Bersetubuh Saat Puasa Ramadhan Tanpa Tahu Hukumnya: Apakah Wajib Kafarat? Begini Penjelasan Lengkapnya!
Sabtu, 29 Maret 2025 | 22:30 WIB
Assalamu'alaikum wr wb. Saya mau tanya. Saya sudah menikah sekitar 8 tahunan dan saat itu saya tidak tahu jika jima' atau bersetubuh siang hari saat Ramadhan termasuk dosa besar dan harus membayar kafarat. Saya juga sudah lupa berapa kali melakukan persetubuhan karena saya tidak tahu tentang hukum itu.
Pertanyaan saya, apa saya dan suami wajib membayar kafarat. Apakah yang harus membayar suami dan saya sebagai istri? Jika membayar dengan memberi makan 60 fakir miskin itu hitungan bagaimana? Apa bisa memakai nasi bungkus? Mohon penjelasannya. Terimakasih
Jawaban
Wa'alaikum salam wr wb. Penanya dan seluruh pembaca yang semoga selalu dalam lindungan Allah Ta'ala.
Bersetubuh atau jima' ketika berpuasa Ramadhan termasuk dosa dan mewajibkan kafarat (tebusan). Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw dalam hadits Sayyidina Abu Hurairah ra:
Baca Juga
Bersetubuh di Siang Bulan Ramadhan
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: هَلكْتُ يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: وَمَا أَهْلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلى امْرَأَتِى فِى رَمَضَانَ. قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ: لا. قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطْعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لا. قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ. فَأُتِىَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ. فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا. قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا؟ فَمَا بَيْنَ لابَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِليْهِ مِنَّا. فَضَحِكَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ. ثُمَّ قَالَ: اذْهَبْ فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ
ِArtinya, "Dari Abu Hurairah ra, beliau berkata: 'Seorang lelaki datang kepada Nabi saw, kemudian berkata: 'Saya telah binasa wahai Rasulullah.' Rasul bertanya, 'Apa yang menimpamu?' Lelaki tadi menjawab, 'Saya telah menyetubuhi istri saya di hari Ramadhan.'
Rasul bertanya, 'Apa engkau punya harta untuk memerdekakan budak?' Ia menjawab, 'Tidak.' Rasul bertanya kembali, 'Apa engkau mampu puasa dua bulan berturut-turut?' Ia menjawab, 'Tidak.' Rasul bertanya lagi, 'Apa engkau punya harta untuk memberi makan 60 orang miskin?' Ia menjawab, 'Tidak.'
Abu Hurairah berkata, 'Kemudian lelaki tersebut duduk. Tak berapa lama, 'araq (keranjang yang muat untuk 15 sha') berisi kurma diberikan kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda, 'Sedekahlah dengan ini.'
Lelaki tadi menjawab, 'Kepada yang lebih fakir daripada saya? Tidak ada keluarga di antara dua tanah berbatu hitam Madinah yang lebih butuh pada kurma tersebut daripada saya.' Kemudian Nabi saw tersenyum hingga tampak gigi gerahamnya. Lalu beliau bersabda, 'Pergilah lalu beri makan keluargamu dengan kurma ini'." (HR Muslim).
Hadits di atas menunjukkan bahwa kafarat orang yang bersetubuh ketika puasa Ramadhan adalah memerdekakan budak. Bila tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut. Bila tidak mampu juga maka memberi makan 60 orang miskin, tiap satu orang satu mud (675 gram) makanan pokok setempat. Bila belum mampu maka tetap menjadi tanggungan orang tadi hingga di kemudian hari mampu melakukan salah satu tiga hal tersebut.
Persetubuhan ini mewajibkan kafarat bila memenuhi delapan syarat sebagaimana disebutkan Hasan bin Ahmad Al-Kaf dan Syekh Nawawi Al-Bantani:
- Persetubuhan itu membatalkan puasa. Berbeda bila persetubuhan tadi dilakukan oleh orang yang lupa kalau ia sedang berpuasa. Dalam hal ini puasanya tidak batal.
- Dilakukan saat berpuasa di bulan Ramadhan. Berbeda bila dilakukan saat puasa selain Ramadhan seperti puasa qadha, nazar, atau puasa sunah.
- Pelaku tetap memenuhi syarat kewajiban puasa sepanjang hari. Hal ini mengecualikan bila ia gila atau meninggal sebelum Maghrib hari itu maka tidak wajib kafarat.
- Batalnya puasa sebab bersetubuh. Hal ini mengecualikan bila ia semisal makan dulu sebelum berpuasa. Ia berdosa karena seharusnya orang yang telah batal puasa tanpa uzur itu tetap menahan diri dari hal-hal yang dilarang ketika berpuasa untuk menghormati bulan Ramadhan. Walau begitu ia tidak wajib membayar kafarat.
- Persetubuhan sempurna, yakni memasukkan keseluruhan kepala zakar ke lubang kemaluan baik jalan depan maupun belakang, baik istri sendiri atau orang lain (zina), baik manusia atau hewan.
- Berbuah dosa. Hal ini mengecualikan bila pelaku anak kecil (belum baligh) atau seorang musafir dengan niat memgambil keringanan boleh membatalkan puasa.
- Dosa tersebut karena membatalkan puasa. Hal ini mengecualikan musafir tanpa niat mengambil keringanan tidak berpuasa atau persetubuhan yang dilakukan merupakan perzinaan karena dosa yang diterima disebabkan tidak niat melakukan keringanan puasa atau disebabkan zina.
- Tidak mengandung syubhat (kekaburan status). Maka tidak wajib kafarat bagi orang yang bersetubuh sedangkan ia ragu sudah masuk Maghrib atau belum. (Catatan kaki Taqrirat As-Sadidah, [Surabaya, Darul Ulum Al-Islamiyah: 2004], juz I, halaman 450; dan Nihayatuz Zain, [Surabaya, Al-Hidayah], halaman 190).
Bagaimana bila pelaku tidak mengetahui bahwa bersetubuh dilarang ketika puasa Ramadhan?
Dalam ilmu fiqih, ketidaktahuan itu dibagi dua yaitu jahl ma'dzur (ketidaktahuan yang diampuni) dan jahl ghairu ma'dzur (ketidaktahuan yang tak diampuni).
Ketidaktahuan yang diampuni dalam persoalan ini terjadi ketika pelaku baru masuk Islam atau tinggal di daerah terpencil yang jauh dari orang yang mengetahui hukum puasa, sehingga sulit mengakses hukum seputar puasa.
Ketidaktahuan sebab ini diampuni sehingga bila orang bersetubuh saat puasa Ramadhan, puasanya tidak batal dan tentunya tidak membayar kafarat.
Sedang bila bukan sebab dua hal tersebut, maka tidak diampuni. Ketidaktahuannya dianggap kesalahan tidak belajar sebelum melakukan suatu ibadah, sementara akses untuk mengetahuinya terbuka lebar.
Puasa yang ia lakukan tetap batal sebab berhubungan badan dan wajib membayar kafarat. Syekh Ibrahim Al-Bajuri Menjelaskan:
ولا بد أيضاً أن يكون عالماً بالتحريم مختاراً ، فلا كفارة على من وطئ ناسياً للصوم أو جاهلاً بالتحريم معذوراً ؛ لقرب عهده بالإسلام ، أو كونه نشأ بمكان بعيد عن العلماء ، بخلاف غير المعذور ؛ فعليه الكفارة ؛ لأنه كالعالم
Artinya, "Dan harus juga mengetahui haramnya (berhubungan badan), serta melakukannya dengan kehendak sendiri. Maka tidak ada kafarat bagi orang yang bersetubuh karena lupa sedang berpuasa atau karena tidak tahu hukum haramnya, jika ketidaktahuannya dimaklumi atau diampuni, seperti baru masuk Islam atau tinggal di tempat yang jauh dari ulama. Berbeda halnya dengan orang yang tidak dimaklumi; maka baginya wajib kafarat, karena dia dianggap seperti orang yang tahu." (Hasyiyah Al-Bajuri, [Jeddah, Darul Minhaj: 2016], juz II, halaman 437).
Kafarat menjadi kewajiban bagi orang yang menyetubuhi, yakni pihak lelaki, bukan pihak perempuan. Bila dalam satu hari melakukan persetubuhan berkali-kali, kewajiban kafaratnya tetap satu, karena yang membatalkan puasa adalah persetubuhan pertama. Walau demikian ia berdosa karena mengulangi bersetubuh. Harusnya setelah puasa batal, ia menahan diri sampai Maghrib untuk menghormati bulan Ramadhan.
Berbeda bila persetubuhan tersebut diulangi lagi lain hari, maka wajib kafarat lagi karena puasa tiap hari itu ibadah yang sendiri-sendiri. Andai dalam satu minggu tiap hari bersetubuh, maka kafaratnya menjadi tujuh.
Dalam mazhab Syafi'i, kafarat memberi makan 60 orang miskin harus berupa bahan makanan pokok setempat. Umumnya masyarakat Indonesia saat ini adalah beras. Tidak boleh pemberian makanan tersebut dalam bentuk makanan siap saji.
Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan:
قوله (فإطعام ستين) إلخ أي (تمليك ستين) إلخ وليس المراد أن يجعل ذلك طعاماً ويطعمهم إياه فلو غذاهم أو عشاهم لم يكف
Artinya, "Perkataan Ibnu Qasim Al-Ghazi: 'Memberi makan 60', maksudnya memberi hak milik kepada 60 orang. Bukan menjadikan satu mud sebagai makanan siap saji, lalu diberikan kepada mereka. Jika ia memberikan makan pagi atau makan sore kepada mereka maka tidak mencukupi. (Al-Bajuri, 440).
Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Inayah, Wareng, Tempuran, dan Sekretaris LBM PCNU Kabupaten Magelang