Shalat Jumat merupakan ibadah wajib, dan khutbah menjadi bagian integral dalam pelaksanaannya. Khutbah Jumat terdiri dari dua bagian yaitu khutbah pertama dan khutbah kedua. Masing-masing memiliki rukun tertentu, termasuk pembacaan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Namun, bagaimana hukum dan kesahihan khutbah Jumat jika khatib tidak membaca shalawat pada khutbah kedua?
Status Hukum Khutbah Kedua Menurut Ulama
Ulama berbeda pendapat terkait status hukum khutbah kedua. Syafi’iyah dan Hanbali mewajibkan dua khutbah. Sementara yang lain tidak mewajibkan, sehingga melakukan satu khutbah sudah mencukupinya. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni menuliskan:
وجُمْلَتُه أنَّه يُشْتَرَطُ لِلْجُمُعَةِ خُطْبَتانِ. وهذا مذهبُ الشَّافِعِيِّ. وقال مالِكٌ، والأوْزاعِيُّ، وإسحاقُ، وأبو ثَوْرٍ، وابنُ المُنْذِرِ، وأصْحَابُ الرَّأْىِ: يُجْزئُهُ خُطْبَةٌ وَاحِدَةٌ. وقد رُوِىَ عن أحمدَ ما يَدُلُّ عليه، فإنَّه قال: لا تكونُ الخُطْبَةُ إلَّا كما خَطَبَ النَّبِيُّ -صلى اللَّه عليه وسلم-، أو خُطْبَةً تَامَّةً.
Artinya: “Dan secara keseluruhan, disyaratkan untuk shalat Jumat dua khutbah. Ini adalah pendapat dari mazhab Syafi'i. Sementara itu, Malik, al-Awza'i, Ishaq, Abu Tsaur, Ibn al-Mundhir, dan para pengikut mazhab Hanafi berpendapat bahwa satu khutbah sudah cukup. Diriwayatkan juga dari Imam Ahmad yang menunjukkan hal ini, karena beliau berkata: "Khutbah itu tidak boleh selain seperti khutbah yang dilakukan oleh Nabi SAW," atau "khutbah yang sempurna”. (Dar al-Alam al-Kutub Riyadh - Arab Saudi, cet: 3 tahun 1997, juz 3 hal. 173).
Dalam hukum Islam, masing-masing ulama dari empat mazhab memiliki pandangan yang berbeda tentang pembacaan shalawat dalam khutbah Jumat. Hal ini yang berkonsekuensi terhadap keabsahan khutbah ketika khatib tidak membaca shalawat.
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalawat bukanlah rukun khutbah, melainkan sunnah sebagai penyempurna. Jika khatib tidak membaca shalawat, khutbah tetap sah. Karena yang paling pokok dalam khutbah adalah zikir atau mengingat Allah. Dalam kitab Al-Binayah Syarh Al-Hidayah, Badruddin Al-'Aini, menyebutkan:
فَإِنِ اقْتَصَرَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ جَازَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ - رَحِمَهُ اللهُ - ش: إِطْلَاقُ كَلَامِهِ يَقْتَضِي أَنْ يَجُوزَ بِمُجَرَّدِ قَوْلِ اللهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُقْرِنَ بِهِ شَيْئًا كَالْحَمْدِ وَسُبْحَانَ اللهِ، لِأَنَّهُ ذِكْرُ اللهِ، وَلَكِنَّ الرِّوَايَةَ فِي "المَبْسُوطِ" وَغَيْرِهِ أَنَّهُ إِذَا خَطَبَ بِتَسْبِيحَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ بِتَهْلِيلٍ أَوْ بِتَحْمِيدٍ أَجْزَأَهُ فِي قَوْلِهِ
Baca Juga
Membaca Shalawat untuk Nabi
Artinya: “Jika khatib hanya menyebut nama Allah (ذِكْرِ اللهِ) dalam khutbahnya, hal itu dianggap cukup menurut Imam Abu Hanifah - semoga Allah merahmatinya. Pernyataan ini secara umum menunjukkan bahwa cukup hanya dengan mengucapkan ‘Allah’ tanpa harus menyertakan kalimat lainnya seperti ‘Alhamdulillah’ atau ‘Subhanallah’, karena itu sudah termasuk zikir kepada Allah. Namun, menurut riwayat dalam kitab Al-Mabsuth dan lainnya, apabila khatib berkhutbah hanya dengan satu kali tasbih (‘Subhanallah’), atau tahlil (‘La ilaha illallah’), atau tahmid (‘Alhamdulillah’), maka itu sudah dianggap cukup dalam pandangannya (Imam Abu Hanifah).” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah - Beirut, Lebanon cet: 1 tahun 2000 M], juz 3 hal. 58)
Hal yang serupa disampaikan juga oleh Ala' al-Din Abu Bakr bin Mas'ud al-Kasani al-Hanafi dalam kitab Bada'i' al-Sana'i' terkait dengan kesunahan membaca shalawat pada Nabi dalam khutbah sebagai berikut:
عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ أَنَّهُ قَالَ: يَنْبَغِي أَنْ يَخْطُبَ خُطْبَةً خَفِيفَةً يَفْتَتِحُ فِيهَا بِحَمْدِ اللَّهِ تَعَالَى وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيَتَشَهَّدُ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَيَعِظُ وَيُذَكِّرُ وَيُقْرَأُ سُورَةً ثُمَّ يَجْلِسُ جِلْسَةً خَفِيفَةً، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ خُطْبَةً أُخْرَى يَحْمَدُ اللَّه تَعَالَى وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيّ ﷺ وَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
Artinya: “Dari Abu Hanifah. Beliau berkata: “Seyogianya khatib menyampaikan khutbah yang ringkas, di mana ia membuka dengan memuji Allah Ta'ala, mengagungkan-Nya, mengucapkan syahadat, membaca shalawat atas Nabi menyampaikan nasihat dan pengingat, lalu membaca satu surah. Setelah itu, ia duduk sebentar, kemudian berdiri lagi untuk menyampaikan khutbah kedua dengan kembali memuji Allah Ta'ala, mengagungkan-Nya, membaca shalawat atas Nabi dan mendoakan kaum mukminin dan mukminat.” (Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah – Bairut cet: 1 2006, juz 1 hal. 236).
Argumentasi dari Hanafiyah yaitu ayat Al-Qur’an dan juga praktiknya Sayyidina Utsman yang dianggap konsensus.
{فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ} [الجمعة: 9]
Artinya: “Maka bersegeralah kalian menuju zikir (mengingat) Allah…”(QS. Al-Jumu'ah: 9)
Menurut kalangan Hanafiyah, lafal "dzikir Allah” yang terdapat dalam ayat ini bermakna khutbah dan status lafalnya mutlak sehingga diberlakukan kemutlakannya. Yaitu khutbah tanpa membedakan antara sedikit atau banyak. Selain itu juga ada riwayat bahwa ketika Utsman naik mimbar pada Jumat pertama yang dia pimpin, beliau berkata: "Alhamdulillah," kemudian beliau terdiam (yaitu, terhenti berbicara), lalu turun dan shalat. Kejadian ini disaksikan oleh para ulama sahabat, namun tidak ada yang mengingkari perbuatannya. Hal ini menunjukkan bahwa cukup dengan mengatakan kalimat tersebut. (Juz 1 hal. 238).
Mazhab Maliki
Menurut Mazhab Maliki, ada dua riwayat terkait dengan shalawat dalam khutbah. Namun yang masyhur yaitu shalawat adalah sunnah yang sangat dianjurkan dalam khutbah. Karena rangkaian dalam khutbah adalah perkataan apapun yang oleh orang Arab dianggap khutbah sebagaimana riwayat dari Ibnu al-Qasim. Oleh karena itu, khutbah tetap sah meskipun tidak disertai shalawat.
قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: وَأَقَلُّهُ مَا يُسَمَّى خُطْبَةً عِنْدَ الْعَرَبِ، وَقِيلَ: [أَقَلُّهُ] حَمْدُ اللَّهِ وَالصَّلاةُ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيماً وَتَحْذِيرٌ وَتَبْشِيرٌ وَقُرْآنٌ
Artinya: “Ibnu al-Qasim mengatakan, minimal khutbah adalah yang bisa dianggap sebagai khutbah oleh masyarakat Arab. Ada juga pendapat yang mengatakan, minimalnya adalah pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, peringatan, kabar gembira, dan pembacaan ayat Al-Qur’an.” (Jamaluddin Ibn al-Hajib al-Kurdi al-Maliki, Jami' al-Ummihat, [Al-Yamamah, cet: 2, tahun 2000] hal. 123).
واختلف في أقل الخطبة على قولين: فقال ابن القاسم أقل ذلك ما يسمى خطبة عند العرب، وقيل أقله حمد الله والصلاة على نبيه صلى الله عليه وسلم وتحذير وتبشير وقرآن قاله ابن العربي
Artinya: “Para ulama berbeda pendapat mengenai batas minimal khutbah dalam dua pendapat. Ibn al-Qasim berkata bahwa batas minimalnya adalah sesuatu yang dianggap sebagai khutbah oleh orang-orang Arab. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa minimalnya adalah pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, peringatan, kabar gembira, dan pembacaan Al-Qur’an. Pendapat ini disampaikan oleh Ibn al-‘Arabi," (Qasim bin Isa bin Naji al-Tunukhi al-Qayrawani, Sharh Ibn Naji al-Tunukhi ‘ala Matn al-Risalah, [Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut - Lebanon, cet: 1 2007], juz 1 hal: 229).
Mazhab Syafi’i
Menurut Mazhab Syafi’i, membaca shalawat dalam khutbah adalah rukun yang wajib dipenuhi dalam dua khutbah, baik pertama maupun kedua. Jika khatib tidak membaca shalawat, maka khutbah dianggap tidak sah. Imam Nawawi dalam kitab Minhāj al-Thālibīn menyatakan:
وَأَرْكَانُهُمَا خَمْسَةٌ: حَمْدُ اللَّهِ تَعَالَى وَالصَّلاَةُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَفْظُهُمَا مُتَعَيِّنٌ وَالْوَصِيَّةُ بِالتَّقْوَى وَلَا يَتَعَيَّنُ لَفْظُهَا عَلَى الصَّحِيحِ وَهَذِهِ الثَّلاَثَةُ أَرْكَانٌ فِي الْخُطْبَتَيْنِ وَالرَّابِعُ: قِرَاءَةُ آيَةٍ فِي إِحْدَاهُمَا وَالْخَامِسُ: مَا يَقَعُ عَلَيْهِ اسْمُ دُعَاءٍ لِلْمُؤْمِنِينَ فِي الثَّانِيَةِ
Artinya: “Adapun khutbah Jumat, terdapat dua khutbah sebelum shalat, dan rukun-rukun khutbah ada lima: pertama, memuji Allah; kedua, bershalawat kepada Rasulullah SAW; ketiga, nasihat tentang takwa; keempat, membaca ayat al-Qur'an dalam salah satu khutbah; kelima, doa untuk kaum Muslimin pada khutbah kedua," (Dar al-Fikr, cet: 1 tahun: 2005 M], halaman: 48)
Argumentasi yang diajukan sebagai landasan keharusan membaca shalawat dalam khutbah yaitu adalah analogi kepada azan dan shalat. Di mana setiap kali Allah disebut, maka Nabi Muhammad juga disebutkan. Selain itu, hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah. (Muhammad Khatib as-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, [Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah - Bairut, cet: 1, 1997], juz. 1 hal. 550).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ - «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَجَعَلْتُ أُمَّتَكَ لَا تَجُوزُ عَلَيْهِمْ خُطْبَةٌ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنَّك عَبْدِي وَرَسُولِي».
Artinya: “Dari Abu Hurairah - semoga Allah meridhainya - bahwa Nabi SAW bersabda: "Allah Ta'ala berfirman: 'Aku menjadikan umatmu tidak akan diterima khutbah mereka hingga mereka bersaksi bahwa engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku.” (HR. Al-Baihaqi).
Mazhab Hanbali
Dalam Mazhab Hanbali, pembacaan shalawat juga merupakan rukun khutbah. Khatib wajib membaca shalawat pada khutbah pertama dan kedua. Jka shalawat tidak dibaca maka khutbah tidak sah. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni menyatakan:
ويُشْتَرَطُ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ منهما حَمْدُ اللهِ تعالى، والصَّلَاةُ على رسولِه -صلى اللَّه عليه وسلم-؛
Artinya: “Diperlukan dalam setiap khutbah untuk memulai dengan pujian kepada Allah dan shalawat atas Rasulullah SAW," (Dar al-Alam al-Kutub Riyadh - Arab Saudi, cet: 3 tahun 1997, juz 3 hal. 173).
Argumentasi dari kalangan Hanabilah yang mengategorikan shalawat sebagai rukun khutbah yaitu, pertama, berdasar hadits Nabi dalam penafsiran (QS. Asy-Syarh: 1-4) yang bersabda, “Aku (Allah) tidak disebutkan kecuali Engkau (Nabu Muhammad) disebutkan bersama-Ku”. Kedua, analogi di mana dianalogikan pada tasyahud dan azan.(Dar al-Alam al-Kutub Riyadh - Arab Saudi, cet: 3 tahun 1997, juz 3 hal. 173).
Dari paparan ini, maka terkait dengan kasus khatib tidak membaca shalawat pada khutbah kedua, bisa dipetakan sebagai berikut:
- Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali, khutbah kedua tanpa shalawat dianggap tidak sah, yang berdampak pada ketidakabsahan khutbah secara keseluruhan serta ketidakabsahan shalat Jumat.
- Menurut Mazhab Maliki dan Hanafi, khutbah kedua tetap sah meskipun tanpa shalawat, namun sebaiknya tetap dibaca untuk kesempurnaan khutbah.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang mayoritas mengikuti Mazhab Syafi’i, bila khatib lupa membaca shalawat dalam khutbah, lalu ingat ketika masih di mimbar atau sudah turun tapi belum lama waktunya maka hendak langsung membaca shalawat tersebut. Menimbang tidak ada tertib dalam rukun-rukun khutbah sebagaimana Imam Nawawi menukil dari pendapat Imam al-Mawardi.
Moh Soleh Shofier, Pegiat Literasi Pesantren dan Alumnus Ma’had Aly Situbondo