Syariah

Ketentuan Transaksi Pengalihan Utang menurut Empat Mazhab

Kamis, 12 Desember 2024 | 06:00 WIB

Ketentuan Transaksi Pengalihan Utang menurut Empat Mazhab

Ilustrasi hiwalah. (Foto: NU Online)

Pengalihan utang (hiwalah) menjadi salah satu solusi praktis dalam mengatasi permasalahan finansial, terutama dalam transaksi keuangan menurut hukum Islam. Dalam konteks modern yang kompleksitas transaksinya terus berkembang, hiwalah tetap relevan, termasuk sebagai solusi atas problematika kredit macet. 

 

Dengan pengalihan utang, kewajiban pembayaran dapat dialihkan kepada pihak ketiga yang lebih mampu, sehingga memberikan jalan keluar yang adil bagi semua pihak yang terlibat. Namun demikian, pelaksanaan hiwalah tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Oleh sebab itu, tulisan ini akan menguraikan akad pengalihan utang dan sejumlah syarat dan kriteria yang harus dipenuhi.

 

Pengertian Hiwalah

Secara etimologi, hiwalah atau hawalah adalah pemindahan atau pengalihan. Sedangkan secara terminologi syariat, beberapa ulama yang mendefinisikan pengalihan utang berbeda satu sama lain.

 

Kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai pemindahan penagihan utang yang asalnya kepada debitur beralih kepada orang yang berkomitmen membayarnya.

 

وفي الاصطلاح عند الحنفية: نقل المطالبة من ذمة المدين إلى ذمة الملتزم

 

Artinya: “Hiwalah secara istilah menurut Hanafiyah adalah berpindahnya penagihan dari tanggungan debitur kepada orang yang berkomitmen membayarnya”.

 

Sementara definisi jumhur ulama mengatakan bahwa pengalihan utang adalah suatu transaksi yang menghendaki berpindahnya utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain.

 

وعرفها غير الحنفية بأنها عقد يقتضي نقل دين من ذمة إلى ذمة

 

Artinya: “Selain Hanafiyah mendefinisikan pengalihan utang sebagai transaksi yang menghendaki berpindahnya utang dari tanggungan orang kepada tanggungan orang lain

 

Dari dua definisi tersebut memunculkan pertanyaan: apakah utang yang ada dalam tanggungan muhil (debitur awal) benar-benar berpindah kepada tanggungan muhal alaihi (debitur kedua)? Berdasarkan definisi Hanafiyah, masih menyisihkan perdebatan apakah utangnya berpindah atau hanya hak penagihan saja yang berpindah. Berbeda dengan definisi yang kedua, utangnya berpindah yang secara otomatis penagihan utang juga ikut berpindah.

 

Rukun-Rukun Hiwalah

Bersinggungan dengan penjelasan rukun-rukun pemindahan utang, Syekh Wahbah al-Zuhayli menjelaskan dalam kitabnya.

 

يفهم مما سبق أن للحوالة عند الجمهور غير الحنفية أركاناً أو عناصر ستة تقوم عليها وهي: محيل وهو المدين، ومحال ويسمى أيضاً محتالاً وحويلاً وهو رب الدين أو الدائن، ومحال عليه أو محتال عليه وهو الذي التزم الدين للمحال ومحال أو محتال به: وهو نفس الدين الذي للمحال على المحيل، ودين للمحيل على المحال عليه، وصيغة

Artinya: “Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa hiwalah menurut jumhur ulama, selain Mazhab Hanafi, memiliki enam rukun atau unsur utama yang menjadi dasar pelaksanaannya. Muhil, orang yang punya utang. Muhal, juga disebut muhtal dan hawil yaitu orang yang punya piutang. Muhal ‘alaihi atau muhtal ‘alaihi adalah orang yang berkomitmen untuk membayar utang kepada muhal. Muhal atau muhtal bih adalah utang itu sendiri yang menjadi piutangnya mubal atas muhil, dan piutangnya muhil yang ada pada muhal ‘alaihi”. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, [Damaskus - Dar al-Fikr: tt], vol VI, hal. 4191).

 

Dari teks tersebut, maka skema dari rukun-rukun pemindahan utang sebagai berikut:

 

Pertama, muhil (orang yang mengalihkan utang): pihak yang berutang (debitor) dan mengalihkan tanggungan utangnya kepada pihak lain.

 

Kedua, muhal (penerima hiwalah): disebut juga muhtal atau hawil, yaitu pihak yang memiliki hak atas utang (kreditur).

 

Ketiga, muhal 'alaih (pihak yang menerima tanggung jawab): pihak yang berkomitmen untuk membayar utang kepada penerima pemindahan utang (muhal).

 

Keempat, muhal bihi (objek hiwalah): utang yang menjadi hak penerima hiwalah (muhal) terhadap orang yang mengalihkan utang (muhil). Dan utang yang dimiliki oleh pengalih (muhil) terhadap pihak yang menerima tanggung jawab baru (muhal 'alaih).

 

Kelima dan keenam, shighat (ijab dan qabul): Pernyataan yang sah dari kedua belah pihak berupa ijab dan penerimaan (qabul), yang menjadi dasar sahnya akad pengalihan utang.

 

Rukun-rukun ini menunjukkan struktur yang sistematis dalam akad pengalihan utang, di mana setiap pihak dan unsur yang terlibat memiliki posisi dan fungsi yang jelas. Ini memastikan kepastian hukum dalam pelaksanaan hiwalah.

 

Syarat Keabsahan Pengalihan utang

Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar pengalihan utang sah sesuai syariat, ulama berbeda pendapat mengenai detailnya, namun ada beberapa syarat hawalah yang disepakati. Pertama, kerelaan si muhil karena ia yang memiliki tanggungan utang sehingga berhak melunasi utang dari arah mana saja. Kedua, utang yang menjadi tanggungan muhil dan utang yang menjadi tanggungan muhal ‘alahi harus sama dalam nominal, jenis, dan sifatnya.

 

Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid menjelaskan syarat-syarat yang disepakati para ulama secara umum.

 

وَمِنَ الشُّرُوطِ الَّتِي اتُّفِقَ عَلَيْهَا فِي الْجُمْلَةِ: كَوْنُ مَا عَلَى الْمُحَالِ عَلَيْهِ مُجَانِسًا لِمَا عَلَى الْمُحِيلِ قَدْرًا وَوَصْفًا

 

Artinya:“Diantara syarat-syarat hiwalah yang disepakati secara umum yaitu tanggungan yang ada pada muhal ‘alahi dan tanggungan yang ada pada muhil adalah sejenis. Baik nominal dan sifatnya.” (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahi Wanihatul Muqtashid, [Kairo - Dar al-Hadis: 2004], vol. IV, hal. 83).

 

Sementara Ibnu Qadamah menjelaskan syarat yang disepakati juga adalah izin atau kerelaan muhil.

 

ويُشْتَرَطُ في صِحَّتِهَا رِضَى المُحِيلِ، بلا خِلَافٍ؛ فإنَّ الحَقَّ عليه، ولا يَتَعَيَّنُ عليه جِهَةُ قَضَائِه. وأمَّا المُحْتَالُ والمُحَالُ عليه، فلا يُعْتَبَرُ رِضَاهُما، على ما سَنَذْكُرُه

 

Artinya: “Disyaratkan dalam keabsahan hiwalah yaitu kerelaan muhil tanpa adanya khilaf. Karena kewajibannya adalah atas muhil sehingga tidak tertentu membayar tanggungannya dari pelunasan tertentu. Sedangkan kerelaan muhtal dan muhal ‘alahi tidak dipertimbangkan sebagaimana yang akan kami jelaskan” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Riyadh - Dar Alam al-Kutub: 1997], vol. VII, hal. 56).

 

Syarat Pengalihan utang menurut Hanafiyah

Dalam mazhab Hanafi syarat-syarat keabsahan pengalihan utang berkaitan dengan setiap rukun yang ada yautu ijab dan qabul, muhil, muhal, muhal ‘alahi, dan muhal bih sebagaimana dijelaskan Syekh Wahbah al-Zuhaili. (Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, [Damaskus - Dar al-Fikr: tt], vol VI, hal. 4191

 

Sighat, Hanafiyah mensyaratkan bahwa ijab dan qabul mesti terlaksana dalam majelis akad. Dan transaksi pengalihan utangnya harus bersifat final dan mengikat sejak awal disepakati.

 

Muhil, dalam muhil ada dua syarat yang diajukan kalangan Hanafiyah. Pertama, harus yang cakap melakukan transaksi yaitu berakal dan baligh. Kedua, muhil memberikan izin secara sukarela. Oleh sebab itu, transaksi pengalihan utang itu akan menjadi fasid atau batal bila muhil melakukannya karena terpaksa.

 

Muhal/Muhtal, sementara syarat muhtal ada tiga. Pertama, berakal dan baligh. Kedua, harus memberi izin secara sukarela. Ketiga, menerima (qabul) nya muhtal di tempat pengalihan utang terlaksana.

 

Muhal ‘alahi, adapun syarat-syarat muhal ‘alahi sama dengan syarat muhtal yaitu ada tiga. Pertama, berakal dan baligh. Kedua, rela. Ketiga, menerima di tempat pengalihan utang terlaksana.

 

Muhal bih, yakni objek dari transaksi pengalihan utang, mesti memenuhi dua syarat. Pertama, harus berupa utang. Kedua, utangnya sudah mengikat semisal tanggungan yang timbul dari utang.

 

Syarat Pengalihan utang menurut Malikiyah

​​​​​​​Ibnu Rusyd menyebutkan syarat pengalihan utang dalam mazhab Maliki yaitu ada tiga. Pertama, objek utang pengalihan utang harus berupa utang kontan. Sebab, bila utangnya tidak kontan maka mengarah akan terjadi transaksi tanggungan (utang) dengan tanggungan (utang) yang lain. Karena transaksi demikian dilarang.

 

Kedua, utang yang wajib atas muhil dan utang yang wajib atas muhal ‘alahi harus sama, baik dari segi nominal maupun sifatnya. Oleh sebab itu, bila keduanya berbeda satu sama lain maka mengarah pada transaksi jual beli, bukan hiwalah. Oleh karenanya, keluar dari ketentuan pengalihan utang dan masuk ke dalam ketentuan transaksi jual beli utang dengan utang. Hal ini juga dilarang.

 

Ketiga, utang yang dipindah tidak boleh berupa makanan dari akad salam baik dari keduanya atau salah satunya sementara utangnya belum jatuh tempo.(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahi Wanihatul Muqtashid, [Kairo - Dar al-Hadis: 2004], vol. IV, hal. 83-84).

 

Syarat Pengalihan utang menurut Syafi’iyah

​​​​​​​Sementara Syekh Khatib al-Syarbini menjelaskan syarat-syarat kebasahan pengalihan utang dalam mazhab Syafi’i yaitu ada lima. Pertama, kerelaan muhil atau orang yang punya tanggungan kepada muhtal dan punya hak piutang pada muhal ‘alahiKedua, menerimanya muhtal atau orang yang punya hak piutang atas muhil.

 

Pensyaratan ini menurut Syekh Khatib al-Syarbini karena muhil hendak melunasi kewajibannya dari manapun asalnya sehingga tidak tertentu pada satu arah pembayaran. Sedangkan haknya muhtal berada dalam tanggungan muhil sehingga tidak serta merta berpindah kepada orang lain tanpa adanya kerelaan muhtal. Karena setiap tanggungan memiliki perselisihan nilai.

 

“Syarat-syarat keabsahan pengalihan utang ada lima sebagaimana yang akan kau tahu. Pertama, adalah kerelaan muhil. Kedua, muhtal menerima. Karena muhil akan melunasi kewajibannya dari arah manapun. Sehingga tak ada kewajiban arah pembayaran tertentu. Sementara hak muhtal berada dalam tanggungan muhil sehingga tak bisa dialihkan kecuali ada kerelaan muhtal”. (Khatib al-Syarbini, Al-Iqna’ Fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [ Bairut - Dar al-Fikr: tt], vol. II, hal. 310).

 

Ketiga, tanggungan utangnya sudah mengikat meskipun belum tetap atau mengikat dalam tanggungannya muhil atau muhal ‘alahi. Artinya, tidak dalam masa khiyar yang berkemungkinan tidak jadi dan tidak pasti.

 

Keempat, utangnya muhil dan muhal ‘alahi harus sama, baik dalam jenis maupun macamnya serta kontan atau cicilan. Oleh karenanya bila tidak sama maka pengalihan utangnya tidak sah. (Fathu al-Qarib, [Bairut - Dar Ibn Hazm: 2005], hal. 178).

 

Kelima, utangnya diketahui oleh pihak terkait baik nominalnya dan jenis dan kontan atau cicilannya. (Khatib al-Syarbini, Al-Iqna’ Fi Halli Alfadzi Abi Syuja’, [ Bairut - Dar al-Fikr: tt], vol. II, hal. 311).

 

Syarat Pengalihan utang Menurut Hanabilah

​​​​​​​Ada empat syarat keabsahan pengalihan utang dalam mazhab Hanabilah. Pertama, kedua hak atau utangnya harus terdiri dari jenis harta yang sama. Di mana kesamaannya dalam tiga hal: jenis, sifat, dan kontan atau kreditnya. Oleh karenanya, bila melakukan pengalihan utang sementara jenis hartanya berbeda semisal emas dengan perak maka tidak sah. Demikian pula tidak sah bilamana 2 utangnya berbeda, satunya kontan sementara yang lain kredit. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Riyadh - Dar Alam al-Kutub: 1997], vol. VII, hal. 57).

 

Kedua, tanggungannya berupa utang yang sudah tetap dalam tanggungan. Oleh sebab itu, utang yang tidak tetap atau rentan terhadap pembatalan tidak dapat menjadi objek pengalihan utang. Hal ini juga muncul larangan hiwalah atas utang salam atau pesanan. Sebab, utang salam tidak bersifat tetap (mustaqir), sehingga bisa dibatalkan akibat kegagalan pengiriman barang yang dipesan (muslam fih). Selain itu, utang salam tidak dapat dialihkan karena tidak diperbolehkan mengambil pengganti (kompensasi) atasnya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Riyadh - Dar Alam al-Kutub: 1997], vol. VII, hal. 57).

 

Ketiga, pengalihan utang menggunakan harta yang diketahui. Karena pengalihan utang adakalanya adalah transaksi jual beli sehingga tidak sah pada tanggungan yang tidak diketahui. Dan adakalanya transaksi pemindahan hak. Bila pengalihan utang atas hak maka harus diserahterimakan, sementara penyerahan tidak mungkin dilakukan bila ada ketidaktahuan atas haknya. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Riyadh - Dar Alam al-Kutub: 1997], vol. VII, hal. 59).

 

Keempat, hiwalah harus dengan kerelaan muhil karena tanggungan utang itu merupakan kewajiban muhil. Sehingga tidak boleh dipaksa mesti membayar melalui jalur pengalihan utang. Syarat ini tidak diperselisihkan oleh para ulama.

 

فصل: الشَّرْطُ الرابعُ، أن يُحِيلَ بِرِضَائِه؛ لأنَّ الحَقَّ عليه، فلا يَلْزَمُه أدَاؤُه من جِهَةِ الدَّيْنِ الذي على المُحَالِ عليه، ولا خِلَافَ في هذا

 

Artinya: “Pasal: Syarat Keempat. Hiwalah harus dilakukan dengan kerelaan pihak yang mengalihkan (muhil). Sebab, tanggungan utang berada padanya, sehingga tidak dapat diwajibkan untuk membayar melalui pihak lain (muhal 'alaih) tanpa persetujuannya. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.”(Ibnu Qudamah, al-Mughni, [Riyadh - Dar Alam al-Kutub: 1997], vol. VII, hal. 60).

 

Demikianlah ketentuan-ketentuan yang ada dalam transaksi hiwalah yang sesuai dengan syariat. Yaitu terpenuhinya rukun berikut syarat-syaratnya menurut empat mazhab. Wallahu A’lam.

 

Ustadz Moh Soleh Shofier, alumni Ma'had Aly Situbondo.