Resepsi pernikahan banyak digelar oleh pasangan suami istri dengan pola dan cara yang beragam sesuai dengan budaya dan tradisi di daerah masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang memberi suguhan dengan jumlah besar, sebagian yang lain jumlahnya biasa dan bahkan ada yang sedikit, meskipun tingkat ekonominya sama.
Masyarakat yang level ekonominya lebih mapan terkadang tidak menjamin suguhan yang disajikan akan lebih spesial. Sebaliknya, mereka yang status finansialnya lebih rendah kadang memberi suguhan yang sama dengan kolega dan tetangga sekitar yang secara finansial lebih tinggi.
Sebagai umat Islam, penting mengetahui standardisasi suguhan resepsi pernikahan dalam Islam agar realisasinya lebih bermakna dan barakah. Antara lain mengenai suguhan resepsi pernikahan, apakah ada batasannya dalam Islam?
Untuk memenuhi kesunnahan, suguhan resepsi pernikahan tidak ditentukan batasannya. Dalam perspektif Islam, makanan apapun yang disajikan sudah dianggap mengadakan walimah pernikahan (walimatul ursy), sesuai dengan keterangan berikut:
فيحصل أصل السنة بأى شئ أطعمه ولو موسرا
Artinya, “Maka asal kesunnahan walimah diperoleh dengan makanan apa saja yang diberikan, meskipun dia orang kaya.” (Asy-Syarwani dan Ibni Qasim Al-‘Abbadi, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibni Qasim Al-‘Abbadi, (Lebanon, Darul Fikr: 2019), jilid VII, halaman 497).
Maka, tidak harus menyembelih hewan tertentu sebagai suguhan resepsi. Begitu juga tidak harus dalam ukuran yang besar bagi orang kaya dan ukuran kecil bagi orang miskin. Meskipun orang kaya mengadakan secara sederhana dan apa adanya, itu sudah memperoleh kesunnahannya.
Muhammad Asy-Syaukani sebagaimana mengutip dari Qadhi Iyadh juga menegaskan:
وأجمعوا على أنه لاحد لأكثر ما يولم به وأما أقله فكذلك
Artinya, “Ulama sepakat bahwa tidak ada batasan jumlah makanan maksimal yang dapat dihidangkan, dan untuk jumlah minimalnya pun sama saja.” (Muhammad Asy-Syaukani, Nailul Authar, [Mesir, Mathba'ah Musthafa Al-Babi Al-Halbi wa Auladihi: t.t.], jilid VI, halaman 199).
Berbeda dengan kesempurnaan dan keutamaan suguhan pernikahan, ulama menjelaskan bahwa terdapat batasannya, yaitu minimal satu kambing untuk orang yang mampu secara finansial, sebagaimana penjelasan berikut:
أقل الوليمة للمتمكن شاة أي للخبر مرادهما أقل الكمال
Artinya, “Jamuan minimal bagi orang yang mampu adalah seekor kambing, artinya sesuai hadits, di mana maksud keduanya adalah minimal kesempurnaan.” (Asy-Syarwani dan Ibni Qasim Al-‘Abbadi, Hawasyi Asy-Syarwani wa Ibni Qasim Al-‘Abbadi, [Lebanon, Darul Fikr: 2019), jilid VII, halaman 497).
Sementara itu, bagi orang miskin, sebagaimana paparan Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, adalah semampunya. (Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairami, Hasyiah Al-Bujairami Ala Syarhi Minhajit Thalibin, [Lebanon, Darul Fikr: 2017], jilid III, halaman 431).
Adapun maksimal keutamaannya adalah tidak terbatas, sehingga dianjurkan memberi suguhan resepsi pernikahan sebanyak mungkin selama tidak sampai menyia-nyiakan harta. Tidak hanya satu kambing tapi lebih dari itu, bahkan baik juga menyembelih sapi dan berbagai macam suguhan yang diinginkan oleh undangan dan pengunjung, baik itu makanan maupun minuman.
Hal ini sejalan dengan penjelasan berikut:
استحباب تكثير الوليمة للقادر مالم يصل إلى حد الإسراف والتبذير
Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang mampu untuk mengadakan jamuan besar, asalkan tidak sampai pada taraf pemborosan dan menyia-nyiakan harta.” (Abdul Qadir Syaibah Al-Hamd, Fiqhul Islam Syarh Bulughul Maram, [Madinah, Mathali’ Ar-Rasyid: t.t.], jilid VII, halaman 124).
Dengan demikian, semakin banyak suguhannya maka semakin tinggi nilai kebaikannya. Karena suguhan banyak sesuai dengan jumlah pengunjung yang juga banyak menghadirkan dua kebaikan, yaitu semakin luas informasi pernikahannya dan semakin banyak do’a barokahnya. Ibnu Batthal memaparkan:
كل من زاد في وليمته فهو أفضل لأن ذلك زيادة في الإعلان واستزادة من الدعاء بالبركة في الأهل والمال
Artinya, “Setiap orang yang menambah (hidangan) dalam walimahnya, maka itu lebih baik, karena juga menambah pengumuman (pernikahan) dan permohonan doa keberkahan dalam keluarga dan hartanya." (Ibnu Batthal, Syarh Shahih Al-Bukhari, [Riyadl, Maktbah Ar-Rusy: t.t.], jilid VII, halaman 285).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada standardisasi atau batasan tertentu untuk memenuhi kesunnahan suguhan resepsi pernikahan, sehingga makanan apapun yang disajikan sudah dianggap walimatul ursy. Tapi untuk kesempurnaannya terdapat batasan dalam hidangan, yaitu minimal satu kambing untuk yang mampu dan semampunya bagi yang miskin. Adapun batas maksimalnya dianjurkan memberi suguhan sebanyak mungkin selama tidak sampai menyia-nyiakan harta. Wallahu a‘lam.
Ustadz Muqoffi, Guru di Pesantren Gedangan dan Dosen IAI NATA Sampang Madura.