Khalifah Umar bin Khattab dan Pasang Surut Kebebasan Lintas Agama di Palestina
Ahad, 4 Mei 2025 | 10:00 WIB
Yerusalem kembali berduka. Pada Sabtu Suci, 19 April 2025, jemaat Kristen Palestina yang ingin beribadah di Gereja Makam Suci dihalangi. Tempat ini dianggap suci karena diyakini sebagai lokasi penyaliban, penguburan, dan kebangkitan Yesus. Namun, malam itu, kawasan gereja dijaga ketat. Aparat memblokir gang-gang di Kota Tua Yerusalem dan mendirikan pos pemeriksaan. Beberapa tokoh gereja ditahan, termasuk Uskup Agung Adolfo Tito Yllana, perwakilan Vatikan untuk Palestina.
Video yang beredar di media sosial menunjukkan jemaat mendapat tindakan kekerasan saat mencoba masuk ke gereja. Dua tahun terakhir, perayaan Paskah selalu dibatasi. Gereja hanya bisa mengadakan doa dan liturgi, tanpa prosesi atau parade.
Gereja Makam Suci yang kini dijaga ketat, dulu pernah menjadi simbol perlindungan lintas iman. Ketika Yerusalem jatuh ke tangan pasukan Islam pada tahun 637 M, Umar bin Khattab datang sebagai pemimpin yang menjunjung keadilan, bukan penakluk. Ia menerima penyerahan kota secara damai dari Patriark Sophronius dan mengeluarkan Al-‘Uhdah al-‘Umariyyah. Piagam ini menjamin keselamatan umat Kristen serta perlindungan atas gereja, dan kebebasan beragama mereka.
Kini, Yerusalem menyimpan ironi. Kota yang dulu dijaga dengan keadilan, kini dipenuhi kekerasan dan ketakutan. Gereja yang dulu dilindungi, kini dijaga oleh aparat bersenjata. Ke mana semangat perlindungan lintas iman yang pernah ditanamkan Umar bin Khattab? Masihkah Yerusalem layak disebut kota suci jika rasa aman telah sirna?
Yerusalem yang Retak: Kota Suci Tanpa Rasa Aman
Kesucian Yerusalem tidak hanya diukur dari sejarah dan situs suci. Ukuran kesucian yang sejati terletak pada bagaimana kota ini memperlakukan manusia-manusianya. Seperti ditegaskan Karen Armstrong, “Sebuah kota tidak bisa disebut suci jika tidak adil dan penuh belas kasih terhadap mereka yang lemah dan rentan... Beberapa kekejaman terburuk justru terjadi ketika orang menempatkan kesucian Yerusalem... di atas pencarian akan keadilan dan kasih.” Ketika klaim dan kekuasaan lebih diutamakan daripada kasih dan keadilan, Yerusalem kehilangan makna sucinya. (Karen Armstrong, Jerusalem: One City, Three Faiths, [New York, Alfred A. Knopf, 1996], hlm. xxi).
Peningkatan tindakan merugikan umat Kristen di Yerusalem terus terjadi. Laporan Rossing Center tahun 2023 mencatat 7 kasus pelecehan verbal, 4 gangguan selama liturgi, 7 kasus serangan fisik dan sekitar 30 insiden meludah (spitting). Selain itu, tercatat ada 1 penodaan pemakaman dan 32 serangan terhadap properti gereja, serta 2 kasus serangan terhadap properti pribadi umat Kristiani. Tindakan penghinaan simbolik, sering kali, dilakukan di depan aparat tanpa konsekuensi hukum. Pelecehan verbal, pembatasan akses ke tempat ibadah, serta gangguan terhadap liturgi menjadi pola yang terus berulang.
Situasi memburuk pada tahun 2024. Rossing Center melaporkan 46 serangan fisik, yang meliputi tindakan seperti meludah, menyemprotkan merica, hingga pemukulan, serta 35 kasus serangan terhadap properti gereja, seperti grafiti, penyusupan, perusakan patung, pelemparan batu dan sampah, hingga pembakaran. Selain itu, terdapat 14 kasus perusakan tanda publik dan 13 insiden pelecehan, mencakup pelecehan verbal, gangguan serta protes selama pertemuan.
Komunitas Kristiani di Yerusalem menghadapi kekerasan karena beberapa faktor. Mereka merupakan minoritas, sekitar 180.300, hanya 1.8% dari populasi, 10.027 penduduk, berdasarkan data pada 31 Desember 31 2024. Undang-undang baru tahun 2018 memperkuat ketimpangan perlakuan antarwarga berdasarkan agama. Konflik regional sejak Oktober 2023 memperburuk ketegangan antarkelompok.
Kemerosotan sektor pariwisata ziarah memperburuk ekonomi komunitas mereka. Pajak kota terhadap properti keagamaan non-ibadah menambah beban finansial mereka. Tingginya kriminalitas di sekitar permukiman mereka menciptakan rasa tidak aman. Faktor-faktor ini menciptakan lingkungan di mana serangan fisik, pelecehan, dan vandalisme semakin meningkat.
Khalifah Umar di Yerusalem: Bukan Penaklukan, Tapi Perlindungan
Pada tahun 637 M, kota Yerusalem dikenal dengan nama Aelia Capitolina. Saat itu, kota tersebut berada dalam situasi tegang. Kekaisaran Bizantium baru saja mengalami serangkaian kekalahan di wilayah Syam. Setelah pengepungan oleh pasukan Islam yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin al-Jarrah (583-639 M), kota suci itu akhirnya menyatakan kesiapan untuk menyerah. namun dengan satu syarat: kota hanya akan diserahkan secara damai jika Umar bin Khattab (584-644 M) datang langsung.
Permintaan ini disampaikan oleh Patriark Sophronius (560-638 M), pemimpin tertinggi Gereja Ortodoks di Yerusalem. Umar menyanggupi syarat itu dan melakukan perjalanan dari Madinah ke Palestina. Ia tiba dengan pakaian berbahan wol yang penuh tambalan, hanya ditemani seorang pelayan, dan menunggangi unta secara bergantian. Ketika memasuki Yerusalem, giliran sang pelayan yang naik unta sementara Umar berjalan kaki memegang tali kendali.
Setelah pertemuan dengan Sophronius, Umar mendeklarasikan sebuah piagam damai. Piagam tersebut dikenal dengan beberapa nama: Al-‘Uhdah Al-‘Umariyah, Asy-Syuruth al-‘Umariyyah, The Covenant of Umar dan The Pattch of ‘Umar. Umar menyatakan jaminan keamanan bagi umat Kristen di Yerusalem. Berikut kutipan naskah piagam dalam karya Ath-Thabari dalam Tarikhur Rusul wal Muluk, yang dikenal dengan Tarikhuth Thabari:
بسم الله الرحمن الرحيم. هذا ما أعطى عبد الله، عمر، أمير المؤمنين، أهل إيلياء من الأمان. أعطاهم أماناً لأنفسهم وأموالهم، ولكنائسهم وصلبانهم، وسقيمها وبريئها وسائر ملتها. أنه لا تسكن كنائسهم ولا تهدم، ولا ينقص منها ولا من حيِّزها، ولا من صليبهم، ولا من شيء من أموالهم، ولا يُكرهون على دينهم، ولا يضارّ أحد منهم، ولا يسكن بإيلياء معهم أحد من اليهود
Artinya, "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Ini adalah pernyataan jaminan perlindungan yang diberikan oleh Umar bin Khattab, pemimpin kaum Muslimin, kepada penduduk Aelia (Yerusalem). Ia menjamin keselamatan mereka, baik jiwa, harta, maupun tempat ibadah mereka. Gereja-gereja dan salib-salib mereka tetap dilindungi, baik yang digunakan maupun yang tidak, termasuk seluruh komunitas agama mereka, tanpa terkecuali. Gereja-gereja mereka tidak akan dijadikan tempat tinggal, tidak akan dirusak, dan tidak akan dikurangi bangunannya maupun wilayah sekitarnya. Tidak ada pemaksaan dalam keyakinan; mereka bebas menjalankan agama mereka, dan tidak akan disakiti atau dirugikan sedikit pun. Selain itu, orang-orang Yahudi tidak diperkenankan tinggal bersama mereka di dalam kota Aelia."
Isi piagam ini menunjukkan bahwa Umar memahami Yerusalem bukan hanya sebagai tanah suci, tetapi juga rumah bagi komunitas yang telah lama tinggal dan beribadah di sana. Ia memilih untuk menjaga, bukan menguasai. Ia melindungi, bukan menghapus perbedaan.
Piagam Umar tidak berhenti pada perlindungan tempat ibadah dan kebebasan beragama. Ia juga memberikan jaminan mobilitas dan hak untuk memilih bagi penduduk Kristen Yerusalem.
وعلى أهل إيلياء أن يعطوا الجزية كما يعطي أهل المدائن، وعليهم أن يخرجوا منها الروم واللصوت، فمن خرج منهم فإنه آمن على نفسه وماله حتى يبلغوا مأمنهم، ومن أقام منهم فهو آمن، وعليه مثل ما على أهل إيلياء من الجزية
Artinya, "Penduduk Aelia berkewajiban membayar jizyah sebagaimana dibayarkan oleh penduduk kota-kota lainnya. Mereka juga harus mengeluarkan orang-orang Romawi dan para perusuh dari kota itu. Siapa pun dari mereka yang pergi, maka dijamin keselamatannya, baik jiwa maupun hartanya, sampai ia tiba di tempat yang aman. Dan siapa pun yang memilih tetap tinggal, maka ia pun berada dalam perlindungan yang sama, dengan kewajiban membayar jizyah sebagaimana penduduk Aelia lainnya."
Jizyah dalam konteks piagam ini merupakan kontrak sosial. Mereka dibebaskan dari kewajiban militer, dan negara berkewajiban melindungi mereka sebagai warga yang sah. Umar tidak hanya menjamin keselamatan fisik mereka, tetapi juga hak untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Piagam itu bahkan memuat perlindungan bagi mereka yang ingin pergi meninggalkan kota:
ومن أحب من أهل إيلياء أن يسير بنفسه وماله مع الروم ويخلي بِيَعهم وصلبهم فإنهم آمنون على أنفسهم وعلى بيعهم وصلبهم، حتى يبلغوا مأمنهم، ومن كان بها من أهل الأرض قبل مقتل فلان، فمن شاء منهم قعدوا عليه مثل ما على أهل إيلياء من الجزية، ومن شاء سار مع الروم، ومن شاء رجع إلى أهله فإنه لا يؤخذ منهم شيء حتى يحصد حصادهم
Artnya, "Siapa pun dari penduduk Aelia yang ingin pergi bersama bangsa Romawi, membawa serta diri dan hartanya, serta meninggalkan gereja-gereja dan salib-salib mereka, maka mereka berada dalam perlindungan. Jiwa mereka, tempat ibadah mereka, dan salib-salib mereka dijamin aman hingga mereka tiba di tempat tujuan yang aman. Adapun siapa pun yang sudah menetap di sana sebelum terbunuhnya si Fulan, maka mereka bebas memilih: siapa yang ingin tetap tinggal, dikenakan kewajiban jizyah sebagaimana penduduk Aelia lainnya; siapa yang ingin pergi bersama Romawi, boleh pergi; dan siapa yang ingin kembali kepada keluarganya, juga diperbolehkan. Tidak ada satu pun dari mereka yang akan diambil hartanya, hingga musim panen mereka selesai."
Piagam itu diakhiri dengan komitmen. Umar meletakkan perjanjian ini bukan hanya atas nama dirinya, tetapi atas nama agama, kepemimpinan, dan umat Islam. Sebuah tanggung jawab moral dan spiritual:
وعلى ما في هذا الكتاب عهد اللَّه وذمة رسوله وذمة الخلفاء وذمة المؤمنين إذا أعطوا الذي عليهم من الجزية شهد على ذلك خالد بْن الوليد، وعمرو بْن العاص، وعبد الرحمن بْن عوف، ومعاوية بْن أبي سفيان وكتب وحضر سنة خمس عشرة
Segala isi dari perjanjian ini berada dalam lindungan janji Allah, jaminan Rasul-Nya, jaminan para khalifah, dan jaminan seluruh kaum Muslimin, selama mereka (penduduk Aelia) menunaikan kewajiban mereka dalam membayar jizyah. Kesaksian atas perjanjian ini diberikan oleh Khalid bin Walid, ʿAmr bin al-ʿAsh, ʿAbdurrahman bin ʿAuf, dan Muʿawiyah bin Abi Sufyan. Dokumen ini ditulis dan disahkan pada tahun kelima belas Hijriah. (Ath-Thabari, Tarikhuth Thabari, [Mesir, Darul Ma’arif, 1962), jilid III, hlm. 609).
Salah satu momen paling berkesan dari kehadiran Umar bin Khattab di Yerusalem terjadi di Gereja Makam Suci. Sebagai bentuk penghormatan dan keramahan, Uskup Sophronius mengundangnya untuk melaksanakan salat di dalam gereja. Umar bisa saja menerimanya tanpa ada yang mempertanyakan.
Namun, ia memilih untuk menolak tawaran itu dengan alasan kekhawatiran jika ia salat di dalam, umat Islam di masa depan akan menjadikan tindakannya sebagai legitimasi untuk mengubah gereja itu menjadi masjid. Sebagai gantinya, Umar berjalan keluar dari gereja dan salat di pelataran terbuka di sebelah bangunan itu.
Dahulu Umar Pernah Menjaganya, Hari Ini Siapa?
Hampir 14 abad yang lalu, Umar telah meletakkan pondasi bagi toleransi antar umat beragama. Piagam ini juga menjadi pijakan banyak Ulama dalam merumuskan hukum relasi muslim dan non-muslim (dhimmi). Antonia Bosanquet menjelaskan bagaimana beberapa Ulama seperti Al-Mawardi mengatur muslim dan non-muslim hidup berdampingan denga naman, tanpa kekerasan. (Antonia Bosanquet, Minding Their Place: Space and Religious Hierarchy in Ibn al-Qayyim’s Aḥkâm ahl al-dhimma, [Leiden; Boston, Brill, 2020), hlm. 83-85).
Al-Mawardi, dalam al-Ahkamus Sulthaniyyah, menjelaskan bagaimana Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan. Mereka boleh menjalankan ibadah di gereja, tidak menghina Nabi, dan memakai pakaian yang menjadi identitas komunitasnya.
Dalam konteks sekarang, piagam Umar merupakan bagian dari model kebebasan beragama dan berkeyakinan. Ada dua hal yang bisa dijadikan pedoman: visi beragama, dan prinsip berinteraksi lintas iman.
Pertama, visi beragama. Umar memiliki visi berislam yang merahmati. Ketika ia berhasil melakukan perluasan ke Yerussalem, tujuan utamanya bukan untuk penundukan, tetapi perlindungan. Perlindungan bagi setiap umat beragama untuk beribadah dengan aman dan tenang. Perbedaan keyakinan tidak menjadi sekat sosial.
Di era demokrasi, setiap umat beragama punya hak yang sama dalam beribadah dan mengekspresikan beragama. Negara punya tanggung jawab menjaga keamanan, tanpa diskriminasi terhadap minoritas. Peradaban akan bermartabat ketika masing-masing sudah mampu menerima perbedaan dengan disertai rasa kasih sayang.
Kedua, prinsip berinteraksi lintas iman dilandasi atas kesepahaman, bukan kecurigaan dan kebencian. Masing-masing agama mengajarkan kasih-sayang, menghormati, dan menerima yang lain. Tafsir ayat yang bernuansa kebencian dan kecurigaan perlu untuk ditafsirkan ulang sesuai dengan visi Islam yang rahmatan lil alamin. Interaksi dengan non-Muslim menjadi cerminan tingkat keimanan.
Namun, prinsip itu tampaknya semakin tergerus dalam kenyataan hari ini. Gereja yang dahulu dijamin keamanannya kini dibatasi aksesnya. Umat yang dulunya bebas beribadah justru dihalangi atau diintimidasi. Ini bukan hanya persoalan pelanggaran kebebasan beragama, tetapi juga pengingkaran terhadap prinsip keadilan yang dahulu menjadi fondasi relasi antarumat di Yerusalem. Jika dulu Umar menjaga Yerusalem dengan keadilan, pertanyaannya kini: siapa yang menjaga hari ini?
Mishbah Khoiruddin Zuhri, Alumni Kelas Menulis Keislaman NU Online 2025 dan Mahasiswa Fakultas Studi Islam, Universitas Islam Internasional Indonesia