Sirah Nabawiyah

Kepribadian Mulia Rasulullah sebelum Menjadi Nabi

Sab, 12 Juni 2021 | 16:00 WIB

Kepribadian Mulia Rasulullah sebelum Menjadi Nabi

Kerusakan masyarakat Arab saat itu tidak menjadikan Rasulullah larut di dalamnya. Justru, kehadirannya menjadi penawar dan penyelamat bangsa Arab dari jeleknya sebuah tradisi.

Perjalanan peradaban selalu berkembang mengikuti zaman dan manusianya, begitulah kata yang pas untuk menggambarkan keadaan kota Makkah sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Pada mulanya, agama Islam dan ajaran tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam masih dipegang kuat oleh masyarakat Arab. Dengan tulus dan hati yang ikhlas, mereka mengikuti ajaran Nabi Ibrahim dengan beribadah hanya kepada Allah . Namun, seiring berjalannya waktu dan lemahnya keimanan, mereka melalaikan ajaran itu. Mereka lebih memilih menyembah barhala dan mengikuti kebiasaan orang lain yang dianggap lebih baik dari kebiasaan bangsa Arab. Dan setelah itulah, bangsa Arab yang masyhur sebagai bangsa dermawan dan mulia tidak lagi dimuliakan. Berbagai perbuatan haram dan tidak manusiawi kerapkali mereka lakukan.

 

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa keadaan masyarakat Arab sebelum diutusnya Nabi Muhammad merupakan bangsa jahiliyah, yang mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk dan hina. Bahkan, kebiasaan itu tidak bisa diterima oleh akal sehat. Hal itu menjadi tantangan yang sangat besar bagi Rasulullah ketika ingin memulai dakwah kepada bangsa Arab saat itu.

 

Kehidupan sosial yang terjadi di kalangan masyarakat Arab merupakan kehidupan berkelas dan bersuku-suku. Di sana terdapat pemandangan yang sangat kontras, antara kaum bangsawan dengan segala kemewahan, kekayaan, dan kehormatannya, dan kaum budak dengan segala kekurangan dan kehinaannya yang tidak terperi. Kehidupan antar suku pun penuh persaingan. Bahkan, sering berakibat pertikaian karena fanatisme kesukuan yang sangat tinggi. Setiap anggota suku pasti membela orang yang satu suku dengannya, tidak peduli tindakannya benar atau tidak. Prinsip mereka:

 

أنصر أخاك ظالما أو مظلوما

 

Artinya, “Bantulah saudaramu, baik dia berbuat zalim atau dizalimi” (Syekh Shafiyurrahman al-Mubarakfury, Rahiqul Makhtum, [Wazaratul Auqaf: Qatar, 2007], h. 63).

 

Kebiasaan tidak manusiawi juga menjadi kebiasaan di kalangan Arab, seperti memperlakukan wanita dengan perlakuan sangat zalim. Laki-laki boleh melakukan poligami tanpa batas, bahkan bisa menikahi dua wanita bersaudara sekaligus, kemudian dapat mencerai mereka semaunya. Sementara itu, perzinaan merupakan hal biasa. Bahkan ada suami yang menyuruh istrinya tidur dengan laki-laki lain, semata-mata hanya ingin mendapatkan keturunan mulia dari laki-laki tersebut. Kelahiran anak perempuan menjadi aib bagi mereka, bahkan sebagian dari mereka mempunyai istilah wa’dul banat (mengubur anak wanita hidup-hidup).

 

Tidak berakhir sampai di situ, menurut Syekh Shafiyurrahman, perjudian dan minuman keras juga merupakan hal yang sangat lumrah dilakukan di tengah masyarakat Arab. Bahkan, menjadi sebuah kebanggaan tersendiri. Kesimpulannya, kondisi sosial yang terjadi di kalangan Arab sangat parah, hingga kehidupan berlangsung tanpa aturan layaknya binatang.

 

Allah Menjaga Kepribadian Nabi

Kebiasaan jelek dan hina kebiasaan bangsa Arab menjadi tantangan yang sangat besar bagi Rasulullah secara khusus, dan keberlangsungan ajaran Islam secara umum. Namun, betapapun jelek dan hina kebiasaan mereka, Rasulullah selalu menyikapinya dengan akal sehat dan tidak larut dalam kebiasaan itu. Sebagai pribadi yang sempurna dan baik, Rasulullah selalu menghindar dari perbuatan yang tidak berperikemanusiaan itu.

 

Dengan akal yang cerdas dan pikiran yang jernih, Rasulullah mampu membaca dan mengamati bangsanya, membaca kondisi dan kehidupan masyarakat yang ada di sekitarnya. Rasulullah merasa risih dan tidak bisa menerima akan adanya kebiasaan-kebiasaan yang jauh dari peri kemanusiaan itu. Rasulullah lebih memilih memperbaiki, dan menyempurnakan akhlaknya. Ia tidak larut dalam pergaulan bersama pekerjaan-pekerjaan mereka yang kurang baik.

 

Kerusakan aqidah dan tradisi yang jauh dari kemanusiaan pada masa itu tidak sampai ke dalam diri Rasulullah. Bahkan sejak kecil, hal yang paling tidak Rasulullah suka adalah menyembah barhala. Rasulullah enggan menghadiri upacara-upacaranya, dan tidak bersedia memakan daging dari hewan yang disembelih atas nama barhala.

 

Kerusakan moral pada masa itu pun tidak lantas membuat jiwa Rasulullah terpengaruh. Kompensasinya, Rasulullah lebih senang menyendiri dengan mengamati kehidupan manusia dan penciptaan alam yang agung. Selama dalam porsi yang wajar sekira tidak sampai merusak moral kemanusiaan, maka Rasulullah sangat senang bergaul bersama masyarakat, dengan menampakkan akhlaknya yang mulia nan terpuji.

 

Semua tindak langkah Rasulullah saat itu, ternyata sudah menjadi kepastian Allah kepadanya. Sejak awal, Allah telah menyiapkan kehidupan Rasulullah agar bisa menanggung misi besar yang akan dibawa olehnya dalam kehidupan umat manusia. Karena itu, di tengah kerusakan kaumnya yang sangat parah, Rasulullah tidak larut di dalamnya, bahkan Rasulullah tak henti-hentinya memperbaiki dirinya dan menampakkan kepribadian yang sangat mulia kepada masyarakat Arab saat itu, sehingga Rasulullah diakui dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat.

 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa ketetapan Allah yang senantiasa memeliharanya. Jika muncul gejolak nafsu yang mendorong pada kesenangan duniawi, atau ketika terbesit keinginan untuk mengikuti tradisi yang tidak baik, maka Allah akan menolongnya dengan memasukkan kesadaran yang akan memberikan batas kesadaran antara Rasulullah dan keinginannya.

 

Syekh Shafiyurrahman dalam kitab Rahiqul Makhtum menceritakan, bahwa suatu saat Rasulullah pernah terbesit keinginan untuk menghadiri tontonan yang digelar oleh masyarakat Arab. Namun, ketika kakinya hendak melangkah, Allah menghalangi keinginan tersebut, dengan menjadikannya tertidur hingga keesokan harinya. Keinginan seperti itu ternyata tidak hanya satu kali terbesit dalam jiwanya. Terbukti, dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:

 

مَا هَمَمْتُ بِشَيْءٍ مِمَّا كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَعْمَلُونَ بِهِ غَيْرَ مَرَّتَيْنِ ، كُلُّ ذَلِكَ يَحُولُ اللهُ بَيْنِي وَبَيْنَ مَا أُرِيدُ مِنْ ذَلِكَ ، ثُمَّ مَا هَمَمْتُ بَعْدَهَا بِشَيْءٍ حَتَّى أَكْرَمَنِي اللهُ بِرِسَالَتِهِ

 

Artinya, “Tidak pernah aku berkeinginan untuk melakukan apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun, semua itu dihalangi oleh Allah. Kemudian aku pun tidak pernah lagi memiliki keinginan untuk kembali melakukannya hingga Allah memuliakan aku dengan risalah-Nya.” (Syekh Shafiyurrahman, ar-Rahiqul Makhtum, 2007, h. 63).

 

Penjagaan Allah secara langsung kepadanya menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan nabi dan rasul pilihan yang Allah utus untuk menyebarkan ajaran Islam para periode akhir. Sikap ramah, lemah lembut, penuh kesopanan, jiwa penyabar dan penuh kasih sayang selalu tampak darinya. Tak peduli dia lawan maupun kawan, keluarga ataupun tidak, semuanya diperlakukan dengan sama.

 

Syekh Abul Fida ad-Dimisqi mengatakan, Rasulullah dibesarkan oleh pamannya Abu Thalib, dan Allah menjaganya dari melakukan perbuatan-perbuatan jahiliyah dan keburukan-keburukannya. Sebab, Allah menghendakinya sebagai sosok mulia hingga Rasulullah dewasa dan memiliki keutamaan di atas semua orang dari segi keilmuan, budi pekerti, etika bergaul, sikap baik kepada tetangga, kesabaran, amanah dan kejujuran. Rasulullah tidak pernah bersenda gurau atau berdebat dengan orang lain. Semua sifat terpuji ada pada dirinya, sehingga masyarakat menyebutnya sebagai Muhammad al-amin (terpercaya). (Syekh Imaduddin Abul Fida ad-Dimisqi, Fiqhus Sirah Nabawiyah, [Bairut: Dar al-Ma’rifah, 1976], juz 1, hlm 249).

 

Saat itu, Nabi Muhammad merupakan satu-satunya penduduk yang sangat menonjol di kalangan kaumnya. Ia memiliki keluhuran akhlak, dan keutamaan budi pekerti serta sifat-sifatnya yang mulia. Rasulullah merupakan orang yang paling utama kepribadiannya, lemah lembut, jujur dalam setiap ucapan, terjaga jiwanya, paling baik amalnya, menepati janji-janjinya, dan sangat amanah ketika memegang kepercayaan. Maka tidak heran, jika bangsa Arab saat itu memberinya gelar al-amin (orang terpercaya), karena dalam dirinya terdapat segala kebaikan dan kesalehan.

 

Kerusakan masyarakat Arab saat itu tidak menjadikan Rasulullah larut di dalamnya. Justru, kehadirannya menjadi penawar dan penyelamat bangsa Arab dari jeleknya sebuah tradisi. Kehadirannya mampu meredam dan menghilangkan semua kebiasaan buruk yang menimpa bangsanya. Tidak hanya itu, dengan sikapnya yang ramah dan sopan, serta penuh kasih sayang kepada semua kalangan, Rasulullah menjadi penentu bangsa Arab kembali menjadi kota suci yang dimuliakan oleh bangsa mana pun.

 

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur.