Tidak Berhubungan Suami Istri Tanpa Sumpah, Apakah Termasuk Ila’?
Kamis, 10 Juli 2025 | 08:00 WIB
Dalam dinamika hubungan perkawinan, tidak jarang pasangan suami istri tidak melakukan hubungan seksual selama berbulan-bulan, alasannya bisa karena konflik yang berkepanjangan atau karena kesibukan yang menyita waktu dan energi. Namun bagaimana pandangan Islam terhadap kondisi seperti ini? Apakah ini termasuk dalam kategori ila’, yakni sumpah seorang suami untuk tidak menggauli istrinya lebih dari empat bulan, sehingga suami bisa dituntut cerai karena itu?
Secara bahasa, ila' adalah bentuk kata mashdar dari kata ala-yuli, yang berarti sumpah. Hal ini dijelaskan salah satunya oleh imam Ibnu Qosim. Beliau menjelaskan:
وَهُوَ لُغَةً: مَصْدَرُ آلَى يُولِي إِيلَاءً، إِذَا حَلَفَ
Artinya: "Secara bahasa, ila' adalah bentuk mashdar dari ala – yuli – ila'an, yang artinya bersumpah." (Ibnu Qasim al-Ghazzi, Fathul Qarib al-Mujib fi Syarhi Alfadzit Taqrib, [Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. I, 1425 H/2005 M], hal. 246)
Dalam sejarahnya, ila' memiliki perubahan konsep hukum. Pada masa Jahiliyah, ila' merupakan salah satu bentuk talak. Pada masa Islam, konsep itu kemudian diatur ulang yaitu ila' hanya berlaku pada sumpah untuk tidak menggauli istri selama empat bulan. Sayyid Bakri Syatha menjelaskan:
وَكَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَغَيَّرَ الشَّرْعُ حُكْمَهُ، وَخَصَّهُ بِالْحَلْفِ عَلَى الْإِمْتِنَاعِ مِنْ وَطْءِ الزَّوْجَةِ مُطْلَقًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ
Artinya: "Pada masa Jahiliah, ila' dianggap merupakan bentuk talak. Namun syariat mengubah hukumnya, dan menjadikannya khusus bagi orang yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya secara mutlak atau lebih dari empat bulan." (Bakri Syatha ad-Dimyathi, Iʿanatuth thalibin ʿala hall Alfadzi Fathil Muʿin, [Beirut: Darul Fikr, cet. I, 1418 H/1997 M], juz IV, hal. 39)
Sebagaimana dijelaskan dalam sejarah ila' di atas, maka dapat dipahami bahwa meninggalkan hubungan seksual selama lebih dari empat bulan tanpa adanya sumpah tidak dikategorikan sebagai ila'. Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa jika seorang suami tidak menggauli istrinya tanpa disertai sumpah, maka tidak berlaku hukum ila’, meskipun masa tidak berhubungan tersebut melebihi empat bulan. Hal ini berlaku baik disebabkan oleh uzur maupun tanpa alasan yang jelas:
الِامْتِنَاعُ مِنَ الْوَطْءِ بِلا يَمِينٍ، لَا يُثْبِتُ حُكْمَ الْإِيلَاءِ، وَسَوَاءٌ كَانَ هُنَاكَ عُذْرٌ أَمْ لَا
Artinya: "Menjauhi hubungan suami istri tanpa sumpah tidak menetapkan hukum ila', baik ada uzur atau tidak." (an-Nawawi, Rawdlatut Thalibin wa ʿUmdatul Muftin, [Beirut: al-Maktab al-Islami, cet. III, 1412 H/1991 M], juz VIII, hal. 230)
Namun, penting dicatat bahwa dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat ulama. Mayoritas ulama (jumhur) berpendapat bahwa hukum ila’ tidak berlaku kecuali dengan adanya sumpah, sebagaimana telah dijelaskan. Akan tetapi, menurut mazhab Maliki, jika seorang suami meninggalkan hubungan intim dengan niat menyakiti atau merugikan istrinya, maka ia tetap dikenai hukum ila’ meskipun tidak bersumpah:
وَأَمَّا لُحُوقُ حُكْمِ الْإِيلَاءِ لِلزَّوْجِ إِذَا تَرَكَ الْوَطْءَ بِغَيْرِ يَمِينٍ: فَإِنَّ الْجُمْهُورَ عَلَى أَنَّهُ لَا يَلْزَمُهُ حُكْمُ الْإِيلَاءِ بِغَيْرِ يَمِينٍ. وَمَالِكٌ يُلْزِمُهُ، وَذَلِكَ إِذَا قَصَدَ الْإِضْرَارَ بِتَرْكِ الْوَطْءِ، وَإِنْ لَمْ يَحْلِفْ عَلَى ذَلِكَ
Artinya: "Adapun menjatuhkan hukum ila' kepada suami jika ia meninggalkan hubungan tanpa sumpah, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa hal itu tidak berlaku kecuali dengan sumpah. Namun Imam Malik tetap mewajibkannya apabila suami memang berniat menyakiti dengan menjauhi istrinya, walaupun tanpa sumpah." (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, [Kairo: Dar al-Hadits, 1425 H/2004 M], juz III, hal. 119)
Dalam kitab Minahul Jalil, salah satu rujukan dalam mazhab Maliki, dijelaskan secara tegas bahwa jika suami meninggalkan hubungan badan tanpa sumpah dan bermaksud menyakiti istrinya, maka tetap dikenakan ketentuan seperti ila', dan dapat dipaksa untuk menceraikan istrinya jika tidak segera kembali:
(أَوْ) إِنْ (تَرَكَ) الزَّوْجُ (الْوَطْءَ) بِلا يَمِينٍ عَلَى تَرْكِهِ (ضَرَرًا) بِزَوْجَتِهِ، فَيُتَلَوَّمُ لَهُ وَيُطَلَّقُ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ حَاضِرًا، بَلْ (وَإِنْ) كَانَ (غَائِبًا أَوْ سَرْمَدَ) أَيْ أَدَامَ الزَّوْجُ (الْعِبَادَةَ)
Artinya: "Atau (termasuk ila') jika suami meninggalkan hubungan suami istri tanpa sumpah sebagai bentuk tindakan yang menyakiti istrinya, maka ia diperingatkan dan dijatuhkan talak atasnya jika ia hadir (dalam persidangan), bahkan sekalipun ia sedang bepergian atau terus-menerus beribadah (hukum Ila' tetap berlaku)." (Muhammad ʿAlisy, Minahul Jalil Syarh Mukhtahar Khalil, [Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M], juz IV, hal. 204)
Pandangan ini menunjukkan bahwa aspek tujuan dalam meninggalkan hubungan seksual sangat diperhatikan dalam mazhab Maliki, bahkan dapat berdampak hukum meskipun tidak ada sumpah eksplisit. Selain itu, pandangan ini dapat menjadi solusi ketika seorang suami secara sengaja ingin menyakiti istrinya dengan tidak berhubungan selama berbulan-bulan.
Dalam konteks hukum yang berlaku di Indonesia, pada setiap akad nikah dan penyerahan buku nikah oleh pihak Kantor Urusan Agama, suami akan menandatangani sighat menggantungkan talak (ta'liq talak). Satu diantara beberapa poin yang menjadi ta'liq adalah "apabila saya membiarkan istri saya selama enam bulan atau lebih maka jatuh talak satu".
Frasa ini secara substansial termasuk meninggalkan hubungan badan selama lebih dari enam bulan tanpa alasan yang dibenarkan. Apabila pihak istri merasa dirugikan oleh sikap abai suami tersebut, maka istri boleh melaporkan ke pengadilan agama dan dapat diajatuhkan hukum talak satu berdasar keputusan hakim.
Dengan demikian, suami istri yang tidak berhubungan seksual dalam jangka waktu panjang, selama tidak diiringi sumpah dari suami untuk menjauhi istrinya, menurut mayoritas ulama tidak termasuk dalam kategori ila'. Hukum ila’ hanya berlaku jika ada sumpah untuk tidak menggauli istri lebih dari empat bulan. Namun, menurut mazhab Maliki, apabila seorang suami secara sengaja tidak menggauli istrinya untuk menyakitinya, maka ia tetap terkena hukum ila’, meskipun tanpa sumpah, bahkan dapat dipaksa untuk menceraikan jika tidak segera memperbaiki sikap.
Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.