut. Karena dari awal telah dikenal memiliki sifat jujur dan dapat dipercaya (al-Amin), risalah kenabian dan wahyu Allah SWT disambut baik oleh orang-orang Quraisy. Meskipun tidak sedikit pula yang kufur terhadapnya.


Sejak dua tahun sebelum hijrah (620 Masehi), Nabi Muhammad SAW sering dihubungi oleh beberapa tokoh dari Yatsrib, baik Kabilah Aus maupun Khazraj. Meski Nabi Muhammad SAW memiliki banyak musuh di Makkah, ia tetap terkenal atas reputasinya sebagai al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya, serta pernah menyelesaikan perselisihan terkait peletakan Hajar Aswad saat pemugaran Ka'bah.


Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menjelaskan bahwa kewibawaan Nabi Muhammad begitu jelas terlihat di depan masyarakat Yatsrib yang kerap berkonflik karena penuh dengan akhlak mulia, sangat rendah hati, sarat dengan kasih sayang, selalu memenuhi janji, sifatnya yang pemurah, selalu terbuka dengan fakir miskin, dan selalu hadir bagi orang yang hidup menderita.


Dengan teladan akhlak mulianya itu, Nabi Muhammad melaksanakan kebijakan politik tingkat tinggi dengan mewujudkan “Persatuan Yatsrib”. Nabi Muhammad juga meletakkan dasar kenegaraan dalam Piagam Madinah itu dengan mengadakan persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan musyawarah dan persekutuan yang erat.

 


Banyak dari kisah itu yang ditujukan kepada kaum Yahudi di Madinah. Di permukaan mereka memiliki banyak kesamaan dengan kaum Mukmin. Kedua kaum itu sama-sama menganut monoteisme. Keduanya menghormati nabi yang sama. Dan, pada awal kenabian, keduanya beribadah menghadap Yerusalem.


Akibatnya, beberapa orang Yahudi di Madinah menerima Muhammad sebagai nabinya dan masuk Islam. Kitab suci Yahudi menjelaskan ihwal Messiah dan, bagi mereka, Nabi Muhammad-lah manusia yang dijanjikan. Akan tetapi, banyak pula yang menolaknya. Pesan tentang kesetaraan dan persatuan seluruh umat Muslim tanpa memperhatikan etnisitas berbenturan dengan kepercayaan kaum Yahudi sebagai "umat yang terpilih".


Dalam riwayat Muslim dikisahkan, ketika Rasul melewati wilayah Thaif, penduduk Thaif melempari beliau dengan batu. Melihat kejadian itu, Malaikat datang menghampiri Rasulullah dan turut sedih dengan kejadian yang menimpa Rasulullah. Malaikat menawarkan balasan untuk penduduk Thaif. Saking kesalnya, Malaikat ingin melempar gunung kepada mereka.


Akan tetapi, Rasulullah menolak tawaran Malaikat. Beliau tidak mau membalas keburukan yang ditimpakan kepadanya. Alih-alih balas dendam, Beliau malah mendoakan mereka. Beliau berharap agar anak keturunan dari penduduk Thaif kelak menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya.

 


Akhlak mulia Nabi Muhammad SAW juga ditunjukkan saat melakukan Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqa’dah tahun ke-6 hijriah atau sekitar tahun 628 M. Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yang terdapat di arah barat daya kota Makkah yaitu sekitar 22 kilometer.


Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah beserta rombongan kaum Muslimin yang hendak melaksanakan umrah. Walaupun Rasulullah tahu bahwa orang-orang kafir Quraisy akan menghalanginya, dan akan terjadi kontak senjata.


Dalam perjanjian dengan Kafir Quraisy tersebut, keputusan yang diambil Rasulullah sangat tidak populis dalam pandangan para sahabatnya. Bahkan Umar bin Khattab tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga dianggap melecehkan simbol-simbol akidah Islam. Karena saat itu, akidah Islam harus terus diperkuat di tengah kekejaman orang-orang kafir pada fase dakwah Islam Makkah.


Disebutkan oleh Ahli Tafsir Prof KH Nasaruddin Umar dalam buku Khutbah-khutbah Imam Besar (2018) bahwa ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin oleh seorang diplomat ulung bernama Suhail.

 


Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata bismillahirrohamanirrohim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing. Lalu Suhail mengusulkan kalimat bismika allhumma, kalimat yang populer di tengah masyarakat Arab kala itu.


Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata hadza ma qadha ‘alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Akan tetapi Suhail kembali menolak kalimat tersebut dan mengusulkan kalimat hadza ma qudhiya ‘alaihi Muhammad ibn Abdullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).


Akibat pencoretan basmalah dan kata Rasulullah membuat para sahabat Nabi tersinggung dan menolak perjanjian tersebut. Namun, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon, Rasulullah mengambil sendiri penulisan naskah itu karena para sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah satu prinsip dalam akidah Islam.

 


Begitu juga saat peristiwa Fathu Makkah. Penyelesaian Fathu Makkah berjalan sangat manusiawi meskipun menyalahi tradisi perang Arab yang penuh dengan pertumpahan darah, perampasan, dan lain-lain. Namun kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dalam hal ini sehingga betul-betul tidak ada balas dendam.


Revolusi tanpa setetes darah ini melahirkan keutuhan dan kedamaian monumental serta kemenangan Nabi Muhammad. Era baru di Makkah betul-betul hadir. Era di mana Islam hadir untuk memenuhi kebutuhan lahir dan batin umat Islam. Era penuh dengan kasih sayang dan roda kehidupan yang sesuai nilai-nilai luhur ajaran Islam.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon