Resepsi pernikahan di Indonesia kerap disisipi ceramah atau nasihat keagamaan. Sayangnya, tidak jarang nasihat itu sarat dengan nada seksis, menyudutkan perempuan seolah satu-satunya pihak yang wajib taat, patuh, dan menanggung beban rumah tangga. Fakta ini menjadi ironi, sebab acara bahagia justru diracuni pesan bias yang tak relevan dengan semangat Islam rahmatan lil 'alamin.
Fenomena ini terjadi berulang dalam berbagai latar budaya. Penceramah yang diundang acap kali membumbui mauidzah dengan cerita lucu yang merendahkan perempuan, seperti istri cerewet, istri boros, istri harus tahu diri, dan seterusnya. Padahal, pernikahan adalah akad dua insan yang setara dalam martabat, bukan hubungan atas-bawah. Islam tidak melegitimasi candaan yang membekukan ketimpangan.
Terkadang ditemui sebagian penceramah mengutip ayat atau hadits secara parsial tanpa memperhatikan konteksnya. Misalnya, ayat tentang ketaatan istri dikutip tanpa disertai penjelasan tentang kewajiban suami berbuat adil dan lembut. Padahal, Al-Qur'an menggarisbawahi prinsip musyawarah dan ma'ruf dalam rumah tangga, bukan relasi otoriter sepihak yang membungkam hak salah satu pasangan.
Imam Al-Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub ila Hadhrati 'Allamil Ghuyub fi 'Ilmit Tashawuf menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَيْسَ حُسْنُ الْخُلُقِ مَعَهَا كَفَّ الأَذَى عَنْهَا، بَلِ احْتِمَالُ الأَذَى مِنْهَا، وَالْحِلْمُ عَنْ طَيْشِهَا وَغَضَبِهَا، اقْتِدَاءً بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
Artinya, "Ketahuilah bahwa akhlak mulia terhadap istri bukan sekadar menahan diri dari menyakitinya, tetapi juga bersabar atas gangguan darinya, dan tetap lembut menghadapi sikap emosional atau amarahnya, sebagaimana teladan Rasulullah SAW." (Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2014], halaman 289)
Pernyataan Al-Ghazali ini menunjukkan bahwa akhlak mulia dalam relasi suami istri tidak cukup hanya dengan tidak menyakiti, tetapi justru terletak pada kesanggupan suami untuk bersabar, memaafkan, dan tetap lembut saat menghadapi kekurangan atau emosi istri. Prinsip ini mendorong adanya rasa empati dan saling memahami dalam hubungan rumah tangga. Sehingga, menyudutkan perempuan sebagai objek yang sarat dengan stereotip negatif jelas keliru.
Ceramah seksis bisa berbahaya karena memperpanjang warisan patriarki yang sudah meresap dalam kesadaran sosial. Perempuan yang sejak awal menikah dibekali doktrin untuk diam, sabar, dan tunduk sepenuhnya, rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara itu, laki-laki diberi pembenaran untuk mendominasi karena merasa itu "ajaran agama". Jelas ini kekeliruan yang perlu dihentikan.
Rasulullah sendiri secara tegas menyatakan bahwa perempuan memiliki hak sosial yang setara dengan laki-laki, termasuk dalam relasi rumah tangga. Hal ini bisa dipahami dari hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا، قَالَ: يَغْتَسِلْ. وَعَنِ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدِ احْتَلَمَ وَلَا يَجِدُ بَلَلًا، قَالَ: لَا غُسْلَ عَلَيْهِ. فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: الْمَرْأَةُ تَرَى ذَلِكَ، أَعَلَيْهَا غُسْلٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya, "Dari Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menemukan adanya basah (mani), tetapi ia tidak ingat bermimpi (basah), maka beliau bersabda: "Ia tetap wajib mandi." Dan tentang seorang laki-laki yang merasa bermimpi basah, tetapi tidak mendapati basah, maka beliau bersabda: "Tidak ada kewajiban mandi atasnya."
"Lalu Ummu Sulaim bertanya: "Bagaimana jika perempuan mengalami hal serupa? Apakah ia juga wajib mandi?" Beliau menjawab: "Ya, karena sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki." (HR Abu Dawud)
Saat menjelaskan kata syaqaiq, Syekh Abu Thayyib Abadi dalam 'Aunul Ma'bud menjelaskan bahwa pemilihan kata syaqaiq menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak setara, sehingga tidak boleh ada diskriminasi terhadap salah satu pihak. Prinsip ini juga yang mendasari bahwa ketika ada kata perintah dalam teks Al-Qur'an atau hadits, jika narasinya mudzakkar, maka perintah tersebut berlaku untuk laki-laki sekaligus perempuan, selagi tidak ada pengecualian.
Berikut paparan Syekh Abu Thayyib:
قَالَ ابْنُ الأَثِيرِ: أَيْ نَظَائِرُهُمْ وَأَمْثَالُهُمْ، كَأَنَّهُنَّ شُقِقْنَ مِنْهُمْ، وَلِأَنَّ حَوَّاءَ خُلِقَتْ مِنْ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ، وَشَقِيقُ الرَّجُلِ أَخُوهُ لأَبِيهِ وَلِأُمِّهِ، لِأَنَّ شَقَّ نَسَبِهِ مِنْ نَسَبِهِ... قَالَ الْخَطَّابِيُّ: وَفِيهِ مِنَ الْفِقْهِ إِثْبَاتُ الْقِيَاسِ وَإِلْحَاقُ حُكْمِ النَّظِيرِ بِالنَّظِيرِ، فَإِنَّ الْخِطَابَ إِذَا وَرَدَ بِلَفْظِ الْمُذَكَّرِ كَانَ خِطَابًا لِلنِّسَاءِ إِلَّا مَوَاضِعَ الْخُصُوصِ الَّتِي قَامَتْ أَدِلَّةُ التَّخْصِيصِ فِيهَا
Artinya, "Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki." Kalimat ini bersifat istinafiyah (kalimat baru) yang mengandung makna penjelasan sebab. Ibn al-Atsir menjelaskan: maksudnya adalah, perempuan adalah padanan dan setara dengan laki-laki, seolah-olah mereka berasal dari laki-laki—karena Hawa diciptakan dari Nabi Adam AS. Kata "shaqīq" berarti saudara kandung dari ayah dan ibu, sebab ia memiliki asal keturunan yang sama."
"Al-Khaththabi berkata: dalam hadits ini terdapat faedah fiqih berupa pengakuan terhadap metode qiyas, yaitu menetapkan hukum bagi suatu kasus dengan menyamakannya pada kasus yang serupa. Maka jika suatu perintah disampaikan dengan bentuk maskulin (mudzakkar), maka perintah itu juga berlaku untuk perempuan, kecuali jika ada dalil khusus yang menunjukkan pengecualian." (Abu Thayyib Abadi, 'Aunul Ma'bud, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiah, 2017], juz I, halaman 242)
Ceramah dalam resepsi pernikahan seharusnya menjadi ruang penyegar nilai, bukan saluran reproduksi bias gender. Sudah saatnya penceramah menyampaikan pesan yang berangkat dari semangat keadilan, bukan selera patriarki. Resepsi adalah momentum bahagia, bukan panggung untuk melanggengkan ketimpangan. Islam tidak menempatkan perempuan di bawah laki-laki, tetapi menjadikan keduanya sejajar dalam kemuliaan, tanggung jawab, dan penghormatan. Wallahu a'lam.
Ustadz Muhamad Abror, Dosen Filologi Dan Sejarah Islam Ma'had Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta.