Konsekuensi Hukum Sumpah Palsu dalam Islam dan KUHP: Dosa Besar dan Sanksi Pidana
NU Online · Senin, 18 Agustus 2025 | 14:00 WIB
Shofi Mustajibullah
Kolomnis
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa majelis persidangan, bisa peradilan agama maupun formal, masih sarat akan kepalsuan. Sebuah wadah dari ujung tombak keadilan, sering ditemui fenomena sumpah dusta.
Sebagaimana seorang saksi yang bersumpah atas kesalahan terdakwa, walaupun kenyataanya tidak. Tindakan, memalsukan sumpah memiliki konsekuensi yang sangat amat besar bagi pelakunya, baik dalam sudut pandang hukum Islam maupun hukum positif
Orang bisa berani memanipulasi sumpah dengan mencatut nama Allah, berdasar motif yang berbeda. Mungkin dikarenakan tekanan eksternal, dalam kasus lain memang sengaja memutar balikkan fakta kemudian mengikrarkan sumpah dusta. Namun yang pasti, fenomena ini merupakan tindakan dosa besar. Islam menyebutnya yaminul ghamus.
Secara definisi, seperti yang disampaikan Ibnu Hajar Haitami, yaminul ghamus merupakan ucapan sumpah seseorang yang tidak sesuai kenyataan dengan bertujuan merugikan orang lain. Kerugian tersebut seperti mengambil harta tertuduh.
Selain itu, sumpah palsu berdampak pada bias fakta yang sebenarnya. Walaupun pihak tertuduh adalah non-muslim. Bahkan, alasan penyematan kata ghamus pada tindakan sumpah palsu dikarenakan pelaku akan mendapatkan dosa di dunia serta kelak akan dimasukkan neraka. (Az-Zawajir, [Beirut, Darul Fikri:1987], Juz 2, halaman 303).
Konsekuensi Sumpah Palsu dalam Islam
Nabi Muhammad saw mengategorikan sumpah terhadap sesuatu yang tidak sesuai kenyataan sebagai dosa besar. Dosa tersebut setara dengan menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.
عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: الْكَبَائِرُ: الْإِشْرَاكُ بِاللهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، أَوْ قَالَ: الْيَمِينُ الْغَمُوسُ
Artinya, “Dari Nabi bersabda, Beberapa dosa besar adalah menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, atau mengucapkan sumpah yang dusta.” (HR Al-Bukhari).
Mayoritas ulama, kalangan Hanafi, Hambali, dan Maliki berpendapat, hukum berdusta atas sebuah sumpah palsu adalah haram dan pelakunya mendapatkan dosa besar. Pendapat ini merupakan yang paling diunggulkan. Alhasil, pelaku sumpah palsu harus beristighfar dan melakukan proses taubat nasuha (sungguh-sungguh), akan tetapi tidak perlu menunaikan kafarah. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhul Islam wa Adillatuhu, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz IV, halaman 2444).
Berbeda dengan mazhab Syafi’i yang tetap mewajibkan menunaikan kafarat bagi pelaku sumpah palsu.
Menurut Ibnu Rusyd, terjadinya perbedaan antara mayoritas ulama yang tidak mewajibkan membayar kafarat, dan mazhab Syafi'i yang mewajibkan kafarat ketika terjadinya sumpah palsu, disadari pada tinjauan penafsiran ayat 89 surat Al-Maidah.
Bagi mazhab Syafi'i, sumpah palsu termasuk dalam kategori penjalinan sumpah secara umum. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, [Kairo, Darul Hadits: 2004], juz II, halaman 172).
Petikan ayat yang dimaksud adalah:
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللّٰهُ بِاللَّغْوِ فِيْٓ اَيْمَانِكُمْ وَلٰكِنْ يُّؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُّمُ الْاَيْمَانَۚ فَكَفَّارَتُهٗٓ اِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسٰكِيْنَ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ كِسْوَتُهُمْ اَوْ تَحْرِيْرُ رَقَبَةٍۗ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍۗ ذٰلِكَ كَفَّارَةُ اَيْمَانِكُمْ اِذَا حَلَفْتُمْۗ وَاحْفَظُوْٓا اَيْمَانَكُمْۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Artinya, “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QSAl-Maidah: ayat 8).
Apabila mengikuti pendapat mazhab Syafi'i yang harus membayar kafarat, maka terdapat tiga opsi dalam menunaikannya.
Pertama, memerdekakan seorang hamba yang tidak memiliki cacat yang berpengaruh pada optimalisasi kinerja.
Kedua, memberi makan 10 orang miskin sebanyak satu mud sesuai takaran negara.
Ketiga, memberikan pakaian 10 orang miskin pula. Setidaknya pakaian yang bisa menutupi bagian badan. Bisa berupa gamis, kerudung, dan jubah. Apabila tidak mampu memenuhi ketiga opsi, cukup dengan berpuasa tiga hari, tanpa berturut-turut. (Muhammad bin Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib, [Beirut, Dar Ibnu Ruf’ah: 2005], halaman 220.
Alhasil, konsekuensi sumpah palsu adalah pelakunya mendapatkan dosa besar. Dia harus beristighfar dan bertobat. Menambahkan pendapatan mazhab Syafi'i, pelaku harus menunaikan kafarat.
Konsekuensi Sumpah Palsu Menurut Hukum Positif
Tidak hanya dalam pantauan syariat, pemalsuan atas sebuah kesaksian merupakan pelanggaran pidana. Tertuang pada pasal 242 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) yang menjelaskan, barang siapa di dalam perkara pidana atau perkara perdata memberikan keterangan palsu di bawah sumpah, akan mendapatkan ancaman penjara dengan dua kategori; (1) dalam perkara pidana, pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) dalam perkara perdata, pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Misalnya dalam sebuah persidangan, saksi atau ahli wajib mengucapkan sumpah sebelum memberi keterangan atau kesaksian. Jika setelah bersumpah ia memberikan keterangan palsu, langsung bisa dijerat Pasal 242 KUHP.
Dengan demikian, seseorang harus mampu menjaga dirinya dalam mengucapkan sebuah sumpah. Sebab ketika sumpah yang diucapkan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, maka pelaku akan mendapatkan konsekuensi yang sangat besar.
Dalam sudut pandang Islam, seseorang yang melakukan sumpah palsu akan mendapatkan dosa di dunia dan di akhirat, serta membayar kafarat. Berdasarkan hukum positif, seseorang berpotensi terjerat hukum pidana. Wallahu a'lam.
Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Ainul Yaqin
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Refleksi Kemerdekaan, Perbaikan Spiritual dan Sosial Menuju Indonesia Emas 2045
2
Prabowo Klaim Selamatkan Rp300 Triliun APBN, Peringatkan Risiko Indonesia Jadi Negara Gagal
3
Taj Yasin Pimpin Upacara di Pati Gantikan Bupati Sudewo yang Sakit, Singgung Hak Angket DPRD
4
Khutbah Jumat Bahasa Sunda: Ngeusian Kamerdekaan ku Syukur jeung Nulad Sumanget Pahlawan
5
Gus Yahya Cerita Pengkritik Tajam, tapi Dukung Gus Dur Jadi Ketum PBNU Lagi
6
Ketua PBNU: Bayar Pajak Bernilai Ibadah, Tapi Korupsi Bikin Rakyat Sakit Hati
Terkini
Lihat Semua