Warta

NU Jatim: Haram, "Money Politics" dalam Pilkada

Sab, 11 Juni 2005 | 09:35 WIB

Surabaya, NU Online
Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengharamkan praktek "money politics" (politik uang) dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), kecuali untuk biaya kampanye.

"Itu mengacu pada konsep riswah yang intinya suap atau mengubah hak menjadi batil atau sebaliknya dengan pemberian sesuatu," kata Sekretaris Lajnah Bahsul Masail PW NU Jatim KH Abdurrahman Navis, Lc di Surabaya, Sabtu.

<>

Pengasuh Pesantren Nurul Huda, Jl Sencaki, Surabaya itu mengemukakan hal itu terkait salah satu keputusan Bahsul Masail (pembahasan masalah dari perspektif hukum Islam) di Pesantren Sidogiri, Pasuruan pada 9 Juni 2005.

Ketika ditanya "biaya kampanye" yang dimaksud, ia menjelaskan biaya kampanye adalah biaya untuk acara yang bersifat dukungan, apakah dalam bentuk kampanye yang sebenarnya maupun dalam bentuk pengajian untuk kampanye.

"Kalau misalnya seorang calon dalam sebuah acara pengajian untuk meminta dukungan, kemudian dia memberikan uang kepada tokoh masyarakat atau ulama yang membuat acara itu, maka hal itu diperbolehkan sebagai bentuk bantuan untuk pembiayaan acara," katanya.

Namun, katanya, kampanye atau pengajian untuk kampanye itu tetap dalam mekanisme pencalonan.

"Artinya, kalau calon itu belum ditetapkan panitia (KPU), maka uang pembiayaan yang diberikan itu masih haram, karena hal itu berarti memaksa panitia (KPU) untuk manipulasi. Kalau sudah lolos di KPU, maka berarati calon itu sudah memenuhi syarat," katanya.

Tentang uang yang diberikan kepada konstituen dalam kampanye dan peserta pengajian untuk kampanye, ia mengatakan uang yang diberikan masuk kategori "money politics" yang diharamkan jika orang yang diberi bukan pendukung.

"Artinya, uang itu haram jika penerima uang bukan orang yang sejak awal menjadi pendukung, tapi kalau penerima uang itu memang pendukung sang calon maka hukumnya boleh yang sering disebut dengan shodaqoh politik," katanya.

Oleh karena itu, katanya, uang dari calon kepala daerah yang diberikan kepada panitia seperti KPU atau KPPS juga masuk kategori haram, karena uang itu diberikan untuk maksud mengubah perolehan suara atau orang yang tak memenuhi syarat pencalonan menjadi lolos, meski maksudnya tak disampaikan secara eksplisit.

Dalam konteks yang sama, katanya, pemberian kepada NU secara institusi merupakan hal yang diharamkan, karena NU sudah jelas memutuskan untuk tidak terlibat dalam dukung-mendukung.

"Jadi, fiqih (hukum Islam) itu menjatuhkan status hukum atas dasar tujuan dari pemberian, apakah tujuan pemberian untuk mengubah yang hak menjadi batil atau sebaliknya, tapi kalau untuk hal yang memang menjadi hak tidak menjadi masalah," katanya.

Bahsul Masail PWNU Jatim itu juga membahas sengketa Ambalat, mark up APBD, boleh-tidaknya menggusur PKL untuk alasan ketertiban umum dan hukum membakar mayat dalam kaitan korban tsunami, gender dalam Islam, pesangon terkait jabatan, penjualan aset-aset negara (privatisasi) BUMN, dan pemutihan utang kepada negara.

"Untuk mark up APBD juga tergantung status rekanan, apa rekanan sudah ’membeli’ hak kelola dari pemerintah atau rekanan itu ’mewakili’ pemerintah. Kalau dia beli, lalu dijual dengan harga lebih besar ya tidak apa-apa, tapi kalau dia menjualkan barang pemerintah tapi dengan harga diperbesar tentu haram," katanya.(ant/mkf)