Dhihar, bisa disebut ungkapan pisah ranjang, merupakan tindakan munkar dan tercela sebab bisa mempersulit dan menghalangi sesuatu yang semestinya bisa dilakukan oleh suami-isteri. Lebih dari itu, dhihar termasuk perbuatan buruk terhadap seseorang yang mestinya harus diperlakukan baik, dalam hal ini adalah istri. Dhihar pun dapat mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah yaitu berhubungan suami-istri.
Dhihar juga merupakan dusta karena ucapan, misalnya “Bagiku engkau sama dengan punggung ibuku.” Ucapan tersebut adalah suatu kedustaan yang nyata, sebab punggung istri tidak akan pernah sama dengan punggung ibunya. Juga tidak ada penjelasan mengenai tasybih (analogi) antara keduanya.
Syariat Islam tidak serta merta membiarkan ucapan tersebut seperti angin lalu. Seorang suami yang mengucapkan pisah ranjang wajib membayar kafarat sebagai bentuk kasih sayang Allah terhadapnya. Allah tidak menjadikan ucapan seorang suami yang melakukan ucapan pisah ranjang sebagai talak.
Hikmah diberlakukannya hukum dhihar ada dua macam, yakni sebagai sanksi (mu’akhadzah) dan adanya tanggungan kafarat. Disebut sebagai mu’akhadzah karena suami tersebut menetapkan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh orang lain, dan memikul dosa orang-orang Jahiliah. Sanksi tersebut bisa berupa materi (harta benda), seperti memerdekakan budak dan memberi makan 60 orang miskin, atau sanksi fisik, seperti berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Hikmahnya adalah untuk menasihati dan memberikan pelajaran agar suami tidak melakukan dhihar untuk kedua kalinya. Inilah perbedaan antara dhihar di era Islam dengan zaman Jahiliyah di mana mereka melakukan dhihar yang berimbas selamanya. Kemudian muncullah Islam dengan kasih sayangnya. (Syekh Al-Jurjawi, Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuhu, [Beirut, Darul Fikr: tt], jilid. II, hlm. 59)
Perbedaan Dhihar dan Talak
Berikut adalah beberapa perbedaan antara dhihar atau ungkapan pisah ranjang dengan talak atau cerai:
1. Definisi
Mengenai definisi, keduanya mempunyai definisi ataupun pengertian yang berbeda. Adapun dhihar secara etimologi diambil dari kata “adh-dhahru” yang berarti ‘punggung’. Sedangkan dalam terminologi syariah, dhihar adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya (yang tidak tertalak ba’in) dengan wanita yang haram dinikahi. Seperti ucapan, “Engkau bagiku seperti punggung ibuku.”
Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib Al-Mujib sebagai berikut,
وهو لغةً مأخوذ من الظَهر، وشرعًا تشبيه الزوج زوجتَه غير البائن بأنثى لم تكن حِلًاّ له
Artinya: “Dhihar secara bahasa diambil dari kata “adh-dhahru” yang bermakana punggung. Sedangkan dalam istilah syariah adalah perkataan suami yang menyerupakan istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami tersebut.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 248)
Adapun pengertian talak secara etimologis, adalah melepas ikatan. Sedangkan menurut terminologi syariah, talak adalah suatu perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan. Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi dalam Fathul Qarib Al-Mujib sebagai berikut,
وهو لغةً حَلُّ القَيد، وشرعًا اسم لحَلِّ قَيد النكاح
Artinya: “Talak secara bahasa adalah melepas ikatan. Sedangkan secara syariah adalah nama perbuatan untuk melepas ikatan pernikahan.” (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib Al-Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 1425 H], hlm. 241)
2. Rukun dan syarat
Mengenai syarat dan rukun, dhihar dan talak juga mempunyai beberapa perbedaan, yaitu: [1] Suami yang mengucapkan dhihar (mudhahir), [2] Istri yang dikenai dhihar (mudhahir minha), [3] Orang yang diserupakan (musyabbah bih), dan [4] sighar dhihar.
Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Bujairami dalam Hasyiah Al-Bujairami ‘ala Manhaj sebagai berikut,
أَرْكَانُهُ أَرْبَعَةٌ) (مُظَاهِرٌ وَمُظَاهَرٌ مِنْهَا وَمُشَبَّهٌ بِهِ وَصِيغَةٌ
Artinya: “Rukun-rukun dhihar itu ada empat, yakni [1] suami yang mengucapkan (mudzahir), [2] istri yang dikenai dhihar (mudzahir minha), [3] orang yang diserupakan (musyabbah bih), dan [4] redaksi dhihar (sighat).” (Syekh Sulaiman Al-Bujairami, Hasyiah Bujairami ‘ala Manhaj, [Mesir, Mathba’ah al-Halabi: 1369 H], jilid. IV, hlm. 53)
Adapun rukun dan syarat talak adalah [1] Orang yang menalak (suami), [2] Sighat (redaksi talak), [3] Orang yang ditalak (istri), [4] Mempunyai otoritas, dan [5] Sengaja (tidak dipaksa). Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Syekh Khathib Asy-Syirbini dalam Mugnil Muhtaj sebagai berikut,
وَأَرْكَانُهُ خَمْسَةٌ: مُطَلِّقٌ وَصِيغَةٌ وَمَحَلٌّ وَوِلَايَةٌ وَقَصْدٌ
Artinya: “Rukun-rukun talak ada lima, yakni orang yang mentalak (suami), sighat (redaksi talak), orang yang ditalak (istri), mempunyai otoritas, dan sengaja (tidak dipaksa).” (Syekh Khathib Asy-Syirbini, Mugnil Muhtaj, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1415 H], jilid. 4, hlm. 455)
3. Latar belakang
Latar belakang yang menjadikan adanya dhihar dan talak juga mempunyai perbedaan. Adapun dhihar biasanya dilakukan karena adanya masalah dalam rumah tangga, seperti pertengkaran, ketidakcocokan, atau untuk mencari solusi dari permasalahan yang ada. Sedangkan talak terkadang dilatarbelakangi oleh keinginan mengakhiri ikatan pernikahan secara sah dalam agama Islam.
4. Konsekuensi Hukum
Konsekuensi hukum yang ditimbulkan dari dhihar dan talak juga mempunyai perbedaan. Dhihar tidak memisahkan ikatan pernikahan, melainkan hanya sebuah pelanggaran yang mewajibkan kafarat atau tebusan bagi suami yang melakukannya.
Artinya, karena dhihar seorang suami haram menggauli istrinya sebelum membayar denda atau menunaikan kafarat. Termasuk juga haram memandang, menyentuh, atau mencumbu, mencium. Kendati melanggar, si suami dikategorikan bermaksiat dan tidak ada kafarat lagi selain salah satu kafarat yang tiga sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mushthafa al-Khin dkk dalam Fiqhul Manhaji sebagai berikut,
أما إن لم يتبع ذلك بالطلاق، ولم يحصل ما يقطع النكاح، فإنه يعتبر عائداً في كلامه، مخالفاً لما قاله، فإن عدم انفصاله عن زوجته، وقد شبّهها في الحرمة بمحاربة ـ يعتبر نقضاً منه لهذا التشبيه، ومخالفة لمقتضاه. وعندئذ تلزمه كفّارة، يُكلف بإخراجها على الفور
Artinya, “Jika ungkapan dhihar tidak diikuti talak, maka tidak tercapai sesuatu yang memutuskan pernikahan. Sebab, dhihar dianggap kembali kepada perkataan suami dan bertolak belakang dengan ucapannya sendiri. Konsekuensinya, ketika suami tidak berpisah dengan istri karena telah menyerupakannya dengan salah seorang mahramnya, maka penyerupaan itu hanya dianggap pembatal dari pihak suami dan pelanggar ketentuan. Maka dalam kondisi itu, si suami hanya diwajibkan menunaikan kafarat dan kafarat tersebut dilakukan pada saat itu juga.” (Dr. Mushthafa al-Khin dkk, Fiqhul Manhaji, [Damaskus, Darul Qalam: 1413 H], jilid. IV, hlm. 147).
Sementara itu, talak dapat mengakibatkan putusnya hubungan suami istri dan terdapat ketentuan hukum yang mengatur akibat dari perceraian tersebut, termasuk hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa dhihar dan talak memiliki perbedaan signifikan dalam hal definisi, rukun dan syarat, latar belakang, serta konsekuensi hukum yang ditimbulkan. Ketentuan ini mencerminkan fleksibilitas syariat Islam dalam mengakomodasi kebutuhan kedua pihak dalam pernikahan, dengan tetap menjaga prinsip keadilan dan tanggung jawab bersama. Semoga penjelasan ini bermanfaat. Wallahu a’lam.
Muhammad Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman, Bulus, Purworejo, Jawa Tengah.