Syariah

Panduan Menyamak Kulit Bangkai: Hukum, Alat, dan Tata Caranya

Sel, 10 Agustus 2021 | 16:00 WIB

Menyamak kulit bangkai, atau dalam fiqih disebut ad-dabgu, adalah kegiatan membersihkan kulit bangkai binatang selain babi dan anjing dari sesuatu yang dapat membuatnya busuk, seperti darah atau daging yang masih menempel padanya, dengan menggunakan benda-benda yang rasanya sepet atau kelat (hirrif) semisal daun bidara dan semisalnya. Tujuannya agar kulit bangkai tersebut dapat dimanfaatkan seperti menjadi baju, topi, sepatu, tas, dan yang semisalnya. Intinya, kulit bangkai tersebut disamak bukan untuk dimakan. Sebab, inti dari penyamakan ini adalah mengubah status kenajisan kulit bangkai menjadi suci, bukan tentang keharamannya yang dialihstatuskan menjadi halal untuk dikonsumsi. Karena tidak setiap benda suci hukumnya halal dimakan. 


Syekh Ibnu Ruslan karyanya Zubad Ibni Ruslan (bait syair ke 93) mengatakan:


وَجِلْدُ مَيْتَةٍ سِوٰى خِنْزِيْرِ بَرْ  *  وَكَلْبٍ إِنْ يُدْبَغْ بِحِرِّيْفٍ طَهُرْ


Artinya, “Kulit bangkai selain babi darat dan anjing dapat suci dengan disamak menggunakan sesuatu yang rasanya sepet.”


Ibnu Ruslan tegas menyatakan ‘babi darat’, karena fiqh juga mengenal istilah ‘babi laut’ (khinzirul bahri) dan bangkainya dihukumi suci bahkan halal dimakan. Karena itu, ia tidak masuk dalam pembahasan ini.


Dahulu beberapa orang sahabat ditemukan baginda Nabi saw tengah menyeret bangkai kambing untuk dibuang ke tempat yang jauh dari pemukiman guna menghindari bau busuknya. Lalu Nabi saw bersabda:


لَوْ أَخَذْتُمْ إِيْهَابَهَا؟


Artinya, “Bagaimana kalau kalian ambil kulitnya (untuk dimanfaatkan)?”


Para sahabat menjawab bahwa yang mereka seret adalah bangkai yang menurut Al-Qur’an tidak boleh digunakan. Nabi saw pun bersabda:


يُطَهِّرُهَا الْقَرَظُ


Artinya, “Kulit bangkai itu dapat disucikan dengan daun pohon qaradl/salam (banyak dijumpai di sekitar daerah Tihamah).” (HR Abu Dawud dan An-Nasa’i).


Maknanya, secara umum bangkai dengan segenap unsurnya berstatus najis dan tidak dapat dimanfaatkan, kecuali kulitnya. Sebab kulitnya bisa disucikan dengan cara disamak.


Hukum Menyamak
Terkait hukum menyamak, berdasarkan hadist di atas atau beberapa sabda Nabi dengan redaksi yang berbeda, seperti dari sahabat Abdullah bin Abbas yang berbunyi: “Idzâ dubighal îhâbu faqad thahura” (Bila kulit bangkai telah disamak maka ia benar-benar telah suci), ulama menetapkan bahwa hukumnya mubah, alias tidak menjadi problem apakah melakukannya atau tidak. Namun, sebagaimana biasa, hukum ini dapat berubah-ubah seiring waktu, tempat dan kondisinya, apakah sekadar butuh, atau bahkan sampai pada taraf urgen (dharûrah). Dengan demikian hukum menyamak bisa jadi wajib bila menurut ahli medis, suatu masyarakat di satu tempat dalam kondisi tertentu hanya akan sembuh dari wabah penyakit gatal-gatal, misalnya, ketika mereka mengenakan pakaian dari kulit kambing yang telah disamak dengan daun salam.  Dalam kondisi seperti itu wajib bagi mereka menjalani saran ahli medis tersebut. Sebab mereka adalah ulil amri terkait urusan kesehatan. Begitulah kiranya perubahan hukum dari mubah menuju wajib, atau ke hukum yang lain tergantung waktu, tempat dan kondisi yang ada.


Alat Menyamak
Menurut keterangan para ulama, seperti Imam an-Nawawi yang dikutip Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqhul al-Islâmi wa Adillatuhu (juz I, halaman 311) dari kitab Syarh Muslim,  bahwa alat yang digunakan menyamak adalah setiap sesuatu yang dapat mengeringkan kulit bangkai, membuatnya tampak indah dan bagus (tidak menjijikkan, misalnya), serta menjaganya tetap utuh dan tidak hancur setelah mengering, misalnya menggunakan daun salam, kulit delima, dan ramuan-ramuan suci lainnya. Dengan standarisasi ini, an-Nawawi kemudian mengecualikan beberapa benda seperti debu, abu hasil pembakaran, dan garam. Juga, tidak boleh menggunakan pancaran sinar matahari sebagai alat mengeringkan kulit bangkai tersebut, walaupun Abu Hanifah membolehkannya. 


Dalam beberapa kitab fikih diterangkan juga kebolehan menyamak menggunakan benda-benda najis seperti kotoran burung merpati, yang penting tujuan penyamakan itu sendiri tercapai sebagaimana diterangkan dalam standarisasi di atas. (Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarîb dicetak bersama Hâsyiyyatul Bâjuri, [Semarang, Thoha Putra], juz I, halaman 38).


Tata Cara Menyamak
Pertama, kulit bangkai binatang yang hendak disamak harus dipisahkan terlebih dahulu dari bangkainya, khususnya beberapa bagian yang akan dimanfaatkan. 


Kedua, kulit yang telah terpisah dibersihkan dengan baik sampai tak tersisa lagi bercak darah maupun daging yang masih menempelinya. Membersihkannya dengan menggunakan alat-alat yang direkomendasikan syariat seperti daun bidara, kulit delima, ataupun kotoran burung merpati, sebagaimana penjelasan di atas.


Ketiga, kulit bangkai dibersihkan kembali dengan air yang suci menyucikan. Alasannya, karena ia belum benar-benar suci, alias masih mutanajis (terkontaminasi najis). Logikanya, bila kulit bangkai disamak menggunakan benda najis, maka tentu kulitnya berstatus mutanajis, sehingga harus dibasuh kembali dengan air di sesi terakhir nanti. Demikian halnya ketika disamak dengan benda suci, kulitnya tetap berstatus mutanajis. Sebab benda suci tersebut saat proses penyamakan, telah terkena oleh najis darah atau sisa daging bangkai yang masih melekat pada kulit yang disamak. Dengan begitu, status alatnya menjadi mutanajis, dan di saat yang bersamaan—walaupun diasumsikan kulitnya sudah suci dengan disamak—kulit itu kembali berubah status menjadi mutanajis gara-gara bersentuhan dengan alat yang mutanajis itu. 


Keempat, setelah semuanya selesai kulit bangkai yang disamak benar-benar dihukumi suci dan bisa diolah, dikenakan, atau diperjualbelikan. 

 

Semoga tulisan singkat ini bermanfaat. Wallâhu a’lam bisshawâb.

 

 

Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Alumnus dan Pengajar di Ma’had Aly Situbondo.