Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Kawin Kontrak di Zaman Rasulullah

Kam, 25 April 2024 | 06:15 WIB

Kajian Hadits: Kawin Kontrak di Zaman Rasulullah

Kajian Hadits: Kawin Kontrak di Zaman Rasulullah. (NU Online).

Isu mengenai fenomena nikah kontrak kembali mencuat ke permukaan dan disoroti oleh beragam media. Kawin kontrak sendiri adalah pernikahan dengan jangka waktu tertentu seperti sebulan, setahun, atau semacamnya, sesuai kesepakatan. Biasanya praktik nikah seperti ini merujuk kepada istilah nikah mut’ah dalam hukum Islam. (Sri Hariati, Kawin Kontrak Menurut Agama Islam, Hukum dan Realita Masyarakat, [Jurnal Hukum Jatiswara, Fakultas Hukum Universitas Mataram], halaman 98).
 

Secara normatif, para ulama sunni secara resmi menetapkan nikah mut’ah sudah dihapus kebolehannya hingga hari kiamat nanti. Artinya praktik kawin kontrak haram dilakukan. Mengutip Hasyiyah I’anatuth Thalibin , penulisnya berkata:
 

واعلم: أن نكاح المتعة كان مباحا ثم نسخ يوم خيبر ثم أبيح يوم الفتح ثم نسخ في أيام الفتح واستمر تحريمه إلى يوم القيامة وكان فيه خلاف في الصدر الاول ثم ارتفع وأجمعوا على تحريمه
 

Artinya, "Ketahuilah bahwa nikah mut'ah pada awalnya dibolehkan, kemudian dihapus pada hari perang Khaibar, lalu dibolehkan kembali pada hari Fath (penaklukan Makkah), kemudian dihapus kembali pada hari-hari Fath (penaklukan Mekah), dan tetap diharamkan hingga hari Kiamat. Pada awalnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat, kemudian setelah itu disepakati bahwa prakrik mut'ah diharamkan.” (Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid IV, hal. 144).
 

Merujuk keputusan Munas Nahdlatul Ulama pada 16-20 Rajab 1418 H/17-20 November 1997 M di Ponpes Qomarul Huda Bagu, Pringgata Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, nikah mut’ah menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat adalah haram dan tidak sah.
 

Lantas, bagaimana pada mulanya kawin kontrak ini muncul dalam sumber-sumber ortodoks dalam Islam, yaitu hadits? Karena bagaimana pun bentuk pernikahan ini tidak dapat disanggah pernah dilegalkan oleh Rasulullah saw sendiri.
 

Bermula dari nikah mut’ah pernah dilegalkan, yaitu tatkala kaum muslimin laki-laki pergi berperang tanpa membawa istri mereka. Layaknya manusia biasa, para sahabat yang notabene sebagai orang dewasa memiliki kebutuhan biologis. Akhirnya merekapun memilih untuk mengebiri diri mereka sendiri. Namun Nabi saw menginformasikan kebolehan kawin kontrak dengan penduduk setempat. Abdullah bin Mas’ud bertutur:
 

كنا نغزو مع النبي وليس معنا نساء، فقلنا: الا نختصى؟ فنهانا عن ذلك، فرخص لنا بعد ذلك أن نتزوج المرأة بالثوب ثم قرأ – يا أيها الذين أمنوا لاتحرموا طيبات ما أحل الله لكم
 

Artinya, “Kami pergi berperang bersama-sama Nabi saw dan tidak membawa isteri kami. Karena itu kami bertanya, ‘Apakah tidak lebih baik kami mengebirikan diri kami?" Rasulullah melarangnya. Kemudian Rasulullah membolehkan kami menikahi perempuan dengan sekerat kain (untuk batas tertentu). Sesudah itu beliau membaca, ‘ Ya ayyuhal ladzina amanu la tuharrimu thayyibati ma ahallallahu lakum ’, ‘Wahai orang-orang beriman jangan kamu mengharamkan yang baik-baik, yang telah dihalalkan Allah untuk kamu’.” (HR Al-Bukhari).
 

Dalam riwayat lain yang serupa, redaksinya adalah “Rasulullah melarang kami dari mengebiri diri kami, kemudian beliau memberi kami rukhshah (kelonggaran) untuk menikahi perempuan dengan tenggat waktu tertentu dengan memberikan sesuatu kepada perempuan tersebut.”
 

Riwayat di atas juga disampaikan oleh Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm dan Ikhtilaful Hadits. Beliau berkomentar:
 

“Ibnu Mas'ud menyebutkan kelonggaran (rukhshah) dalam nikah mut'ah, tanpa menetapkan waktu yang menunjukkan apakah itu terjadi sebelum perang Khaibar atau setelahnya. Jadi hadits ini serupa dengan hadits ‘Ali bin Abi Thalib tentang larangan Nabi terhadap mut'ah, yang telah dihapuskan oleh hukum yang lebih baru (mansukh). Krena itu, bagaimana pun nikah mut'ah tidak boleh dilakukan saat ini!” (Asy-Syafi’i, Ikhtilaful Hadits, [Beirut, Muassasatul Kutub At-Tsaqafiyyah: 1985], jilid I, halaman 534).
 

Riwayat ‘Ali bin Abi Thalib yang dimaksud oleh Imam As-Syafi’i di atas adalah peringatan yang ia berikan kepada Ibnu ‘Abbas tatkala ‘Ali menyadari bahwa Ibnu ‘Abbas berpotensi tidak ketat soal hukum ini. Riwayat ini terdapat dalam Shahih Muslim:
 

عَنْ عَلِيٍّ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يُلَيِّنُ فِي مُتْعَةِ النِّسَاءِ، فَقَالَ : مَهْلًا يَا ابْنَ عَبَّاسٍ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْهَا يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْإِنْسِيَّةِ
 

Artinya, “Diriwayatkan dari ‘Ali bahwa beliau mendengar Ibnu Abbas melunak dalam hal nikah mut’ah, maka beliau berkata, “Jangan terburu-buru wahai Ibnu Abbas; karena Rasulullah saw telah melarang nikah mut’ah pada saat perang Khaibar dan juga melarang daging keledai rumahan.” (HR. Muslim).
 

Hadits lain yang menyatakan secara jelas mengenai dihapusnya kebolehan kawin kontrak adalah riwayat Jabir bin ‘Abdillah dan Salamah al-‘Akwa’:
 

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَسَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَا كُنَّا فِي جَيْشٍ فَأَتَانَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّهُ قَدْ أُذِنَ لَكُمْ أَنْ تَسْتَمْتِعُوا فَاسْتَمْتِعُوا وَقَالَ ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنِي إِيَاسُ بْنُ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ تَوَافَقَا فَعِشْرَةُ مَا بَيْنَهُمَا ثَلَاثُ لَيَالٍ فَإِنْ أَحَبَّا أَنْ يَتَزَايَدَا أَوْ يَتَتَارَكَا تَتَارَكَا فَمَا أَدْرِي أَشَيْءٌ كَانَ لَنَا خَاصَّةً أَمْ لِلنَّاسِ عَامَّةً قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ وَبَيَّنَهُ عَلِيٌّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ مَنْسُوخٌ
 

Artinya, “Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Salamah bin Al-Akwa’, keduanya berkata: Ketika kami berada dalam suatu pasukan perang, Rasulullah saw mendatangi kami dan bersabda: "Sesungguhnya telah dizinkan bagi kalian untuk melakukan nikah mut'ah, karena itu lakukanlah."
 

Ibnu Abu Dzi`b berkata: "Telah menceritakan kepadaku Iyas bin Salamah bin Al Akwa' dari bapaknya dari Rasulullah saw: "Bilamana seorang laki-laki dan perempuan telah bersepakat, maka batas maksimal antara mereka berdua adalah tiga malam. Jika keduanya suka, maka keduanya boleh menambah, atau pun berpisah." Aku tidak tahu, apakah perkara itu adalah khusus bagi kami, ataukah juga orang lain secara umum. Abu ‘Abdullah berkata, ‘‘Ali menjelaskan dari Nabi saw, bahwa perkara tersebut telah mansukh (dihapus)’.” (HR Al-Bukhari).
 

Perlu diingat bahwa hadits di atas tidak diperkenankan diambil pesannya sepotong-potong saja, dengan dalil memperbolehkan nikah mut’ah. Pada keterangan ‘Ali di akhir, jelas bahwa praktik kawin kontrak dihapuskan. 
 

Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari mengomentari bahwa pernyataan ‘Ali dalam teks hadits di atas merupakan pernyataan jelas bahwa praktik nikah mut’ah telah dihapuskan. Dalam karyanya tersebut Ibnu Hajar memaparkan pendapat ulama yang menyebut konsensus kaum muslimin (ijma’) mengenai keharaman kawin kontrak, di antaranya adalah seperti Ibnul Mundzir dan Qadhi ‘Iyadh. (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, [Beirut, Darul Fikr: t.t], jilid IX, halaman 173).
 

Dengan demikian, teks-teks hadits menyebut bahwa praktik kawin kontrak dahulu pernah dilegalkan, kemudian diharamkan, lalu dihalalkan, dan kemudian diharamkan hingga selamanya. Saat ini tidak ada landasan dalam Islam yang membolehkan untuk mempraktikkannya kembali. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Ciputat Jakarta