Syariah

Bisakah Bukti Forensik Modern Gantikan Sumpah dan Saksi dalam Hukum Islam?

Kamis, 21 Agustus 2025 | 17:00 WIB

Bisakah Bukti Forensik Modern Gantikan Sumpah dan Saksi dalam Hukum Islam?

Bukti forensik modern dalam hukum Islam (freepik)

Sejak masa Rasulullah hingga era ulama klasik, mekanisme pembuktian hukum dalam Islam memiliki fondasi yang kuat. Saat itu, sumpah (yamin atau qasamah) dan kesaksian (syahadah) sebagai pilar utama pembuktian. Keduanya berfungsi menetapkan kebenaran suatu perkara ketika bukti fisik atau petunjuk lainnya sulit ditemukan. Sumpah digunakan untuk menguatkan klaim atau menolak tuduhan, sementara kesaksian menjadi sarana menghadirkan fakta melalui pengamatan langsung para saksi yang adil.
 

Namun tidak bisa dipungkiri, perkembangan sains dan teknologi, terutama dalam bidang forensik modern seperti tes DNA dan analisis bukti fisik, telah membawa revolusi dalam sistem peradilan kontemporer. Metode ini dianggap lebih akurat dan objektif dibandingkan kesaksian manusia yang rentan bias, lupa, atau bahkan manipulasi.
 

Perubahan paradigma ini memunculkan pertanyaan, “apakah metodologi forensik modern bisa menjadi pengganti sumpah dan saksi?”
 

Karena di satu sisi, forensik modern menawarkan kepastian statistik dan presisi laboratorium yang sulit dibantah. Sementara di sisi lain, hukum Islam memiliki akar historis dan epistemologi tersendiri dalam menentukan kebenaran, di mana validitas bukti tidak hanya diukur dari akurasi teknis, tetapi juga dari kesesuaiannya dengan prinsip syariat.
 

Nah, tulisan ini akan membahas sejauh mana metodologi forensik modern dapat berdialog dengan konsep pembuktian dalam hukum Islam. Apakah ia bisa berdiri sejajar dan menjadi alternatif pengganti, atau justru harus diposisikan sebagai pelengkap atau pendukung saja.
 

Namun sebelum membahasnya lebih luas dan mendalam, penting kiranya penulis jelaskan status metodologi forensik modern perspektif fiqih, dengannya kita akan memiliki pemahaman yang utuh dalam memahami persoalan ini.
 

Status Metodologi Forensik Modern dalam Fiqih Islam

Dalam literatur kitab-kitab fiqih, metodologi forensik modern seperti DNA, analisis sidik jari, atau pemeriksaan patologi, dan analisis ilmiah lainnya dapat diposisikan sebagai qarain (indikator-indikator) atau amarat (tanda-tanda), karena sifatnya yang memberikan petunjuk objektif dan terukur untuk mengungkap fakta.
 

Syekh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan:
 

اَلْقَرِيْنَةُ لُغَةً هِيَ الْعَلاَّمَةُ الدَّالَةُ عَلىَ شَيْءٍ مَطْلُوْبٍ. وَاصْطِلاَحًا: هِيَ كُلُّ أَمَارَةٍ ظَاهِرَةٍ تُقَارِنُ شَيْئًا خَفِيًّا فَتَدُلُّ عَلَيْهِ
 

Artinya, “Qarinah (indikator) secara bahasa adalah tanda yang menunjukkan kepada sesuatu yang dicari atau diinginkan. Sedangkan secara istilah, qarinah adalah setiap petunjuk yang tampak (nyata) serta menyertai suatu hal yang tersembunyi, kemudian menunjukkan kepadanya.” (Al-Fiqhul Islami, [Damaskus: Darul Fikr, t.t], jilid VIII, halaman 257).
 

Dari definisi tersebut jelas bahwa qarinah harus memiliki dua unsur pokok. Pertama, adanya sesuatu yang nyata dan dapat dilihat, sehingga layak dijadikan titik tolak penilaian. Kedua, adanya hubungan yang logis dan meyakinkan antara hal yang tampak (dhahir) dengan hal yang tersembunyi (khafi) yang ingin dibuktikan. Semakin kuat hubungan ini, semakin tinggi pula kekuatan qarinah.
 

Tidak hanya itu, qarain juga memiliki peran penting, bahkan dianggap sebagai salah satu prinsip pokok dalam menetapkan hukum. Ia dapat berfungsi dalam berbagai tingkatan, seperti mencegah diterimanya suatu gugatan yang lemah, menolak kesaksian atau pengakuan ketika terdapat indikasi kuat adanya kecurigaan, menguatkan salah satu pihak ketika terjadi pertentangan bukti, hingga berdiri sendiri sebagai satu-satunya alat bukti ketika tidak ada bukti lain yang tersedia.
 

وَقَدْ تُعْتَبَرُ الْقَرِيْنَةُ دَلِيْلاً وَحِيْداً مُسْتَقِلاًّ إِذَا لَمْ يُوْجَدْ دَلِيْلٌ سِوَاهَا
 

Artinya, “Dan qarinah terkadang dapat dianggap sebagai satu-satunya dalil yang berdiri sendiri apabila tidak ada dalil lain selainnya.” (Az-Zuhaili, VIII/258).
 

Dengan demikian, metodologi forensik modern dapat ditempatkan sebagai bentuk qarinah yang kuat (qarinah qawiyyah), karena ia memenuhi kedua unsur di atas, yaitu adanya data atau fakta nyata dan terukur (seperti hasil uji DNA, sidik jari, atau rekaman ilmiah lainnya), serta adanya keterkaitan logis dan dapat diverifikasi antara data tersebut dengan peristiwa yang sedang dibuktikan.
 

Hukum Berpedoman pada Metodologi Forensik

Lantas bagaimana hukum menggunakan metodologi forensik modern sebagai alat bukti dalam perspektif hukum Islam?
 

Berkaitan dengan hal ini, Syekh Husain bin Ibrahim Al-Maghribi Al-Mishri Al-Azhari pernah ditanya perihal status hukum orang yang dituduh melakukan tindak pidana seperti pembunuhan, pencurian, atau penganiayaan, namun tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan dengan metode pembuktian syariat yang baku dalam kitab-kitab fiqih. Berikut teks dari pertanyaannya:
 

“Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang dituduh melakukan pembunuhan, pencurian, atau pemukulan, namun tidak terbukti sedikit pun dari tuduhan tersebut menurut metode pembuktian syariat, tetapi ditemukan berbagai qarain (indikator) dan kondisi-kondisi dugaan (zhanniyyah) yang menimbulkan kecurigaan terhadapnya.
 

Apakah dalam keadaan seperti ini hakim boleh menjatuhkan hukuman ta’zir kepadanya sesuai pertimbangan, baik berupa penahanan atau hukuman cambuk, sebagai tindakan pencegahan dan penjeraan, ataukah tidak? Mohon fatwa yang berpijak pada sumber-sumber mazhab, dan semoga Anda memperoleh pahala dari Allah Yang Maha Pemberi.”
 

Syekh Husain bin Ibrahim kemudian menjawab bahwa hakim diperbolehkan menjatuhkan hukuman berdasarkan qarain (indikator-indikator) dan kondisi-kondisi yang menimbulkan dugaan kuat (tuhmah) terhadap seseorang. Ia menjelaskan:
 

نَعَمْ لَهُ ذَلِكَ إعْتِمَادًا عَلىَ الْقَرَائِنِ وَالْأَحْوَالِ الْمُوْجِبَةِ لِلتُّهْمَةِ
 

Artinya, “Ya, ia (hakim) boleh melakukan hal itu dengan bersandar pada qarain (indikator-indikator) dan keadaan-keadaan yang menimbulkan tuduhan.” (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Ulamail Haramain, [Mesir, Maktabah At-Tijariyah: 1937], halaman 317).
 

Lebih lanjut dalam kitab juga ditegaskan bahwa seorang hakim harus memperhatikan tanda-tanda (amarat) apabila terjadi pertentangan, kemudian memutuskan sesuai indikator yang lebih kuat. Kekuatan dugaan ini menjadi dasar dalam menjatuhkan putusan, dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang bolehnya memutuskan perkara dengan cara ini. Bahkan, menurutnya, praktik tersebut telah diterapkan dalam berbagai kasus yang disepakati oleh keempat mazhab.
 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa metodologi forensik modern seperti analisis DNA, sidik jari, atau bukti digital lainnya dapat dikategorikan sebagai bentuk kontemporer dari qarain yang memiliki tingkat validitas tinggi. Ketika bukti forensik menunjukkan indikasi kuat (tuhmah) terhadap seseorang, sekalipun tidak ada saksi atau pengakuan langsung, maka boleh bagi hakim menjatuhkan hukuman ta’zir sebagai bentuk pencegahan dan penjeraan.
 

Hal ini sejalan dengan prinsip qarain qawiyyah (indikator kuat) yang telah lama diakui dalam fiqih, yang mana bukti fisik dan situasional yang meyakinkan dapat menjadi dasar pertimbangan hukum, sebagaimana diterapkan dalam kasus-kasus klasik seperti qasamah (sumpah) atau hukuman had atas dasar kehamilan tanpa suami.
 

Konteks modern memperkuat posisi qarain ini dengan tingkat presisi ilmiah yang lebih tinggi. Misalnya, jika tes DNA mengidentifikasi pelaku kejahatan dengan akurasi hampir mutlak, atau rekaman CCTV menunjukkan aktivitas kriminal secara jelas, maka bukti-bukti tersebut memenuhi kriteria qarinah qaṭh’iyyah (indikator definitif) yang setara dengan kesaksian manusia yang rentan subjektivitas.
 

Dengan demikian, selama metodologi forensik memenuhi standar keilmuan yang diakui (mu’tabar) dan tidak bertentangan dengan ketentuan syariat (seperti dalam hudud), maka penggunaannya sebagai alat bukti tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga menjadi kebutuhan dalam menegakkan keadilan sesuai prinsip syariat Islam. Wallahu a’lam bisshawab.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.