Takbir Saat Kebakaran: Anjuran Nabi atau Mitos? Ini Penjelasan Haditsnya
Kamis, 1 Mei 2025 | 16:00 WIB
Beredar di media sosial X, seorang ASN mengumandangkan azan saat terjadi kebakaran di sebuah rumah warga. Dalam unggahan tersebut, kebakaran terjadi di Meureudu, Pidie Jaya, Aceh, pada 25 April 2025.
Video pendek itu memicu pro dan kontra di kolom komentar. Sebagian warganet mempertanyakan keabsahan praktik tersebut, sebagian lain mengkritik tindakan mengumandangkan azan karena dianggap tidak membantu memadamkan api, sementara sebagian lagi mengklarifikasi bahwa praktik tersebut memiliki dasar dalam ajaran Islam.
Kami berpendapat bahwa warganet yang mengklarifikasi praktik mengumandangkan azan saat kebakaran kemungkinan merujuk pada kitab Al-Adzkar karya Imam Nawawi. Referensi ini bisa diperoleh melalui pembacaan mandiri, kajian langsung dengan ustadz, atau setidaknya dari ceramah seseorang mengenai hadits dalam kitab tersebut yang diakses melalui media sosial. Berikut kutipannya:
باب ما يقول إذا رأى الحريق. روينا في كتاب ابن السني عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده رضي الله عنه قال: قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم): "إذا رأيتم الحريق فكبروا، فإن التكبير يطفئه". ويستحب أن يدعو مع ذلك بدعاء الكرب وغيره مما قدمناه في "كتاب الأذكار للأمور العارضات وعند العاهات والآفات".
Artinya, “’Bab tentang Apa yang Diucapkan ketika Melihat Kebakaran.’ Kami meriwayatkan dalam kitab Ibnu As-Sunni dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Jika kalian melihat kebakaran, maka bertakbirlah, karena takbir dapat memadamkannya.’
Disunnahkan pula untuk berdoa bersamaan dengan itu menggunakan doa saat kesusahan dan doa-doa lain yang telah kami sebutkan sebelumnya dalam Kitab Adz-Dzikr untuk Perkara-Perkara yang Tiba-Tiba Terjadi serta saat Musibah dan Bencana.” (Al-Adzkar, [Beirut, Darul Fikr: 1994], jilid II, halaman 130).
Selain Ibnus Sunni, At-Thabarani juga dalam karyanya yang berjudul Ad-Du’a melampirkan hadits ini, dari perawi yang sama, yaitu:
عن عمرو بن شعيب، عن أبيه عن جده رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا رأيتم الحريق فكبروا فإن التكبير يطفئه
Artinya, “Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya RA, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Jika kalian melihat kebakaran, maka bertakbirlah, karena takbir dapat memadamkannya’.” (Ad-Du’a, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1413 H], jilid I, halamn 307).
Setelah membaca hadits di atas, muncul pertanyaan: apakah sikap yang seharusnya dilakukan seorang Muslim yang beriman kepada hadits Rasulullah saw saat menghadapi kebakaran adalah hanya dengan mengumandangkan azan atau cukup bertakbir?
Bukankah tindakan tersebut seharusnya juga diiringi dengan usaha nyata, seperti mengambil air dengan ember, menghubungi pemadam kebakaran, menyelamatkan orang-orang yang terjebak di dalam bangunan, memutus aliran listrik, atau menyelamatkan barang berharga selama masih memungkinkan?
Jawabannya, tentu saja, sikap terbaik saat menghadapi kebakaran adalah bertindak segera. Lebih ideal lagi, bagi seorang Muslim, upaya penyelamatan ini diiringi dengan anjuran dalam hadits tersebut, yaitu melafalkan doa, bertakbir, atau mengumandangkan azan.
Hadits tersebut bukan mengajarkan sikap fatalis, alias berdoa dan memohon Allah menurunkan hujan supaya kebakaran reda. Namun perpaduan antara upaya lahiriah dan batiniah itu memang penting.
Jika kita merujuk kepada beberapa literatur syarah atau penjelasan terhadap hadits di atas, misalnya Al-Munawi mengatakan seperti ini:
حيث صدر عن كمال إخلاص وقوة إيقان وتخصيص التكبير للإيذان بأن من هو أكبر من كل شيء حري بأن يقهر النار ويطفئها
Artinya, “Sebagaimana (padamnya api karena takbir) muncul dari kesempurnaan rasa ikhlas, kekuatan keyakinan, dan takbir itu sendiri yang fungsinya untuk menunjukkan bahwa Dzat yang lebih besar dari segala sesuatu layak untuk mengalahkan api dan memadamkannya.” (Faidhul Qadir, [Darul Kutub Al-'Ilmiyah: 1994], jilid VI, halaman 419).
Artinya, takbir merupakan simbol yang menegaskan bahwa meskipun kobaran api membesar, Allah tetap lebih besar dari segalanya. Dalam hadits tersebut, takbir berfungsi seperti “alarm” bagi orang-orang di sekitar untuk segera menghindar dari musibah, sehingga terhindar dari luka akibat kebakaran.
Selain itu, beberapa ulama menafsirkan hadis tersebut secara metaforis, bahwa api merupakan perwujudan setan. Karena itu, untuk menangkalnya, diperlukan ungkapan-ungkapan yang mengagungkan Allah, seperti takbir. Al-Munawi menuliskan:
سره: أنه لما كان الحريق بالنار وهي مادة الشيطان التي خلق منها، وكأن فيه من الفساد العام ما يناسب الشيطان بمادته وفعله، كان للشيطان إعانة عليه وتنفيذ له. وكانت النار تطلب بطبعها العلو والفساد، والعلو في الأرض والفساد هما هدى الشيطان وإليهما يدعو، وبهما يملك ابن آدم. فالنار والشيطان كل منهما يريد العلو والفساد، وكبرياء الرب يقمع الشيطان وفعله، فمن ثم كان التكبير له التأثير في إطفاء الحريق، فإنه كبرياء الله لا يقوم له شيء. فإذا كبر أثّر تكبيره في خمودها. قال بعض القدماء وقد جربناه فصح (عدّ عن ابن عباس
Artinya, “Rahasianya adalah: Kebakaran disebabkan oleh api, dan menurut ajaran Islam, api adalah materi asal penciptaan setan. Kebakaran membawa kerusakan yang seolah-olah mencerminkan sifat setan, baik dari segi bahan (api) maupun dampaknya. Setan dianggap memperkuat dan memengaruhi kebakaran. Secara alami, api cenderung naik ke atas dan merusak, mirip dengan sifat setan yang menggoda manusia menuju kerusakan. Baik api maupun setan, keduanya bertujuan menyebabkan kerusakan.
Namun, kebesaran Allah mengatasi setan dan perbuatannya. Oleh karena itu, takbir, ucapan ‘Allahu Akbar’, dipercaya memiliki kekuatan untuk memadamkan api, karena kebesaran Allah tidak dapat dilawan. Ketika seseorang bertakbir, ucapan tersebut dapat membantu memadamkan kebakaran. Orang-orang di jaman dahulu mengatakan bahwa hal ini terbukti benar setelah dicoba, sebagaimana dituturkan datanya oleh Ibnu ‘Abbas.” (Al-Munawi, VI/419).
Tidak jelas memang, siapa saja “orang-orang jaman dahulu” yang pernah mencobanya dalam situasi kebakaran dan berhasil. Namun menarik, terdapat deskripsi dari Syihabuddin Al-Qasthallani dalam karyanya, Al-Mawahibul Ladunniyah, tentang pengalamannya sendiri mengamalkan hadits tersebut:
وقد جربت ذلك بطيبة في سنة خمس وتسعين وثمانمائة، فوجدت له أثرًا عظيمًا لم أجده لغيره. ولقد شاع وذاع رؤية طيور بحريق طيبة الواقع في ثالث عشر رمضان سنة ست وثمانين وثمانمائة معلنة بالتكبير
Artinya, “Saya sendiri telah mencobanya di Thaibah (Madinah) pada tahun 895 H, dan saya menemukan dampaknya sangat besar, yang tidak saya temukan pada cara lain. Telah tersebar luas dan terkenal peristiwa kebakaran di Thaibah pada tanggal 13 Ramadhan tahun 886 H, di mana burung-burung terlihat dan didengar mengumandangkan takbir,” (Al-Mawahibul Ladunniyah, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah: t.t.], jilid III, halaman 43).
Peristiwa kebakaran tersebut juga mendapat tanggapan dari Qadhi As-Sakhawi, seorang hakim yang menjabat saat itu. Ia menyampaikan komentarnya dalam bentuk bait puisi atau syair:
فظن كلّ بأن النار تحرقه ... فما ترى من جواها غير منهزم
فجاءت الطير روتها بأجنحة ... عن البيوت رآها غير متهم
"Setiap orang mengira api akan membakarnya,
Namun dari gejolaknya, tak ada yang tersisa kecuali yang lari terbirit.
Lalu burung-burung datang, menyiraminya dengan sayap-sayapnya,
Melindungi rumah-rumah, terlihat tanpa cela dan tak dicurigai."
Syair di atas menggambarkan kepanikan saat kebakaran melanda, di mana setiap orang merasa terancam oleh kobaran api dan berlarian menyelamatkan diri. Dalam kekacauan itu, muncul pertolongan ilahi yang digambarkan secara metaforis sebagai burung-burung yang “menyirami” api dengan sayapnya, melindungi rumah-rumah dari kehancuran. Pada puisi yang ditulisnya dalam kesempatan lain, As-Sakhawi menuturkan:
فكل شخص تولى خائفًا حذرًا ... فجاءت الطير للنيران تطردها..عن البيوت ولا يخفى لمن بصرا
"Setiap jiwa berpaling, ketakutan dan waspada,
Lalu burung-burung datang, mengusir nyala api.
Melindungi rumah-rumah, tak tersembunyi bagi yang melihat dengan jelas."
Syair kedua menggambarkan ketakutan dan kewaspadaan warga yang melarikan diri dari ancaman api. Burung-burung hadir sebagai simbol pertolongan ilahi, yang dengan tegas “mengusir” nyala api untuk melindungi kediaman penduduk.
Meskipun terdapat penuturan As-Sakhawi sebagai saksi kebakaran tersebut, tidak ada saksi mata lain yang mengungkapkan dengan bahasa lugas non-metaforis, sehingga fakta padamnya tanpa upaya lahiriah sulit ditemukan dalam peristiwa tersebut.
Pandangan Fuqaha soal Takbir ketika Kebakaran
Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ syarhul Muhaddzab menyatakan kesunnahan bertakbir ketika terjadi kebakaran.
وَإِذَا رَأَى الْحَرِيقَ أَنْ يُكَبِّرَ
Artinya, “Jika melihat peristiwa kebakaran, disarankan bertakbir,” (Al-Majmu’, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], jilid IV, halaman 652).
Selain bertakbir, di antara fuqaha yang menilai sunnah hukumnya adzan ketika kebakaran adalah Syekh Sulaiman Al-Jamal dalam Hasyiatul Manhaj karya Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari (Beirut, Darul Fikr: t.t., jilid II, halaman 68).
Walhasil, menghadapi kebakaran memerlukan tindakan cepat seperti memadamkan api atau menyelamatkan jiwa, namun mengiringinya dengan takbir atau doa mencerminkan keseimbangan antara usaha lahiriah dan batiniah bagi seorang Muslim. Membaca takbir menegaskan bahwa kebesaran Allah melampaui segala tantangan dan musibah. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.