Nikah/Keluarga

Siapa yang Menikahkan Mempelai Perempuan Ketika Tidak Ada Wali Nasab dan Wali Hakim?

Kam, 26 Januari 2023 | 12:00 WIB

Siapa yang Menikahkan Mempelai Perempuan Ketika Tidak Ada Wali Nasab dan Wali Hakim?

Wali nikah untuk mempelai perempuan yang tidak memiliki wali nasab dan wali hakim yang uzur. (Ilustrasi: @westudiodesign_unsplash)

Pernikahan seorang tidak sah pernikahan tanpa wali, baik wali nasab, maupun wali hakim. Ketiadaan wali nasab bisa saja disebabkan oleh ketiadaan murni maupun ketiadaan secara syar’i. Ketiadaan murni misalnya seorang perempuan sudah tidak memiliki ayah, kakek, paman, saudara, keponakan, dan sepupu.


Sementara ketiadaan wali nasab secara syar’i misalnya si perempuan memiliki saudara satu-satunya yang berhak menjadi wali, tetapi keadaannya belum baligh; atau memiliki wali yang berhak, tetapi tidak diketahui keberadaannya.


Dalam kondisi demikian, biasanya wali hakim mengambil alih posisi wali perempuan tersebut. Wali hakim sendiri adalah petugas resmi yang ditunjuk pemerintah, seperti naib dan penghulu serta datang atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah saw:

ADVERTISEMENT BY OPTAD


فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ


Artinya, “Sesungguhnya penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan: “Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.”


Pertanyaannya, karena keadaan tertentu bagaimana jika wali hakim pun tidak bisa menjadi walinya, baik karena alasan si perempuan berada di luar wilayah kerja wali hakim, wali hakim yang bertugas sedang berhalangan, maupun alasan lain?

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Dalam kaitan ini, Syekh Zakariya al-Anshari mengemukakan dalam kitabnya:


وَإِذَا عُدِمَ الْوَلِيُّ وَالْحَاكِمُ) أَيْ عُدِمَا مَعًا كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ (فَوَلَّتْ) مَعَ خَاطِبِهَا (أَمْرَهَا) رَجُلًا (مُجْتَهِدًا) لِيُزَوِّجَهَا مِنْهُ (جَازَ) ؛ لِأَنَّهُ مُحَكَّمٌ وَالْمُحَكَّمُ كَالْحَاكِمِ

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artrinya, “Jika wali nasab dan wali hakim tidak ada, artinya keduanya tidak ada secara bersamaan, sebagaimana ditegaskan dalam Kitab Raudhatut Thalibin, kemudian si perempuan bersama dengan laki-laki yang meminangnya memasrahkan urusan kewaliannya kepada seorang laki-laki mujtahid untuk menikahkan dirinya dengan si peminangnya, maka boleh hukumnya. Laki-laki mujtahid yang diangkat wali tahkim itu adalah muhakkam, dan status muhakkam berkedudukan hukum seperti wali hakim,” (Lihat: Syekh Zakariya al-Anshari, Asnal Mathalib: juz III/125).


Pertanyaan berikutnya, bagaimana jika ahli ijtihad sulit ditemukan dan wali hakim masih ada? Hal ini juga perlu dicarikan solusinya mengingat di era sekarang mencari orang yang dipandang ahli dalam berijtihad cukup sulit atau sekalipun wali hakim masih ada, terkendala masalah biaya, persyaratan waktu, dan sebagainya.    


وَكَذَا لَوْ وَلَّتْ مَعَهُ عَدْلًا صَحَّ عَلَى الْمُخْتَارِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مُجْتَهِدًا لِشِدَّةِ الْحَاجَةِ إلَى ذَلِكَ كَمَا جَرَى عَلَيْهِ ابْنُ الْمُقْرِي تَبَعًا لِأَصْلِهِ. قَالَ فِي الْمُهِمَّاتِ: وَلَا يَخْتَصُّ ذَلِكَ بِفَقْدِ الْحَاكِمِ، بَلْ يَجُوزُ مَعَ وُجُودِهِ سَفَرًا، أَوْ حَضَرًا بِنَاءً عَلَى الصَّحِيحِ فِي جَوَازِ التَّحْكِيمِ

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Artinya, “Demikian pula boleh jika si perempuan dan laki-laki yang meminangnya menyerahkan urusan kewalian kepada orang yang adil menurut pendapat yang terpilih meskipun orang adil itu bukan ahli ijtihad. Alasannya karena sangat dibutuhkannya pengangkatan wali, sebagaimana pendapat Ibnul Muqri yang diikutkan kepada hukum asalnya. Juga disampaikan oleh al-Isnawi dalam al-Muhimmat, ‘Pengangkatan wali tahkim tidak saja dikhususkan karena ketiadaan wali hakim. Justru ada walau wali hakim pun juga dibolehkan, baik sedang perjalanan jauh atau sedang berada di rumah, berdasarkan pendapat sahih (mu’tamad) tentang bolehnya pengangkatan wali tahkim.’” (Lihat: Syamsuddin ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj: juz VI/224).  


Di samping keharusan memenuhi syarat ahli ijtihad dan adil, atau setidaknya adil, wali tahkim juga harus orang yang disetujui dan diterima oleh kedua belah pihak, baik pihak calon suami maupun pihak calon istri.


Kendati demikian, kebolehan mengangkat wali tahkim atau muhakkam bukan berarti boleh mengabaikan wali hakim begitu saja. Sebab, di Tanah Air sendiri pelaksanaan akad nikah sudah diatur sedemikian rupa dalam perundang-undangan yang berlaku antara lain dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”


Artinya, pernikahan yang legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah atau yang ditunjuk olehnya. Walau secara agama sah, tetapi pada dasarnya ilegal dan lemah menurut hukum perundang-undangan yang berlaku.      


Sebagai simpulan, ketika wali nasab tidak ada dan wali hakim masih ada, maka pernikahan tetap diupayakan di hadapan wali hakim KUA. Dikecualikan, memang wali hakim di KUA tidak bisa dan ada alasan darurat lainnya, maka boleh mengangkat muhakkam atau wali tahkim.


Sementara pernikahan yang tidak tercatat di KUA berisiko terjadi penyimpangan, dianggap ilegal, keturunan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu, kesulitan saat mengurus sengketa anak dan ibu yang tak mendapat nafkah atau warisan, kesulitan mengurus perceraian di Pengadilan Negeri Agama atau mengurus administrasi kependudukan. Wallahu ‘alam.


Ustadz M. Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND