Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Rasulullah Melarang Penelantaran Anak

Sel, 7 Mei 2024 | 20:00 WIB

Kajian Hadits: Rasulullah Melarang Penelantaran Anak

Ilustrasi anak. (Foto: NU Online/Freepik)

Ramai di media sosial seorang anak yang digertak ibunya sebab meminta makan. Tampak anak tersebut merasa lapar hingga dirinya merengek pada ibunya agar perutnya diisi. Berbagai respons netizen tampak menghakimi sang ibu. 

 

Dalam kondisi seperti ini, tentunya pihak keluarga harus segera menangani peristiwa yang menimpa si anak. Di sisi lain, pemerintah perlu memberi perhatian serta pengawasan terhadap kondisi si anak dan keluarganya, dan mengantisipasi agar kejadian serupa tidak terulang pada keluarga lainnya.

 

Membahas kasus anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya, agama Islam sendiri melalui lisan Rasulullah saw pernah mengingatkan umatnya supaya tidak ada orang tua yang menelantarkan anaknya. Beliau pernah bersabda:

 

كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِّعَ مَنْ يَقُوتُ

 

Artinya, “Cukuplah dosa bagi seseorang dengan ia menyia-nyiakan orang yang ia tanggung.” (HR Abu Dawud dan al-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra).   

 

Dalam riwayat lain yang serupa, Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits:

 

 كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ

 

Artinya, “Cukuplah disebut berdosa orang-orang yang menahan [memberi] makan [pada] orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim).

 

Hadits di atas merupakan penegas bahwa seorang suami dilarang untuk menelantarkan anak, istri hingga orang tua yang mana mereka adalah bagian dari individu yang menjadi tanggungan suami sebagaimana keterangan dari Ibnu Ruslan dalam Syarah Sunan Abi Dawud (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir: Darul Falah, 2016], jilid VIII, hal. 108).

 

Lebih spesifik lagi, Al-Munawi mengerucutkan hadits ini menyinggung para kepala keluarga yang dinilai mampu memberikan nafkah kepada istri, anak hingga orang tuanya, namun dirinya malah menelantarkan mereka. (Al-Munawi, Faydhul Qadir, [Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, 1356], jilid IV, hal. 552).

 

Di sinilah pentingnya bagi setiap pasangan untuk mempersiapkan segala hal, termasuk finansial dan kematangan emosi serta kesiapan mental dalam pernikahan, sehingga baik suami maupun istri ketika memiliki anak telah siap untuk bersama-sama tumbuh dalam kecukupan dan keharmonisan.

 

Ketidaksiapan dalam perihal finansial dan kestabilan emosional bukanlah hal yang sepele dalam pernikahan. Kondisi ini dapat menyebabkan konflik dalam hubungan. Akhirnya lagi-lagi yang menjadi korban adalah anak.

 

Akibatnya, ketidakstabilan dalam pernikahan dapat berdampak negatif pada anak-anak. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk bekerja sama dalam mengatasi tantangan finansial dan emosional serta menjaga keseimbangan dalam hubungan demi kebaikan dan masa depan keluarga.

 

Perlu diketahui juga, bahwa di Indonesia, penelantaran orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya dalam ruang lingkup keluarga (istri dan anak) merupakan salah satu tindakan kekerasan rumah tangga dan dapat dipidana, sebagaimana termaktub dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

 

Oleh sebab itu, penting sekali memahami bahwa rumah tangga memiliki banyak tanggung jawab yang harus diemban. Kesadaran akan tanggung jawab ini menjadi pondasi utama bagi setiap pasangan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Wallahu a’lam

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences