Syariah

Ragam Hukum Janin dalam Fiqih Islam

Senin, 12 Agustus 2024 | 16:45 WIB

Ragam Hukum Janin dalam Fiqih Islam

Hukum Janin dalam Fiqih Islam (pixabay)

Allah telah menjadikan manusia sebagai sebaik-baik ciptaan. Islam menjelaskan bahwa Allah swt menciptakan manusia berasal dari tanah, kemudian menjadi nuthfah, ‘alaqah, dan mudghah, sehingga akhirnya menjadi makhluk paling sempurna dan memiliki berbagai kemampuan. 
 

Salah satu tahap kehidupan yang di lalui manusia adalah kehidupan sebagai janin. Lalu apa saja hukum yang berkaitan dengan janin dalam fiqih Islam? 
 

Perbedaan Usia Janin dengan Siqthu

Kamus Besar Bahasa Indonesia menguraikan arti ‘janin’ sebagai:

  1. bakal bayi (masih dalam kandungan), dan
  2.  embrio setelah melebihi umur dua bulan.


Dalam kitab-kitab fiqih pun, kita akan dengan mudah menemukan penjelasan yang hampir senada mengenai pengertian janin. Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan:
 

الإنسان ما دام في بطن أمه يقال له جنين، لاجتنانه واستتاره
 

Artinya, “Selagi manusia masih di dalam kandungan seorang ibu, maka ia dinamai dengan ‘janin’. Ia dinamakan demikian karena statusnya masih tertutup dan tersembunyi dalam kandungan ibunya.” (Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Syarhi Ibni Qasim, [Kairo, Darul Hadits: tt], juz I, halaman 16).
 

Adapun siqthu, Ibnu Mandzur mendefinisikan:
 

السَّقْطُ، بِالْفَتْحِ وَالضَّمِّ والكسرِ، والكسرُ أَكثر: الْوَلَدُ الَّذِي يَسْقُطُ مِنْ بَطْنِ أُمه قَبْلَ تَمامِه
 

Artinya, “Lafal siqthu baik difathah, didhammah ataupun dikasrah huruf sinnya (siqthu) mempunyai makna anak yang keluar dari kandungan perut ibunya sebelum sempurna masa hamilnya.” (Lisanul ‘Arab, [Beirut, Daru Shadir: 1414 H], juz VII, halaman 316).
 

Sedangkan mengenai usia kandungannya berapa bulan, Syekh As-Syirwani mengutip penjelasan Ibnur Rif'ah:
 

وَقَدْ قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ فِي الْكِفَايَةِ نَقْلًا عَنْ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ السِّقْطُ مَنْ وُلِدَ قَبْلَ تَمَامِ مُدَّةِ الْحَمْلِ وَقِيلَ: هُوَ مَنْ وُلِدَ مَيِّتًا فَتَرْجِيحُهُ الْقَوْلَ الْأَوَّلَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْمَوْلُودَ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ مَوْلُودٌ لَا سِقْطٌ فَلَا يَدْخُلُ ضَابِط أَحْكَامِ السِّقْطِ اهـ
 

Artinya, “Ibnu Rif’ah dalam kitab Al-Kifayah menukil pendapat Syekh Abu Hamid berpendapat, siqthu adalah bayi yang lahir sebelum sempurnanya masa kehamilan. Ada juga yang berpendapat siqthu adalah bayi yang lahir dalam keadaan sudah mati.
 

Tarjih Abu Hamid pada pendapat pertama menunjukkan bahwa bayi yang lahir setelah usia kandungan enam bulan disebut sebagai ‘maulud’ (bayi yang lahir secara sempurna), bukan dinamakan sebagai ‘siqthu’, sehingga bayi tersebut tidak masuk dalam batasan hukum-hukum yang berkaitan dengan siqthu.” (Hawasyis Syirwani, [Beirut, Daru Ihya’i Turats ‘Arabi: tt], juz III, halaman 163).
 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa janin adalah keadaan manusia masih berada dalam kandungan ibunya. Adapun alasan manusia dalam kondisi seperti itu disebut sebagai janin adalah karena masih tertutup dan tersembunyi dalam kandungan ibunya, belum bisa terlihat jelas. 
 

Sedangkan siqthu adalah bayi yang keluar dari kandungan ibunya sebelum masa kehamilannya sempurna (sebelum usia enam bulan kandungan), atau yang sering kita sebut sebagai bayi keguguran.
 

Ragam Hukum Seputar Janin

Dalam fiqih Islam, pembahasan janin sendiri biasanya dikaitkan dengan cara mengurus jenazah yang masih berwujud janin. Ulama membedakan tata cara pengurusan jenazah janin dengan jenazah yang sudah dewasa.
 

Syekh Zainuddin Al-Malibari menjelaskan jenazah yang masih dalam wujud janin sebagai berikut:
 

ووري أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا
 

Artinya, “Dan mayat siqthu wajib dibungkus dengan kain dan dikubur, sama dengan mayat anak kecil non muslim yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun, keduanya tidak wajib dimandikan, namun sekadar boleh. 
 

Dikecualikan dari siqthu adalah gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Keduanya sunah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila siqthu terlahir setelah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan.
 

Namun jika setelah lahir siqthu bergerak atau bersuara, maka ia wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).” (Fathul Mu‘in, [Beirut, Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyah: tt], halaman 220). 
 

Syekh Nawawi Al-Bantani memaparkan penjelasan yang hampir sama:
 

أما النَّازِل بعد تَمام الْأَشْهر وَهُوَ سِتَّة أشهر فكالكبير مُطلقًا وَإِن نزل مَيتا وَلم يعلم لَهُ سبق حَيَاة وَقَالَ الشبراملسي وَإِن لم يظْهر فِيهِ تخطيط وَلَا غَيره حَيْثُ علم أَنه آدَمِيّ إِذْ هُوَ خَارج من تَعْرِيف السقط وَخرج بِالسقطِ الْعلقَة والمضغة لِأَنَّهُمَا لَا يسميان ولدا فيدفنان ندبا من غير ستر
 

Artinya, "Adapun janin yang lahir setelah enam bulan sempurna, maka hukumnya seperti orang dewasa secara mutlak, meskipun lahir dalam keadaan meninggal dunia dan tidak diketahui sebelumnya ada tanda-tanda kehidupan.   
 

As-Syubramallisi berkata: 'Meskipun belum tampak bentuknya (takhthith) yang jelas ataupun tanda-tanda lainnya sekira diketahui bahwa itu adalah manusia, karena ia keluar dari definisi janin yang gugur (siqthu).   
 

Dikecualikan dari istilah janin gugur (siqthu) adalah 'alaqah (zigot) dan mudghah (embrio) karena keduanya tidak disebut sebagai anak.' Karena itu, mereka disunahkan dikuburkan tanpa perlu ditutupi kain kafan." (Nihayatuz Zain, [Beirut, Darul Fikr], halaman 156).    
 

Sayyid Al-Bakri menyimpulkan hukum janin yang masuk kategori siqthu secara baik sebagai berikut:

  1. Jika lahir sebelum 4 bulan maka wajib dikafani dan dikubur.
  2. Jika lahir setelah 4 bulan maka diperinci lagi:
    (a) jika setelah lahir tidak bergerak-gerak dan bersuara maka wajib dimandikan, dikafani, dan dikubur, tanpa dishalati; dan
    (b) jika setelah dilahirkan ia bergerak-gerak atau bersuara maka wajib dimandikan, dikafanim dishalati dan dikuburkan. (I'anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 123).
 

Hukum Janin dalam Keputusan Munas NU 2014

Di antara keputusan bahtsul masail dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2014 adalah tentang hukum aborsi yang dilatarbelakangi polemik legalisasi aborsi. Pembahasan aborsi ini juga menyinggung soal janin.
 

Dalam keputusan disebutkan, pada dasarnya hukum melakukan aborsi adalah haram. Namun dalam keadaan darurat yang dapat mengancam ibu dan/atau janin, aborsi diperbolehkan berdasarkan pertimbangan medis dari tim dokter ahli.
 

Hukum aborsi akibat perkosaan adalah haram. Namun sebagian ulama memperbolehkan aborsi sebelum usia janin berumur 40 hari terhitung sejak pembuahan.
 

Ulama yang memperbolehkan aborsi dalam batas waktu tersebut antaranya adalah Abu Ishaq Al-Marwazi dari mazhab Syafi’i sebagaimana dikutip Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj:
 

وَاخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ التَّسَبُّبِ إلَى إلْقَاءِ النُّطْفَةِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهَا فِي الرَّحْمِ فَقَالَ أَبُو إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ يَجُوزُ إلْقَاءُ النُّطْفَةِ وَالْعَلَقَةِ
 

Artinya, “Ulama berbeda pendapat akan kebolehan menyebabkan keguguran gumpalan mani setelah berada dalam rahim. Abu Ishaq Al-Marwazi berkata: ‘Boleh menggugurkan gumpalan mani dan darah.” ([Beirut, Darul Ihya’it Turats: t.t.], juz VII, halaman 186).
 

Demikianlah beberapa hukum yang berkaitan dengan janin menurut Fiqih Islam. Masih ada hukum lain berkaitan dengan janin yang belum dapat tertuang dalam tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat. Amin. Wallahu a’lam.


Ustadz M Ryan Romadhon, Alumni Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo, Jawa Tengah