Al-Qasim lahir di Makkah sebelum ayahnya diutus menjadi seorang Rasul. Ia merupakan putra pertama Nabi Muhammad. Oleh karenanya, Nabi dijuluki Abul Qasim (ayahnya Qasim). Namun kebersamaan Nabi Muhammad dengan Al-Qasim tidak berlangsung lama. Ketika usia Al-Qasim dua tahun, Allah memanggilnya pulang.
Wafatnya Al-Qasim dan Abdullah meninggalkan luka yang mendalam di hati Nabi Muhammad dan Sayyidah Khadijah. Tidak ada yang bisa menghapus kesedihan Nabi kecuali wahyu yang turun kepadanya sehingga dia sibuk menjalankan tugasnya sebagai seorang Rasulullah. Tidak ada informasi detail mengenai kehidupan Nabi Muhammad dengan dua anaknya tersebut.
Beberapa saat setelahnya, Nabi Muhammad mengarungi bahtera rumah tangga bersama dengan Mariyah Al-Qibtiyyah. Dari situ, kemudian lahirlah Sayyidina Ibrahim pada 8 Hijriyah di Madinah. Kelahiran Ibrahim membawa angin kebahagiaan dan harapan besar bagi Nabi Muhammad. Beliau berharap, kelak Ibrahim akan tumbuh dewasa dan menjadi putra kebanggaannya.
Sebagaimana tradisi Arab pada saat itu, Nabi Muhammad kemudian mencari ibu susuan untuk anaknya itu. Merujuk Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018), Nabi akhirnya memilih Khualah binti Mundzir bin Zaid dari Najjar, istri Barra’ bin Aus dan ibu Bardah, untuk menyusui Ibrahim. Sebelumnya, wanita-wanita Anshar saling bersaing untuk menjadi pilihan Nabi untuk menyusui Ibrahim.
Maka sejak itu, Nabi Muhammad dan Ibrahim tinggal terpisah. Nabi Muhammad di samping Masjid Nabawi, di tengah-tengah Kota Madinah, sementara Ibrahim bersama ibu susuannya di dataran tinggi Madinah. Namun setiap hari Nabi mengunjungi putranya itu. Beliau singgah beberapa saat di rumah Khaulah, mengajak Ibrahim bercanda dan berbicara lembut.
Pada suatu ketika, Nabi Muhammad mengajak Ibrahim turun ke Kota Madinah. Beliau memperlihatkan anak laki-lakinya itu kepada para istri dan sahabatnya. Selama satu setengah tahun, Ibrahim tumbuh sehat dan kuat. Namun sama seperti Al-Qasim dan Abdullah, Ibrahim wafat selagi usianya masih kecil, tahun ke-10 Hijriyah. Padahal, tidak ada tanda-tanda kalau si buah hati akan pergi secepat itu.
Air mata Nabi tumpah di pipinya. Tidak kuasa menahan sedih setelah yang dikasihinya pergi meninggalkannya. Perasaan Nabi sebagai seorang ayah terguncang karena kematian anaknya. Hal ini membuat Sahabat Abdurrahman bin Auf bertanya-tanya mengenai tangisan Nabi. Dia khawatir, duka yang mendalam akan terus mengguncang hati Nabi. Oleh sebab itu, dia terus menghibur Nabi.
“Mata boleh berlinang, tetapi hati tetap khusu'. Memang kami bersedih atas dirimu, Ibrahim, tetapi kami tidak mengucapkan kata-kata selain yang diridhai,” kata Nabi kepada Abdurrahman bin Auf.
“Bukan rasa berkabung yang aku larang, tetapi menangis dan meraung-raung,” tambahnya.
Memang Nabi menghampiri jenazah Ibrahim sambil menangis. Bahkan, Nabi melarang sahabatnya untuk mengafani Ibrahim sehingga Nabi melihat jenazahnya. Nabi kemudian memakamkannya di Baqi dengan hati yang hancur. Beliau meratakan tanah, memercikkan air, dan memberi tanda kuburan Ibrahim. Kata Nabi, tanda kuburan memang tidak memberi manfaat atau pun mudarat, namun ia cukup menghibur orang yang masih hidup.
“Sesungguhnya, matahari dan bulan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, shalat dan berdoalah kepada Allah,” jelas Nabi dalam Shahih Bukhari.