Hukum Menutup Wajah saat Shalat bagi Perempuan Menurut 4 Madzhab: Panduan Fiqih yang Perlu Diketahui
Sabtu, 15 Maret 2025 | 21:00 WIB
Sejak hadirnya berbagai platform media sosial, era keterbukaan informasi seolah telah mencapai puncaknya. Kita dapat mengetahui berbagai peristiwa di berbagai belahan dunia bahkan beberapa menit saja setelah peristiwa tersebut terjadi.
Beberapa hari belakangan, media sosial ramai membicarakan tentang postingan video yang menampilkan sekelompok perempuan yang sedang melaksanakan shalat berjamaah. Video tersebut menjadi viral lantaran pakaian yang digunakan sekelompok perempuan tersebut dinilai nyeleneh.
Selain mengenakan mukena, mereka memakai penutup wajah dari kain yang dijulurkan dari belakang kepala, melewati atas kepala hingga menjuntai sampai ke bawah leher.
Seorang netizen yang sepertinya mengetahui kegiatan tersebut berkomentar bahwa yang dilakukan sekelompok perempuan itu adalah dalam rangka khalwat, mereka mengikuti sebuah tarekat tertentu yang salah satu kegiatannya adalah khalwat selama sebulan penuh di bulan Ramadhan.
Baca Juga
Hukum Memakai Cadar Menurut Mazhab Empat
Pada masa khalwat ini, wajah mereka bukan saja tidak boleh dilihat oleh orang lain, bahkan oleh diri sendiri melalui cermin. Atas dasar itulah mereka menutupi wajah mereka, namun penutup tersebut tidak menghalangi dahi saat sujud.
Publik tentu bertanya-tanya, bukankah wajah dalam shalat itu bukan termasuk aurat? Lalu bagaimana kalau ditutupi?
Terlepas dari kejadian tersebut beserta hal apapun yang melatarbelakanginya, penulis ingin membahas dan menjawab kejanggalan publik akan hal tersebut, yaitu hukum menutup wajah bagi perempuan saat melaksanakan shalat dalam disiplin ilmu fiqih.
Para ulama dari berbagai mazhab telah mencatat hukum perbuatan tersebut dalam kitab-kitabnya. Keempat mazhab sepakat bahwa hukum menutup wajah dalam shalat menggunakan cadar atau perkara lain bagi perempuan dan laki-laki hukumnya makruh. Berikut beberapa kutipan penjelasan ulama dari berbagai mazhab.
Mazhab Syafi'i
Taqiyuddin Al-Hishni, seorang ahli fikih Syafi'i abad delapan hijriah menjelaskan:
ويكره أن يصلي في ثوب فيه صورة، وتلثما، والمرأة متنقبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
Artinya, "Makruh hukumnya shalat menggunakan pakaian yang bergambar, shalat dengan menutup mulut, dan memakai penutup wajah (bagi perempuan), kecuali jika ia berada di masjid dan terdapat laki-laki bukan mahram yang tidak menjaga pandangannya, dan dikhawatirkan terjadi sesuatu yang buruk dikarenakan pandangan tersebut, maka ia haram melepas cadar."
(Kifayatul Akhyar, [Jeddah, Darul Minhaj: 2008], halaman 162).
Mazhab Hanafi
Ibnu Najam, seorang pakar fikih Hanafi abad sembilan hijriah menjelaskan:
وَمِنْ الْمَكْرُوهِ التَّلَثُّمُ وَتَغْطِيَةُ الْأَنْفِ وَالْوَجْهِ فِي الصَّلَاةِ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ فِعْلَ الْمَجُوسِ حَالَ عِبَادَتِهِمْ النِّيرَانَ
Artinya, "Di antara perkara yang makruh adalah menutup hidung dan wajah dalam shalat, karena hal tersebut menyerupai orang majusi saat ritual penyembahan mereka pada api." (Al-Bahrur Ra'iq, [Darul Kitabil Islami], juz II, halaman 27).
Mazhab Maliki
Syamsuddin Al-Hatthab, seorang ulama mazhab Maliki abad sembilan hijriah menyampaikan:
وَتَنَقُّبُ الْمَرْأَةِ لِلصَّلَاةِ مَكْرُوهٌ لِأَنَّهُ غُلُوٌّ فِي الدِّينِ
Artinya, "Memakai penutup wajah dalam shalat bagi wanita hukumnya makruh, karena termasuk berlebihan dalam beragama." (Mawahibul Jalil, [Beirut, Darul Kutubil 'Ilmiyah: 1994], juz I, halaman 503).
Mazhab Hanbali
Manshur Al-Buhuti, seorang pakar fikih madzhab Hanbali abad sebelas hijriah mencatat dalam salah satu karyanya:
وَ(يُكْرَهُ) أَنْ تُصَلِّيَ (فِي نِقَابٍ وَبُرْقُعٍ بِلَا حَاجَةٍ) ... فَإِنْ كَانَ لِحَاجَةٍ كَحُضُورِ أَجَانِبَ، فَلَا كَرَاهَةَ
Artinya, "Makruh bagi perempuan shalat dengan memakai penutup wajah dalam keadaan tanpa hajat, jika dilakukan karena hajat seperti ada laki-laki bukan mahram, maka tidak makruh."(Kasysyaful Qina', [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 268).
Dalam referensi fiqih Hanbali yang lain, terdapat contoh lain dari hajat yang menghilangkan hukum makruh tersebut:
إنْ كَانَ (بِلَا سَبَبٍ)، قَالَ أَحْمَدُ: لَا بَأْسَ بِتَغْطِيَةِ الْوَجْهِ لِحَرٍّ أَوْ بَرْدٍ
Artinya, "Makruh menutup wajah jika tanpa sebab, Imam Ahmad berkata: Boleh menutup wajah dengan alasan cuaca panas ataupun dingin." (Ar-Rahibani, Mathalib Ulinnuha, [Al-Maktabul Islami: 1994], juz I, halaman 344).
Dari penjelasan para ulama di atas dapat dipahami, hukum asal menutup wajah bagi perempuan adalah makruh. Kemakruhan ini bisa hilang jika ada hajat yang menuntut hal tersebut dilakukan seperti contoh-contoh yang telah disebutkan.
Namun perlu ditegaskan kembali bahwa ketentuan ini berlaku jika penutup wajah tersebut tidak menghalangi dahi saat sujud, jika penutup tersebut menghalangi dahi saat sujud, maka hukumnya haram dan shalatnya tidak sah. Wallahu a'lam.
Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.