Tafsir

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 199: Urgen​​​​​​​si Istighfar Setelah Beribadah Haji

Sab, 13 Mei 2023 | 05:00 WIB

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 199: Urgen​​​​​​​si Istighfar Setelah Beribadah Haji

Ilustrasi: istighfar (NU Online).

Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, sababun nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 199:

ثُمَّ اَفِيْضُوْا مِنْ حَيْثُ اَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
 

Tsumma afīdlū min ḫaitsu afādlan-nāsu wastaghfirullāh, innallāha ghafūrur raḫīm.
 

Artinya, “Kemudian, bertolaklah kamu dari tempat orang-orang bertolak (Arafah) dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
 

 

Sababun Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 199

Imam As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur meriwayatkan sababun nuzul surat Al-Baqarah ayat 199. Berikut ini riwayatnya:
 

أخرج البُخَارِيّ وَمُسلم وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ وَالنَّسَائِيّ وَابْن جرير وَابْن الْمُنْذر وَابْن أبي حَاتِم وَأَبُو نعيم فِي الدَّلَائِل وَالْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه عَن عَائِشَة قَالَت: كَانَت قُرَيْش وَمن دَان دينهَا يقفون بِالْمُزْدَلِفَةِ وَكَانُوا يسمون الحمس وَكَانَت سَائِر الْعَرَب يقفون بِعَرَفَات. فَلَمَّا جَاءَ الإِسلام أَمر نبيه أَن يَأْتِي عَرَفَات ثمَّ يقف بهَا ثمَّ يفِيض مِنْهَا فَذَلِك قَوْله: ثمَّ أفيضوا من حَيْثُ أَفَاضَ النَّاس

 

Artinya: “Imam Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Abu Nuaim dalam Kitab Dalail dan Al-Baihaqi dalam Kitab Sunan-nya meriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: “Dulu orang Quraisy dan oran​​​​​​​g yang menjadi keturunannya menetap diri di Muzdalifah, (mereka menyebutnya dengan ‘Hums’) sedangkan suku Arab lainnya melakukan wukuf di Arafah. Setelah Islam datang, ia memerintah Nabi saw (dan orang-orang Quraisy) untuk wukuf di Arafah, kemudian bertolak darinya. Hal itu merupakan firman Allah: Tsumma afīdlū min ḫaitsu afādlan-nāsu.” (As-Suyuthi, Ad-Durul Mantsur, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 545).
 

 

Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 199

Prof Quraisy Syihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa rangkaian urutan dengan menggunakan kata tsumma di atas bukan dalam arti melakukan sesuatu sesudah sesuatu yang lain, atau tartibul fi’li. Karena jika demikian, bertolak dari Arafah baru dilaksanakan setelah berada di Muzdalifah, melainkan menjelaskan runtutan kabar yang dijelaskan setelah kabar lainnya, atau tartibul khabari. (Quraisy Syihab, Tafsir Al-Misbah, volume I, halaman 437).
 

Lebih lanjut Prof Quraisy menjelaskan bahwa ayat di atas turun untuk sebagian masyarakat Jahiliah, khususnya suku Quraisy, yang merasa status sosialnya lebih tinggi dari suku-suku yang lain, sehingga mereka tidak bertolak dari Arafah. Mereka enggan wukuf di Arafah, karena itu mereka bertolak dari Muzdalifah: “Kami penduduk Makkah, kami tidak sama dengan penduduk lain, kami memiliki keistimewaan ”. Mereka menamainya dengan golongan ‘Al-Hums’. (Quraisy Syihab, 437).
 

Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain secara jelas menggunakan khitab kepada orang-orang Quraisy. Ia menjelaskan bahwa ayat di atas secara jelas ditujukan kepada orang-orang Quraisy untuk tidak merasa sombong dengan menetap diri di Muzdalifah dan tidak mau wukuf di Arafah bersama yang lain. Kemudian mereka diberi perintah untuk meminta ampunan kepada Allah atas dosa-dosa mereka. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Hasyiyatus Shawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M], juz I, halaman 123). 
 

Dalam hal ini makna al-ifadhah pada ayat di atas ialah perintah yang ditujukan untuk orang-orang Quraisy untuk bertolak menuju Arafah untuk melaksanakan wukuf sebagaimana yang lain. 
 

Namun, dalam riwayat lain yang juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari al-ifadhah di atas ialah bertolak dari Muzdalifah menuju Mina untuk melaksanakan lempar jumrah. Berikut ini penjelasan Ibnu Katsir:
 

ثُمَّ رَوَى الْبُخَارِيُّ مِنْ حَدِيثِ مُوسَى بن عقبة، عن كُرَيب، عن ابن عباس مَا يَقْتَضِي أَنَّ الْمُرَادَ بِالْإِفَاضَةِ هَاهُنَا هِيَ الْإِفَاضَةُ مِنَ الْمُزْدَلِفَةِ إِلَى مِنًى لِرَمْيِ الْجِمَارِ, فَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَحَكَاهُ ابنُ جَرِيرٍ، عَنِ الضَّحَّاكِ بْنِ مُزَاحِمٍ فَقَطْ. قَالَ: وَالْمُرَادُ بِالنَّاسِ: إِبْرَاهِيمَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ

 

Artinya, “Kemudian Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari hadits Musa bin Uqbah, dari Kuraib, dari Ibnu Abbas, sesuatu yang menunjukkan bahwa maksud dari bertolak di sini ialah bertolak dari Muzdalifah ke Mina untuk melempar jumrah. Wallahu a’lam. Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Ad-Dahhak bin Muzahim. Ia berkata: “Maksud dari lafal an-nas pada ayat di atas ialah Nabi Ibrahim as.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil ’Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wat Tauzi’: 1999 M/ 1420 H], juz I, halaman 556).
 

Riwayat yang kedua ini diamini oleh Syekh Nawawi Banten​​​​​​​ dalam tafsirnya. Ia berpegangan pada riwayat Ad-Dahhak. Ia menjelaskan bahwa maksud dari ayat di atas ialah perintah kepada jamaah haji untuk bertolak dari Muzdalifah menuju Mina sebelum terbitnya matahari untuk melaksanakan lempar jumrah dan menyembelih kurban sebagaimana dilakukan dahulu oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, juga sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. 
 

Hal tersebut dikarenakan dahulu masyarakat Arab setelah menetap di Muzdalifah mereka bertolak menuju Mina setelah terbitnya matahari. (Nawawi Al-Bantani, Marah Labid, juz I, halaman 47).
 

Adapun maksud dari lafal “wastaghfirullāh” pada ayat di atas ialah perintah untuk membaca istigfar dengan lisan, meminta ampunan kepada Allah dengan bertaubat dalam hati, yakni dengan rasa penyesalan atas kelalaian dalam menjalankan perintah Allah dan beri’tikad untuk tidak lalai di kemudian hari dengan harapan mendapatkan ridha dari Allah. (Al-Bantani, I/47).
 

Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan di atas, di antaranya:

  1. Larangan berlaku sombong dan merasa kelompok atau diri sendiri lebih istimewa atau lebih baik dari yang lain. Sebab semuanya sama di mata Allah.
  2. Perintah untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan tuntunan syariat.
  3. Selalu meminta ampunan kepada Allah baik setelah melakukan kesalahan atau bahkan setelah melaksanakan ibadah sekalipun, seperti haji.
    Sebagaimana dijelaskan Rasulullah saw selalu beristighfar sebanyak tiga kali setelah selesai shalat. Sebab, bagaimanapun ibadah yang kita lakukan tak jarang bahkan tidak sesuai dengan syariat dan memiliki banyak kekurangan. ​​​​​​​Wallahu a’lam 
 


Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.