Tiga Tingkatan Hukum Fiqih menurut Imam Taqiyuddin as-Subki
NU Online ยท Sabtu, 11 Desember 2021 | 22:00 WIB

Hukum-hukum fiqih ini di tangan para ulama mempunyai tingkatan dalam penerapannya. (Ilustrasi: meydan.tv)
Muhammad Faeshol Muzammil
Kolomnis
Fiqih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan perilaku manusia (amaliah) yang digali oleh ulama mujtahid dari dalil-dalil yang terperinci. Hal ini sebagaimana didefinisakan para ulama ahli fiqih dan ushul fiqih, misalnya yang ditulis Imam Taqiyuddin as-Subki dalam Jamโul Jawamiโ [juz 1, ha. ]:
ย
ุงูููู ูู ุงูุนูู ุจุงูุฃุญูุงู ุงูุดุฑุนูุฉ ุงูุนู ููุฉ ุงูู ูุชุณุจ ู ู ุงูุฃุฏูุฉ ุงูุชูุตูููุฉ
ย
Dari definisi ini, hukum syariat yang terkait dengan keyakinan (aqidah) tidak termasuk fiqih. Demikian pula hukum syariat yang qathโi seperti kewajiban shalat lima waktu bukan termasuk fiqih karena bukan hasil ijtihad.
ย
Hukum-hukum fiqih ini di tangan para ulama mempunyai tingkatan dalam penerapannya. Imam As-Subki dalam Al-Fatawa (Kumpulan Fatwa) [Juz 3, hal. 269-271] membaginya menjadi tiga tingkatan.
ย
Pertama, hukum fiqih yang masih berada dalam konsep umum (kulli) sebagaimana yang tertera dalam kitab-kitab fiqih. Hukum-hukum fiqih dalam tingkatan ini belum menyentuh kepada masalah atau kasus (waaqiโah) secara khusus atau faktual. Konsep-konsep umum ini dapat kita temukan dari para ulama ahli fiqih yang menulis karya-karya fiqih (mushannif) dan yang mengajarkan ilmu fiqih (muโallim) serta yang diperoleh para pelajar fiqih (mutaโallim/mutafaqqih). Di tangan mereka fiqih adalah konsep yang umum atau general. Imam As-Subki berkata:
ย
ููู ุฃู ุฑ ููู ูุฃู ุตุงุญุจู ููุธุฑ ูู ุฃู ูุฑ ูููุฉ ูุฃุญูุงู ูุง ูู ุง ูู ุฏุฃุจ ุงูู ุตูููู ูุงูู ุนูู ูู ูุงูู ุชุนูู ูู
ย
Kedua, hukum fiqih yang sudah menyentuh masalah atau kasus secara khusus. Inilah yang dilakukan para ulama yang berfatwa (mufti). Mufti saat berfatwa akan berkata, โhukum syariat dalam masalah ini adalahโฆโ. Sedangkan para ulama ahli fiqih dalam tingkatan pertama tidaklah demikian. Mereka hanya menyebutkan hukum dalam masalah yang umum atau general. Imam As-Subki berkata:
ย
ูุฅูู ูุฎุจุฑ ุฃู ุญูู ุงููู ูู ูุฐู ุงููุงูุนุฉ ูุฐุง ุจุฎูุงู ุงููููู ุงูู ุทูู ุงูู ุตูู ุงูู ุนูู ูุง ูููู ูู ูุฐู ุงููุงูุนุฉ ุ ุจู ูู ุงููุงูุนุฉ ุงูููุงููุฉ
ย
Dalam mengeluarkan fatwa, seorang ahli fiqih tidak cukup hanya menguasai fiqih secara konsep baik hukum maupun dalilnya. Namun juga harus mengetahui tashawwur (gambaran) atas realitas masalah yang diajukan. As-Subki berkata:
ย
ูุฃู ุฎุงุตูุฉ ุงูู ูุชู ุชูุฒูู ุงูููู ุงูููู ุนูู ุงูู ูุถุน ุงูุฌุฒุฆู ูุฐูู ูุญุชุงุฌ ุฅูู ุชุจุตุฑ ุฒุงุฆุฏ ุนูู ุญูุธ ุงูููู ูุฃุฏูุชู
ย
"Karakteristik seorang mufti adalah menerapkan fiqih yang konseptual atas masalah yang khusus (parsial). Hal ini membutuhkan pengetahuan tambahan tidak sekedar menghafal fiqih dan dalil-dalilnya."
ย
Tashawwur atas masalah yang utuh dan lengkap adalah syarat yang harus terpenuhi sebelum mengeluarkan fatwa sehingga ia dapat memberi fatwa dengan tepat. Ia hanya berfatwa sesuai gambaran masalah yang ditanyakan. Imam As-Subki menerangkan:
ย
ูุนูู ุงูู ูุชู ุฃู ูุนุชุจุฑ ู ุง ูุณุฃู ุนูู ูุฃุญูุงู ุชูู ุงููุงูุนุฉุ ููููู ุฌูุงุจู ุนูููุง
ย
Karena syarat itulah, Imam As-Subki menyimpulkan bahwa tidak semua ulama ahli fiqih layak untuk berfatwa. Sekali lagi, dibutuhkan kemampuan untuk memahami realitas masalah dengan baik. Misalnya -ini tambahan dari penulis- pertanyaan bagaimana hukum memakai pakaian yang terbuat dari kain yang banyak orang menyebutnya dengan โkain sutraโ. Menjawab pertanyaan ini, seorang mufti tidak cukup hanya berdasar pengetahuan fiqih bahwa memakai pakaian berbahan sutra hukumnya haram. Ia juga harus meneliti obyek hukum yaitu kain yang disebut banyak orang dengan โkain sutraโ itu. Apakah benar-benar dari bahan sutra atau nama โsutraโ hanya nama yang tidak menunjuk kepada sutra yang terdapat dalam kitab fiqih.
ย
Tentu, kerumitan dalam tashawwur masalah (waaqiโah) tentu berbeda-beda. Ada yang mudah dan simpel. Dan ada yang memiliki kerumitan yang tinggi. Disinilah, seorang mufti membutuhkan keterangan ahli sesuai masalah yang diajukan. Misalnya, dalam menghukumi produk sabun yang diduga mengandung unsur najis, seorang mufti jika tidak mampu meneliti sendiri maka ia membutuhkan ahli kimia yang menelitinya. Dan di dalam fiqih terdapat banyak masalah yang harus dirujukkan kepada ahlinya. Seperti halnya saat memutuskan sesorang yang menderita sakit apakah diperbolehkan tayammum sebagai ganti wudlu dan mandi besar, dibutuhkan thabib atau ahli kesehatan sebagai rujukan. Mayit yang terlanjur dikubur sebelum dimandikan, apakah jasadnya sudah membusuk sehingga tidak boleh digali lagi untuk kemudian dimandikan ataukah belum membusuk sehingga wajib digali? Keputusannya membutuhkan seorang yang mempunyai pengalaman mengenai kondisi area kuburan dimana mayit berada. Kesimpulannya, dalam memutuskan masalah secara spesifik membutuhkan tashawwur masalah yang jelas.
ย
Ketiga, hukum fiqih saat menjadi keputusan hakim. Dalam tingkatan ini, fikih menjadi lebih khusus lagi dari pada fiqih saat menjadi fatwa.. Imam As-Subki menjelaskan:
ย
ูุงูุญูู ุฎุตูุต ุงูุฎุตูุต ูููุง ุฐูู ูุฒูุงุฏุงุช : ุฅุญุฏุงูุง ุงูุญุฌุฌ ูุงูุฃุฎุฑู ุงูุฅูุฒุงู
ย
"Keputusan (hakim) lebih khusus lagi. Selain hal tersebut (penerapan konsep yang umum ke masalah yang spesifik) juga ada beberapa tambahan. Yang pertama adalah masalah hujjah-hujjah (ketentuan tentang argumentasi yang diterima di pengadilan, pen.) dan kedua adalah sifat keputusan yang mengikat."
ย
Dalam menerapkan hukum fiqih, seorang hakim (qadli) melihat masalah (waaqiโah) dengan lebih luas. Ia tidak hanya menurunkan fiqih yang masih konsep ke dalam kasus khusus tapi lebih dari itu. Hakim harus melihat fakta hukum dengan mendengarkan saksi-saksi dan memeriksa bukti-bukti yang dilakukan dalam sidang pengadilan. Sebelumnya, hakim harus memastikan kelayakan saksi dan keabsahan bukti. Setelah itu juga menguji kebenaran keterangan-keterangan tersebut. Setelah diputuskan hakim, hukum fiqih bersifat mengikat karena telah menjadi alat negara dalam menyelesaikan perselisihan antar warga negara.
ย
Dalam ketiga tingkat tersebut, dapat dicontohkan dengan kasus fasakh nikah. Di dalam konsep fasakh nikah. Hukum fiqih menyebutkan bahwa diantara sebab fasakh nikah adalah impotensi (al-สปanah) suami. Kitab-kitab fiqih menjelaskan definisi impotensi dan prosedur penetapannya. Selama hukum fiqih ini belum bersentuhan dengan kasus; masih sekedar penjelasan atas isi kitab-kitab fiqih, ia adalah hukum fiqih umum atau hanya dalam tataran konsep. Dan jika sudah menjadi jawaban atas sebuah kasus khusus maka ia adalah fatwa. Orang yang bertanya kepada mufti bisa jadi pihak istri atau suami atau pihak ketiga. Mufti akan menjawab berdasar konsep fasakh dalam kitab fiqih dan sesuai keterangan penanya. Dan fatwa yang disampaikan tidak menjadi keputusan yang menetapkan fasakh nikah. Fatwa tidak mengikat pihak-pihak terkait.
ย
Di tangan hakim, masalah ini harus ditelaah lebih teliti dan dilakukan di pengadilan. Dimulai dengan mendengarkan keterangan istri dan suami. Hakim harus mendengarkan hujjah-hujjah yang saling bertentangan, hasil penelitian atau pemeriksaan yang dilakukan ahli atas kondisi suami. Hakim juga menguji kebenaran atas keterangan-keterangan tersebut. Setelah keputusan dikeluarkan, maka keputusan berlaku mengikat.
ย
ย
Ustadz Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda
ย
Terpopuler
1
5 Doa Pilihan untuk Hari Asyura 10 Muharram, Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
2
Koordinator Aksi Demo ODOL Diringkus ke Polda Metro Jaya
3
Inilah Niat Puasa Asyura Lengkap dengan Latin dan Terjemahnya
4
10 Muharram Waktu Terjadinya 7 Peristiwa Penting Para Nabi
5
Khutbah Jumat: Memaknai Muharram dan Fluktuasi Kehidupan
6
Khutbah Jumat: Meraih Ampunan Melalui Amal Kebaikan di Bulan Muharram
Terkini
Lihat Semua