Beberapa waktu yang lalu, jagat maya dihebohkan oleh kasus inses yang melibatkan kakak beradik di Medan dan nekat membuang bayi hasil hubungan sedarah mereka. Tak hanya itu, muncul pula sebuah komunitas di Facebook bernama Fantasi Sedarah yang secara terang-terangan mendukung hubungan terlarang antara sesama saudara kandung, bahkan antara orang tua dan anak.
Fenomena ini jelas bukan sekadar pelanggaran terhadap norma agama, melainkan juga pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong sebagai kejahatan seksual. Lebih dari itu, inses membawa dampak serius bagi kesehatan fisik dan mental, baik bagi pelaku maupun anak yang dilahirkan dari hubungan inses.
Dalam perspektif hukum, Black’s Law Dictionary mendefinisikan inses sebagai “kejahatan berupa hubungan seksual atau hidup bersama antara laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan sedarah dalam derajat di mana hukum melarang pernikahannya.”
Larangan inses dalam Al-Qur'an ditegaskan secara eksplisit dalam surah An-Nisa ayat 23. Dalam ayat ini, Allah merinci tiga golongan perempuan yang haram dinikahi oleh seorang laki-laki, yaitu:
- Saudara sedarah (mahram nasab), meliputi: (1) Ibu kandung (2) Anak perempuan (3) Saudara perempuan (4) Bibi dari jalur ayah (amah) (5) Bibi dari jalur ibu (khalah) (6) Anak perempuan dari saudara laki-laki (keponakan) (7) Anak perempuan dari saudara perempuan (keponakan)
- Saudara sepersusuan (mahram radha’ah), meliputi: (1) Ibu susuan (2) Saudara perempuan sepersusuan,
- Saudara karena pernikahan (mahram musaharah), meliputi: (1) Ibu mertua (ibu dari istri) (2) Anak tiri (dari istri yang telah digauli) (3) Menantu perempuan (istri dari anak kandung) (4) Mengumpulkan dua saudara perempuan dalam satu pernikahan
Begitu juga pengharaman nikah berlaku bagi perempuan. Imam Syafi'i menjelaskan,
هٰذَا، وَيَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَبُوهَا، وَأَبُو أَبِيهَا، وَأَبُو أُمِّهَا، وَجَمِيعُ أُصُولِهَا. وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا ابْنُهَا، وَابْنُ ابْنِهَا، وَابْنُ بِنْتِهَا، وَجَمِيعُ فُرُوعِهَا. وَيَحْرُمُ عَلَيْهَا أَخُوهَا شَقِيقًا كَانَ أَوْ لِأَبٍ أَوْ لِأُمٍّ، وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهَا أَبْنَاءُ إِخْوَتِهَا، وَأَبْنَاءُ أَخَوَاتِهَا، كَمَا يَحْرُمُ عَلَيْهَا أَعْمَامُهَا، وَأَخْوَالُهَا، وَأَعْمَامُ أَبِيهَا، وَأَعْمَامُ أُمِّهَا، وَأَخْوَالُ أَبِيهَا، وَأَخْوَالُ أُمِّهَا
Artinya “Diharamkan atas seorang perempuan (untuk dinikahi) oleh ayahnya, kakek dari pihak ayah dan ibu, serta seluruh leluhurnya; anak laki-lakinya, cucu dari anak laki-laki maupun perempuan, serta seluruh keturunannya; saudara laki-laki, baik kandung, seayah, maupun seibu; anak-anak dari saudara laki-laki dan perempuan; paman dari pihak ayah dan ibu; juga paman dari kakek dan nenek, baik dari jalur ayah maupun ibu.” (Al-Fiqhul Manhaji, [Damaskus: Darul Qolam lit Thiba’ah, 1992] juz 4, halaman 27)
Singkatnya, kalau pernikahan yang asalnya halal saja bisa diharamkan bila menyimpang dari aturan Allah, maka zina yang pada dasarnya sudah jelas haram, kemudian dilakukan dengan orang yang termasuk mahram, adalah kejahatan ganda yang sangat besar. Sebagaimana yang sudah disepakati para Ulama fiqih:
يَتَفَاوَتُ إِثْمُ الزِّنَى وَيَعْظُمُ جَرِيمَتُهُ بِحَسَبِ مَوَارِدِهِ. فَٱلزِّنَا بِذَاتِ ٱلْمَحْرَمِ أَوْ بِذَاتِ ٱلزَّوْجِ أَعْظَمُ مِنَ ٱلزِّنَا بِأَجْنَبِيَّةٍ أَوْ مَن لَايَ زَوْجَ لَهَا، إِذْ فِيهِ إِنْتِهَاكُ حُرْمَةِ ٱلزَّوْجِ، وَإِفْسَادُ فِرَاشِهِ، وَتَعْلِيقُ نَسَبٍ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ مِنْهُ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ أَنْوَاعِ أَذَاهِ. فَهُوَ أَعْظَمُ إِثْمًا وَجَرِيمَةً مِنَ ٱلزِّنَى بِغَيْرِ ذَاتِ ٱلْبَعْلِ وَٱلْأَجْنَبِيَّةِ
Artinya “Tingkat dosa zina berbeda-beda dan semakin besar kesalahannya, tergantung pada kondisi dan pelakunya. Zina dengan mahram atau dengan suami/istri orang lain adalah lebih berat daripada zina dengan orang asing atau orang yang tidak berpasangan. Karena dalam zina dengan pasangan orang lain terdapat perusakan kehormatan suami atau istri tersebut, merusak tempat tidur suami-istri, merusak nasab, dan merusak hal lainnya. Oleh karena itu, dosa dan kejahatan zina dengan mahram atau dengan pasangan orang lain jauh lebih besar dibandingkan zina dengan orang tak berpasangan dan orang asing.” (Mausu’atul Fiqhiyah, [Kuwait, Mathobi’u Daarus Shofwah, 1404-1427], juz 24 halaman 20).
Dampak Inses terhadap Kesehatan
Lebih dari sekadar pelanggaran moral dan norma agama, hubungan inses berisiko serius terhadap kesehatan pelaku. Inses dapat menyebabkan gangguan mental seperti stres berat, depresi, kecemasan, hingga trauma jangka panjang.
Selain itu, pelaku inses juga berisiko tinggi tertular infeksi menular seksual (IMS). Risiko ini tidak hanya berdampak pada pelaku, tetapi juga berbahaya bagi bayi yang dikandung. Ibu hamil yang terinfeksi IMS berisiko mengalami keguguran, melahirkan prematur, atau melahirkan bayi dengan gangguan kesehatan, termasuk masalah genetika yang diakibatkan hubungan sedarah.
Hasil penelitian dalam buku Advances in the Study of Genetic Disorders menyebutkan bahwa hubungan sedarah yang dekat dapat mewariskan gen resesif yang sama. Kondisi ini menyebabkan peningkatan frekuensi homozigositas pada anak, sehingga terjadi risiko gangguan genetik seperti cacat lahir, gangguan perkembangan mental, dan penyakit metabolik.
Anak-anak yang lahir dari hubungan sedarah juga berisiko mengalami kelainan kongenital, gangguan pendengaran, kelainan jantung, serta gangguan perkembangan kognitif. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak hasil hubungan inses cenderung mengalami cacat fisik dan gangguan genetik yang lebih parah dibandingkan dengan anak-anak dari pasangan tanpa hubungan darah. (Kenji Ikahara, 2011, Advances in the Study of Genetic Disorders, inTech: halaman 21-41).
Hubungan inses jelas membawa banyak kerugian dan kehancuran yang besar bagi pelaku, korban, dan bahkan generasi mendatang. Oleh karena itu, sudah saatnya kita membuka mata dan hati untuk bersama-sama mencegah segala bentuk celah yang bisa memicu terjadinya inses, yaitu dengan memperkuat penegakan hukum, meningkatkan kesadaran, dan menyebarluaskan edukasi yang benar dan bermanfaat. Semoga kita terjaga dan terhindar dari segala perbuatan yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan masa depan generas. Wallahu A'lam.
Ustadzah Tuti Lutfiah Hidayah, Alumnus Farmasi UIN Jakarta, dan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat.