Nikah/Keluarga

Apakah Ila’ Sama dengan Silent Treatment dalam Rumah Tangga?

NU Online  ·  Rabu, 9 Juli 2025 | 20:00 WIB

Apakah Ila’ Sama dengan Silent Treatment dalam Rumah Tangga?

Ilustrasi Silent Treatment. (Foto: NU Online/Freepik)

Fenomena kekerasan emosional dalam rumah tangga berupa tindakan suami yang mendiamkan istrinya atau yang populer disebut silent treatment kerap terjadi di masyarakat Indonesia. Praktik yang marak terjadi ialah banyaknya keluhan para istri dalam forum-forum keluarga di media sosial, yang mengaku tersiksa secara mental karena diabaikan pasangannya dalam waktu lama setelah pertengkaran kecil.

 

Meski tampak sederhana, tindakan ini nyatanya mampu memicu dampak buruk terhadap kondisi psikologis istri, bahkan mengarah kepada perceraian. Menariknya, dalam khazanah fiqih, ada sebuah istilah bernama ila’, yakni sumpah seorang suami untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan lebih, yang secara substantif menyerupai fenomena silent treatment di era modern ini.

 

Pertanyaan pun muncul, apakah praktik suami yang mendiamkan istri tanpa komunikasi bisa dikategorikan sebagai ila’ dalam konteks Islam? Atau praktik ini sekadar fenomena kekerasan emosional yang perlu pendekatan berbeda dalam penyelesaiannya?

 

Ila’ merupakan terminologi atas sikap suami yang bersumpah tidak berhubungan seksual dengan istrinya sama sekali atau selama 4 bulan lebih. Apabila sudah sampai empat bulan masa pengabaian tersebut, maka istri boleh menggugat kepada hakim agar memerintahkan suaminya untuk memilih membatalkan sumpahnya dan menggauli istrinya, menceraikannya, atau diceraikan oleh hakim jika enggan memberikan keputusan. (Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Qaulul Mukhtar fi Syarh Ghayatil Ikhtishar, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2005], hal. 246-247)

 

Al-Qur’an sendiri sudah menyinggung terkait ila’ dan konsekuensi hukumnya dalam surat Al-Baqarah ayat 226 dan 227, sebagaimana berikut:

 

لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ، وَاِنْ عَزَمُوا الطَّلَاقَ فَاِنَّ اللّٰهَ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya: “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Jika mereka berketetapan hati untuk bercerai, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

 

Ila’ merupakan salah satu model perceraian masyarakat Arab Jahiliyah. Kamaluddin Ad-Damiri mengutip ucapan As-Syafi’i sebagaimana berikut:

 

وقال الشافعي: سمعت ممن أرضى من أهل العلم أن أهل الجاهلية كانوا يطلقون بالظهار والإيلاء والطلاق، فأقر الله تعالى الطلاق طلاقًا، وحكم في الإيلاء والظهار بحكمهما

 

Artinya: “Imam Syafi’i berkata: aku mendengar dari seorang ilmuan yang aku ridhai bahwa masyarakat Jahiliyah menceraikan istrinya dengan dzihar, ila’, dan thalaq. Kemudian Allah menetapkan thalak sebagai perceraian, sedangkan ila’ dan dzihar dengan hukumnya tersendiri." (Abul Baqa’ Muhammad Ad-Damiri, Najmul Wahhajfi Syarhil Minhaj, [Jeddah: Darul Minhaj, 2004], vol. 8, hal. 25)

 

Ila’ juga menjadi salah satu bentuk kekerasan non-verbal dalam rumah tangga masyarakat Jahiliyah, mereka menyiksa istrinya dengan dibiarkan dan diabaikan tanpa kejelasan status. Prof. Wahbah Az-Zuhaili mengutip Said bin Musayyib sebagai berikut:

 

وقال سعيد بن المسيب: كان الإيلاء ضرار أهل الجاهلية، كان الرجل لا يريد المرأة ولا يحبّ أن يتزوجها غيره، فيحلف أن لا يقربها أبدا، وكان يتركها كذلك، لا أيّما ولا ذات بعل، فجعل الله تعالى الأجل الذي يعلم به ما عند الرجل في المرأة أربعة أشهر

 

Artinya: "Sa’id bin Musayuib berkata “Ila’ merupakan tindak kekerasan masyarakat Jahiliyah. Seorang suami sudah tidak menyukai istrinya, sedangkan dia tidak ingin istrinya dinikahi oleh pria lain. Kemudian dia bersumpah untuk tidak mendekatinya selamanya, dan mengabaikannya, bukan sebagai janda atau suami orang. Kemudian Allah ta’ala menentukan masa tenggat empat bulan yang bisa mengidentifikasi apa yang dilakukan suami kepada istrinya." (Wahbah bin Mustafa Az-Zuhaili, Tafsir Al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Beirut: Darul Fikr, 1991], vol. 2, hal. 312)

 

Islam datang mengatur masa tenggat ila’ yang awalnya tidak bertenggat menjadi maksimal 4 bulan, dan juga merubah konteks Ila’ yang asalnya sebagai model perceraian dengan menyiksa istri tanpa kejelasan status pernikahan, menjadi tindak pengabaian tanpa hubungan seksual yang bisa diperbaiki kembali atau berujung perceraian.

 

Mayoritas masyarakat Indonesia belum mengenal terminologi Ila’ dalam pernikahan mereka, satu sisi bukan merupakan budaya dalam pernikahan masyarakat Nusantara, juga di sisi lain tidak begitu dipelajari secara luas oleh masyarakat muslim negeri ini, kecuali hanya sebagian kecil seperti kaum santri.

 

Fenomena yang hampir mirip dengan praktek ila’ dalam budaya hubungan pernikahan masyarakat Indonesia adalah silent treatment, yakni sikap seorang suami yang mendiamkan dan mengabaikan istrinya atas respons terhadap konflik yang sedang mereka alami.

 

Silent treatment, sesuai dengan namanya, adalah bentuk pemutusan komunikasi antara dua orang yang saling bertengkar satu sama lain. Pada mulanya tindakan ini ditujukan untuk meredakan konflik antar keduanya, akan tetapi banyak yang menilai bahwa hal ini justru akan semakin memperkeruh masalah, sebab tidak adanya komunikasi untuk menyelesaikan konflik yang semakin berlarut terjadi antar keduanya.

 

Silent treatment akan sangat berbahaya jika dilakukan oleh sepasang suami-istri, sebab tidak adanya komunikasi dalam rumah tangga dalam waktu yang panjang akan mengancam stabilitas keutuhan rumah tangga tersebut, dan komunikasi dalam rumah tangga adalah salah satu penentu dan kunci keberlangsungan rumah tangga dari badai perceraian.

 

Namun, silent treatment tidak bisa disamakan dengan praktik Ila’ dalam fiqih Islam, sebab ila’ sendiri mempunyai syarat dan ketentuan tersendiri seperti harus dengan sumpah, isi sumpahnya tidak melakukan hubungan seksual, dan berjangka waktu lebih dari 4 bulan, dan tentunya harus ada shighat, sebagaimana talak, dan dzihar.

 

Meskipun demikian, ila’ bisa disebut sebagai salah satu bentuk silent treatment secara substantif. Dalam ila’, suami mengabaikan istrinya untuk tidak disentuh dalam tenggat waktu lebih dari 4 bulan, meskipun terkadang masih ada komunikasi verbal dalam kesehariannya, seperti halnya pasangan suami istri yang berkonflik yang hanya berkomunikasi ketika membutuhkan.

 

Ila’ dinilai sangat menyakitkan bagi istri karena pada dasarnya tujuan dari ila’ sendiri adalah untuk menyakiti istri secara non-verbal, atau secara emosional dengan tidak sama sekali menyentuhnya dan dikukuhkan dalam sumpah serapah.

 

Fakta substantif ini sama halnya dengan praktik silent treatment yang bertujuan untuk memanipulasi istri agar terus merasa bersalah sebab sikap abai suaminya, dan hal itu merupakan bentuk kekerasan emosional dalam rumah tangga, tanpa adanya niatan untuk menyelesaikan konflik dengan memaafkan atau saling meminta maaf. Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Muh Fiqih Shofiyul Am, Tim LBM MWCNU Tanggulangin  dan Tim Aswaja Center PCNU Sidoarjo.