Kepadatan jamaah haji di Tanah Suci pada satu sisi membawa kebanggaan tersendiri karena menandakan semangat kaum muslimin memenuhi panggilan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Di sisi lain, kepadatan seperti ini membawa memori kita kepada tragedi yang terjadi di Mina.
Tragedi Mina yang mengakibatkan lebih dari 1000 jemaah kehilangan nyawa dari berbagai negara dianggap sebagai insiden paling buruk dalam 25 tahun terakhir pelaksanaan haji oleh Pemerintah Arab Saudi (Siti Hidriyah, Tragedi Mina dan Kerjasama Internasional, [Info Singkat Hubungan Internasional, Vol. VII, No. 19/I/P3DI/Oktober/2015], halaman 5).
Selain itu, kepadatan jamaah haji di antaranya mengindikasikan banyaknya jamaah haji yang mengulang hajinya. Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, orang yang melakukan haji berkali-kali memiliki motivasi-motivasi yang tidak esensial (Ali Mustafa Yaqub, Mewaspadai Provokator Haji, [Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009], halaman 58).
Di antara motivasi tersebut adalah seperti mencari popularitas dan pengaruh di tengah masyarakat, mencari dukungan politik, berbisnis, hingga pergi haji hanya untuk sekadar wisata saja. Boleh jadi menurut Kiai Ali Mustafa, ramalan Nabi saw benar, bahwa akan ada masa di mana kaum muslimin berbondong-bondong berangkat haji dengan motivasi yang beragam, hadits tersebut adalah:
ياتي علي الناس زمان يحج اغنياءُ امتي للنزهة و اوسطهم للتجارة و قراءهم للرياء و السمعة و فقراءُهم للمسالة
Artinya, “Akan datang suatu masa di mana haji dilaksanakan oleh orang-orang kaya dari umatku untuk berwisata, orang-orang menengah untuk berdagang, orang-orang pandai untuk riya’ dan dipandang, orang-orang miskin untuk minta-minta”. (HR Ad-Dailami dan Al-Khathib Al-Baghdadi. Lihat As-Suyuthi, Al-Jami’ Al-Kabir, [Kairo, Al-Azhar As-Syarif: 2005], jilid XII, halaman 811).
Problematika jamaah haji berulang juga dalam konteks Indonesia mengakibatkan membludaknya jamaah haji yang berimplikasi pada waiting list atau antrean haji yang kian lama durasi tunggunya. Terhitung Bantaeng merupakan kabupaten dengan durasi tunggu terlama, yaitu 47 tahun dan Maluku Barat Daya adalah kabupaten tercepat dengan durasi tunggu 11 tahun.
Apabila kita merujuk kepada hadits Nabi saw, maka kita mendapati bahwa haji hanya diwajibkan sekali saja. Keterangan ini kita dapati dalam riwayat Muslim dalam Shahih-nya:
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوْا، فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ، حَتَّىٰ قَالَهَا ثَلاَثاً، ثُمَّ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْ قُلْتُ نَعَمْ، لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَىٰ أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ، وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ
Artinya, “Wahai manusia, telah diwajibkan atas kalian ibadah haji, maka tunaikanlah (ibadah haji tersebut).” Lalu ada seorang berkata, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah saw?” Lalu beliau diam sampai orang tersebut mengatakannya tiga kali, kemudian Rasulullah saw bersabda, “Andaikata aku menjawab ya, niscaya akan menjadi suatu kewajiban dan niscaya kalian tidak akan mampu (melaksanakannya).” Kemudian beliau bersabda, “Biarkanlah aku sebagaimana aku membiarkan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian ialah banyak bertanya dan banyak berselisih dengan Nabi mereka. Apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, maka laksanakanlah semampu kalian. Dan apabila aku melarang sesuatu, maka tinggalkanlah.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas, Ibnu Ruslan mengomentari bahwa haji sendiri memiliki kaitan hukum dengan pemakmuran Baitullah. Umat Islam dibebani hukum fardhu kifayah setahun sekali untuk memakmurkan Baitullah. Ketika sudah ada orang yang menjalankan kewajiban kifayah tersebut, maka gugur kewajibannya atas setiap individu muslim. (Ibnu Ruslan, Syarh Sunan Abi Dawud, [Mesir, Darul Falah: 2016], jilid VIII, halaman 189).
Penjelasan di atas penting sekali dipahami dalam konteks pelaksanaan ibadah haji saat ini. Pada masa sekarang, tidak mungkin Baitullah sepi dari pengunjung pada musim haji. Berbeda dengan zaman Nabi saw hingga beberapa masa setelahnya di mana Islam belum tersebar luas.
Adapun hadits yang berbunyi anjuran untuk berangkat haji lima tahun sekali sebagaimana dikutip dalam beberapa kitab fiqih perlu ditinjau ulang relevansinya, atau bahkan validitas dan otentisitasnya. Riwayat tersebut adalah:
عن أبى سعيدٍ الخُدرِىِّ حَديثًا يَرفَعُه قال: يقولُ اللَّهُ عَزَّ وجَلَّ: إن عبدًا أصحَحْتُ جِسمَه، وأوسَعتُ عَلَيه فى المَعيشَةِ، تأتى عَلَيه خَمسَةُ أعوامٍ لَم يَفِدْ إلَىَّ لَمَحرومٌ
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, bahwa dia mendengar Nabi saw bersabda, Allah berfirman, ‘Sesungguhnya seorang hamba yang telah kusehatkan tubuhnya dan kuluaskan rezekinya, tetapi telah berlalu lima tahun tanpa dia datang kepada-Ku (untuk haji), maka dia benar-benar orang yang terhalang (dari kebaikan).” (HR Al-Baihaqi, As-Sunanul Kabir, [Mesir, Markaz Hijr lil Buhuts: 2011], jilid X, halaman 565).
Al-Munawi menjelaskan, beberapa ulama menggunakan hadits ini sebagai dasar untuk mewajibkan haji bagi orang yang mampu setiap lima tahun sekali, dan pendapat ini disandarkan kepada Al-Hasan. Hanya saja, para ulama sepakat bahwa pendapat ini termasuk pandangan yang syadz (rancu) sehingga tidak diamalkan.
Memandang hadits ini, Ibnu Al-‘Arabi mengomentari bahwa meriwayatkan hadits ini adalah haram, apalagi menetapkan hukum keharusan haji tiap lima tahun sekali berdasarkan hadits tersebut. Al-Baihaqi mengomentari hadits ini diriwayatkan secara mauquf (tersambung pada sahabat) dan mursal (ada perawi yang dihilangkan dalam sanad) dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah.
Selain itu, dalam sanad hadits ini juga terdapat Shadaqah bin Yazid Al-Khurasani yang dinilai perawi lemah oleh Ahmad dan Ibnu Hibban, dan para ulama melarang tidak boleh menerima riwayat darinya. Senada dengan penilaian tersebut, Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits tersebut munkar. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1994], jilid IX, halaman 324).
Para ahli fiqih dalam mazhab Syafi’i memandang hadits di atas menunjukkan kesunahan saja, sebab adanya ijma’ ulama yang menetapkan bahwa haji hanya wajib dikerjakan seumur hidup sekali. (Al-Khathib As-Syirbini, Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja’, [Beirut: Darul Fikr, 1415], jilid I, halaman 250).
Meskipun haji lima tahun sekali merupakan sebuah kesunahan dalam pendapat fuqaha, namun dalam konteks pelaksanaan jamaah haji umat muslim di Indonesia, tidak seyogianya seorang muslim yang memiliki banyak harta menghabiskannya untuk haji berulang.
Haji berulang merupakan ibadah individual yang manfaatnya kembali kepada diri sendiri, sementara banyak ibadah-ibadah lainnya yang bersifat sosial dan kemaslahatannya dapat bermanfaat bagi banyak orang, semisal memberikan beasiswa studi kepada pelajar yang tidak mampu, memberi makan yatim piatu, dan lain sebagainya. Rasulullah saw dalam hadits qudsi pernah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: يَا ابْنَ آدَمَ، مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ. يَا ابْنَ آدَمَ: اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي، قَالَ: يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ: أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ؟ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي. يَا ابْنَ آدَمَ: اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي، قَالَ: يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ؟ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ، أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي" رواه مسلم
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., beliau berkata, telah bersabda Rasulullah saw sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla kelak dihari kiamat akan berfirman, “Wahai anak cucu Adam, aku sakit dan kamu tidak menjengukku”, ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami menjenguk-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam”, Allah berfirman, “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya hambaku yang bernama Fulan sakit, dan kamu tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya jika kamu menjenguknya, engkau akan mendapatiku didekatnya.
Wahai anak cucu adam, aku meminta makanan kepadamu, namun kamu tidak memberiku makanan kepada-Ku”, ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami dapat memberi makan kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Tidakkah engkau tahu, sesungguhnya hambaku fulan meminta makanan, dan kemudian kalian tidak memberinya makanan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makanan, benar-benar akan kau dapati perbuatan itu di sisi-Ku.
Wahai anak cucu adam, Aku meminta minum kepadamu, namun engkau tidak memberi-Ku minum” , ada yang berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimana kami memberi minum kepada-Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, “Seorang hambaku yang bernama fulan meminta minum kepadamu, namun tidak engkau beri minum, tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberi minum kepadanya, benar – benar akan kau dapati (pahala) amal itu di sisi-Ku.” (HR Muslim).
Demikianlah paparan terkait kajian hadits perintah haji yang dalam konteks Indonesia sudah semestinya seorang muslim hanya mengerjakan haji yang wajib saja sekali seumur hidup. Adapun apabila diberi kelebihan finansial, hemat penulis, bijaknya dikelola pada hal-hal yang bermanfaat dan maslahat bagi orang-orang. Wallahu a’lam.
Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif PP Darussunnah Jakarta