Pemahaman Lintas Budaya, Modal Sosial Anak Muda untuk Merawat Indonesia
Rabu, 9 Juli 2025 | 15:20 WIB
Di tengah dunia yang makin terhubung namun juga semakin terfragmentasi, krisis global, polarisasi identitas, dan derasnya arus informasi menciptakan celah yang mengancam keberlangsungan hidup bersama dalam perbedaan. Dalam konteks inilah, cross-cultural readiness atau kesiapan lintas budaya menjadi salah satu jawaban strategis untuk membangun masyarakat yang inklusif dan tangguh.
Cross-cultural readiness bukan sekadar kemampuan untuk mengetahui budaya lain, tetapi kesiapan mental, emosional, dan perilaku untuk menghargai, menyesuaikan diri, dan bekerja sama dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia dan dalam lingkup global, kemampuan ini adalah syarat dasar untuk menghindari prasangka, konflik identitas, dan kegagalan komunikasi.
Dalam International Conference on Cohesive Societies (ICCS) yang diselenggarakan 24-26 Juni 2025 di Singapura, PP IPNU menekankan pentingnya cross-cultural readiness bagi generasi muda khususnya pemimpin-pemimpin muda global, bahwa kohesi sosial tidak mungkin tercapai tanpa kompetensi lintas budaya yang kuat.
Dalam sesi-sesi dialog dan eksplorasi komunitas, terlihat jelas bahwa empati lintas budaya, kemampuan mendengarkan, serta kesediaan untuk belajar dari orang lain adalah modal dasar untuk hidup bersama secara damai. Cross-cultural readiness memiliki beberapa komponen, yaitu:
Pertama, cultural awareness atau kesadaran budaya, komponen ini menekankan untuk menyadari bahwa norma, nilai, dan perilaku berbeda-beda antar budaya.
Kedua, cultural knowledge atau pengetahuan budaya, berfungsi untuk mengetahui dasar-dasar budaya lain seperti bahasa, adat istiadat, sistem nilai, dan gaya komunikasi.
Ketiga, cultural sensitivity atau kepekaan budaya, yaitu mampu menunjukkan rasa hormat dan empati terhadap perbedaan budaya.
Keempat, adaptability atau kemampuan beradaptasi, dibutuhkan untuk menyesuaikan perilaku dan komunikasi sesuai konteks budaya orang lain.
Kelima, interpersonal skills atau keterampilan interpersonal, komponen yang mampu membangun hubungan dan bekerja sama dengan individu dari latar belakang budaya yang berbeda.
Cross-cultural readiness juga menjadi fondasi dari pendidikan karakter dan kewargaan global. Di era disrupsi dan ketidakpastian ini, generasi muda perlu dibekali tidak hanya dengan kecakapan teknis, tapi juga dengan etika lintas budaya, yaitu sebuah kombinasi antara rasa hormat, ketangguhan sosial, dan kepekaan terhadap keragaman.
Masyarakat yang kohesif tidak dibangun hanya dengan slogan keberagaman, tetapi melalui latihan konkret dalam memahami perbedaan, menghadapi ketegangan, dan menciptakan ruang aman untuk dialog. Cross-cultural readiness memberi kita alat untuk itu, bukan untuk menyamakan segala hal, tetapi untuk menemukan titik temu dalam perbedaan.
Sudah saatnya kita tidak hanya merayakan keberagaman sebagai kekayaan budaya, tapi juga mengembangkan kapasitas lintas budaya sebagai keterampilan dasar kekinian. Bukan hanya untuk berinteraksi, tapi untuk bertahan hidup bersama, membangun masa depan yang damai, adil, dan saling menopang satu sama lain.
Muh Agil Nuruz Zaman, Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) & delegasi IPNU untuk ICCS 2025