Nikah/Keluarga

Kapan Wali Nikah Pengantin Beralih kepada Wali Hakim?

Sel, 21 Juli 2020 | 08:00 WIB

Kapan Wali Nikah Pengantin Beralih kepada Wali Hakim?

Wali hakim yang menikahkan adalah petugas resmi yang ditunjuk pemerintah, seperti kepala KUA dan datang atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi. (Ilustrasi: thepersonette.wordpress).

Salah satu rukun nikah adalah wali sehingga tidak sah bila pernikahan dilangsungkan tanpa wali atau tanpa seizin yang berhak. Urutannya pun sudah ditetapkan oleh para ulama berdasarkan dalil-dalil. Ketika wali yang satu tidak ada atau tidak memenuhi syarat, maka wali yang lain, baik wali nasab yang lebih jauh atau wali hakim dapat menggantikannya. Namun, peralihan hak kewalian ini juga sudah ditentukan sehingga tidak dapat dialihkan sembarangan sesuai keinginan.


Al-Imam Abdurrahman As-Suyuthi telah merinci 20 keadaan di mana pernikahan harus dilangsungkan dengan wali hakim. (Lihat Al-Habib Muhammad bin Salim al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah, hal 9).


Di antara 20 keadaan tersebut, sebagiannya yang relevan dan konteksual dengan kondisi sekarang akan diuraikan di sini.


Pertama, ketiadaan wali, baik ketiadaan murni maupun ketiadaan secara syariat. Ketiadaan murni misalnya seorang perempuan tidak memiliki satu pun anggota keluarga yang berhak menjadi wali. Sedangkan ketiadaan wali secara syariat misalnya wali yang ada masih kecil atau mengalami gangguan jiwa. Sekalipun ada orang terdekat, tetapi tidak berhak menjadi wali karena hanya sebagai ayah tiri, ayah angkat, atau bukan ayah kandung yang sah.


Kedua, ketidakjelasan wali, baik tidak jelas tempatnya dan tidak jelas hidup atau meninggalnya. Siapa pun yang memiliki wali tidak jelas seperti ini, hendaknya memastikannya terlebih dahulu. Jika tidak ditemukan informasi, maka pernikahan dilangsungkan oleh wali hakim. Artinya, ketidakjelasan semisal ini tidak kemudian mengalihkan kewalian kepada wali yang lebih lain. Sebab, kewalian masih melekat padanya sehingga dialihkannya kepada wali hakim.  


Ketiga, wali sedang ihram, baik ihram haji maupun ihram umrah berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Sayyidina ‘Utsman bin ‘Affan menyatakan:


لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ


Artinya, “Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah dan juga menikahkan,” (HR  Muslim).


Keempat, wali menolak menikahkan atau ‘adhal. Lebih jelas, para ulama mendefinisikan wali adhal sebagai wali yang menolak menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang sekufu sesuai permintaannya. Padahal, anak perempuan tersebut berakal sehat, sudah balig, serta memiliki calon suami yang sekufu dan sangat dicintainya. Syariat menetapkan, hukum penolakan wali tanpa alasan yang benar secara syari’i untuk menikahkan adalah haram berdasarkan ayat, “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,” (Surat Al-Baqarah ayat 232).


Jika wali ternyata adhal, artinya alasan penolakannya tidak dibenarkan secara hukum, maka penikahan dilangsungkan dengan wali hakim. Dikecualikan jika alasan penolakannya kuat, seperti calon sumi anaknya tidak sekufu, maka hakim tak bisa mengambil alih. Maka dari itu, benar dan tidaknya alasan wali yang enggan menikahkan akan dibuktikan oleh penghulu, petugas pencatat nikah dari KUA, atau hakim di pengadilan negeri agama.


Kelima, wali sedang bepergian jauh, sejauh jarak yang diperbolehkan meng-qashar shalat atau lebih. Jika jaraknya kurang dari jarak yang diperbolehkan shalat, maka diharuskan meminta izinnya terlebih dahulu karena statusnya seperti orang yang hadir di tempat.


Sementara wali yang tak bisa hadir karena pingsan, epilepsi,  atau mabuk yang tidak disengaja, tidak bisa diambil alih oleh hakim. Jika kewaliannya ingin dialihkan, maka harus ditunggu sampai tiga hari. Jika setelah tiga hari tak kunjung sadar, maka kewaliannya dialihkan kepada wali nasab di bawahnya, bukan kepada hakim. Sebab, kondisi tidak sadar karena pingsan, epilepsi, atau mabuk disejajarkan dengan kondisi tidak sadar karena tunagrahita. (Minahul Fattah ‘ala Dhau’il Mishbah fi Ahkamin Nikah, Syekh Muhammad bin Ahmad Al-Bajuri, hal. 289).


Demikian pula halnya wali yang sakit. Jika tidak sampai mengganggu kesadarannya, maka kewaliannya tetap melekat dan tidak beralih kepada wali di bawahnya. Jika tak bisa hadir, maka jalan keluarnya bisa menikahkan di tempat atau dengan cara mewakilkan atas izin si perempuan yang akan dinikahkan.        


Keenam, wali sedang dipenjara dan dihalang-halangi hadir oleh mayarakat tempat tinggalnya, sehingga ia merasa takut dan terancam. Dalam kondisi ini, pernikahan tetap bisa dilangsungkan dengan wali hakim, mewakilkan kepada yang lain, atau menikahkan di tempat dirinya berada, seperti melalui alat komunikasi.     


Walhasil, wali yang ada di tempat yang jauh, tidak dengan serta merta kewaliannya beralih kepada wali di bawahnya, sebab kewalian masih melekat padanya. Demikian dijelaskan oleh Syekh As-Syairazi dalam Al-Muhadzab:


ولم يكن لمن بعده من الأولياء أن يزوج لأن ولاية الغائب باقية ولهذا لو زوجها في مكانه صح العقد


Artinya, “Dan wali yang ada di bawahnya tidak boleh menikahkan, sebab kewalian orang yang tidak ada masih melekat. Sehingga seandainya, wali yang jauh tadi menikahkan di tempat dirinya berada, maka akadnya sah,” (Lihat Imam Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzab, [Surabaya, Maktabah Al-Hidayah: tanpa tahun], jilid II, halaman 37).


Ketujuh, wali bersikap tawari atau ta‘azzuz. Tawari artinya bersembunyi ketika diminta hadir ke akad nikah. Sedangkan ta‘azzuz adalah ketidakhadiran wali, padahal sudah diminta hadir dan berjanji akan datang. Anehnya, ia tidak menyatakan secara tegas menolak menikahkan.


Kedelapan, wali merangkap menjadi penerima nikah untuk dirinya. Contohnya wali sepupu. Sementara wali nasab yang lain atau wali sederajat tidak ada. Seandainya pernikahan tetap dijalankan, si wali akan merangkap selain menjadi wali, juga menjadi pengantin pria penerima akad.


Kesembilan, wali hendak menikahkan seorang perempuan kepada anak laki-lakinya yang masih kecil. Sementara wali yang jauh atau wali yang sederajat tidak ada. Wali harus menjadi penerima nikah untuk anak laki-lakinya dan yang menikahkan adalah wali hakim sebab wali hakim tidak menerima pernikahan untuk anak-anak.   


Kesepuluh, wali yang lain tidak ada, sedangkan satu-satunya wali dalam keadaan kufur.  Sementara perempuan yang akan dinikahkan adalah seorang muslimah. Pernikahan perempuan tersebut dilakukan dengan wali hakim. (Lihat Al-Habib Muhammad bin Salim Al-‘Alawi, Al-Miftah li Babin Nikah: 11).


Meski begitu, pernikahan dengan wali hakim juga tidak serta merta dilakukan. Setidaknya ada tiga persyaratan utama sebagaimana berikut:  


وذكر ثلاثة شروط: أن يكون الزوج كفؤا، وأن تكون المرأة بالغة، وأن  تكون في محل ولايته 


Artinya, “Penulis kemudian menyebutkan tiga syarat (nikah dengan wali hakim): Calon suami harus sekufu; (2) calon istri harus sudah balig; (3) dan calon istri juga berada di wilayah tugas kewalian sang hakim,” (Lihat: I‘anatut Thalibin, jilid III, halaman 260).


Biasanya, wali hakim yang menikahkan adalah petugas resmi yang ditunjuk pemerintah, seperti kepala KUA dan datang atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW:


فَإِنَّ السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ


Artinya, “Sungguh penguasa adalah wali bagi perempuan yang tidak memiliki wali,” (HR. Ahmad).


Ketentuan tersebut juga sesuai dengan Pasal 1 huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebutkan:


“Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.”


Demikian sejumlah keadaan di mana pernikahan harus dilangsungkan dengan wali hakim atau petugas resmi dari pemerintah. Wallahu a’lam.


Penulis: Ustadz Muhammad Tatam Wijaya

Editor: Alhafiz Kurniawan