Royalti Musik dalam Islam: Antara Etika, Hak Cipta, dan Perlindungan Karya
Jumat, 15 Agustus 2025 | 16:00 WIB
Beberapa waktu terakhir, marak pemberitaan mengenai kafe dan restoran yang dikenai tuntutan hukum untuk membayar royalti terhadap lagu-lagu yang sudah memiliki copyright. Polemik mengenai royalti musik ini mencuat setelah seorang Direktur Outlet Mie Gacoan cabang Bali ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan memutar lagu komersial tanpa membayar royalti.
Hal ini kemudian memicu pertanyaan, apakah memutar lagu di tempat umum seperti cafe atau restoran, tanpa izin dari pemilik hak cipta diperbolahkan secara hukum? Bagaimana pandangan Islam terkait royalti dan hak cipta?
Sebagai disclaimer, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung salah satu dari kedua belah pihak. Karena, setiap pihak memiliki argumen masing-masing untuk menguatkan posisinya. Proyeksi tulisan ini lebih kepada memaparkan perspektif Islam, khususnya fiqih terkait hal cipta dan kekayaan intelektual.
Pada dasarnya, Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan hak finansial setiap individu. Hal ini terbukti dari prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam (maqashidus syari’ah) yang salah satu proyeksinya adalah untuk menjaga harta (hifdzul mal). Prinsip ini yang kemudian melandasi seluruh hukum-hukum muamalah dalam Islam sehingga diharapkan tidak ada tindakan semena-mena.
Baca Juga
Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik
Ketentuan mengenai hak cipta atau royalti memang tidak dijumpa dalam diskursus fiqih klasik. Namun, para ulama telah meletakkan prinsip dasar yang menjadi acuan bagi cendikiawan muslim kontemporer dalam menetapkan hukum-hukum baru yang belum ditemukan di masa lampau.
Dalam fiqih kontemporer, dikenal istilah huquq ma’nawiyah atau huququl ibtikar. Syekh Usman Syabir mendefinisikannya sebagai:
الحقوق المعنوية هي سلطة لشخص على شيئ غير مادي سواء أكان نتاجا ذهنيا كحق المؤلف في المصنوعات العلمية والأدبية أم براءة اختراع في المخترعات الصناعية أم ثمرة لنشاط تجاري يقوم به التاجر لجلب العملاء كما في الاسم التجاري و العلامة التجارية
Artinya, "Huquq ma’nawiyah (hak immaterial) adalah wewenang seseorang terhadap sesuatu yang bersifat non materi, baik itu berupa hasil kreatifitas pemikiran seperti hak paten dalam bidang ilmu dan seni, penemuan baru dalam bidang industri, atau buah dari usaha seorang pedagang untuk menarik pelanggan seperti label dan merek dagang." (Al-Mu’amalatul Maliyah Al-Mu'ashirah, [Yordania, Darun Nafais: 2007], halaman 37).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa segala bentuk kreatifitas atau hasil karya baik di bidang pengetahuan, seni industri dan lain sebagainya, merupakan hak yang mendapat legitimasi. Ini berarti bahwa hasil karya tersebut posisinya sama dengan harta riil pada umumnya.
Para ulama menyebutkan bahwa harta itu ada yang berbentuk barang berwujud, ada pula yang abstrak hanya berupa manfaat. Imam Az-Zarkasyi menjelaskan:
الْمَالُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ أَيْ مُسْتَعِدًّا؛ لَأَنْ يُنْتَفَعَ بِهِ وَهُوَ إمَّا أَعْيَانٌ أَوْ مَنَافِعُ
Artinya, "Harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau berpotensi untuk dimnfaatkan. Adakalanya harta itu berupa benda berwujud atau manfaat (nilai guna)." (Al-Mantsur, [Kuwait, Wizaratul Awqaf Al-Kuwaitiyah: 1985], juz III, halaman 222).
Dalam hal ini, musik merupakan hasil karya yang bernilai komersial. Bukan hanya sekedar hiburan, ia merupakan produk kreativitas, hasil kerja keras antara pencipta lagu, penyanyi, pemusik, hingga produser yang terlibat. Di balik satu lagu yang didengar, ada waktu, tenaga dan pemikiran yang dicurahkan.
Syekh Usman Syabir menjelaskan bahwa setidaknya terjadi perselisihan di kalangan ulama terkait apakah hak cipta ini dilegitimasi secara syara atau tidak. Menurut Dr Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi, hasil karya baik dalam ilmu pengetahuan atau kreativitas lain tidak boleh dikomersialkan. Alasannya karena hal tersebut dianggap tindakan menyembunyikan pengetahuan yang itu dilarang dalam syariat.
Namun, mayoritas ulama kontemporer seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syekh Musthafa Az-Zarqa dan lain-lain berpandangan bahwa hak cipta dilegitimasi secara syara’ dan boleh dikomersialkan. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hasil kreativitas dalam bidang apapun termasuk harta dalam kategori manfaat. (Syabir, 43-44).
Jika demikian, maka kreativitas atau hasil karya dalam bidang apapun yang sudah dipatenkan secara syariat sah dianggap sebagai hak milik orang atau pihak yang bersangkutan. Dengan adanya hak paten tersebut, orang atau pihak lain yang ingin menggunakannya harus mendapatkan izin dari pihak yang bersangkutan.
Menukil hasil keputusan Muktamar Fiqih Kuwait, Syekh Wahbah mengatakan:
حقوق التأليف والاختراع أو الابتكار مصونة شرعا، ولأصحابها حق التصرف فيها، ولا يجوز الاعتداء عليها
Artinya, "Hak terhadap sebuah karya tulis, penemuan atau kreativitas dilindungi secara suariat. Pihak yang bersangkutan memiliki hak untuk mengelolanya. Dan pihak lain tidak boleh semena-mena terhadap hasil karya tersebut." (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr, t.th.], juz VII, halaman 5077).
Dengan demikian dapat disimpulkan, hak cipta adalah hak yang dilindungi secara syariat. Sehingga pihak yang ingin menggunakan atau mengomersialkannya harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak terkait. Dalam hal ini berlaku kaidah:
لَا يجوز لأحد أَن يتَصَرَّف فِي ملك الْغَيْر بِلَا إِذْنه
Artinya, “Seseorang tidak boleh men-tashorruf-kan hak milik orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya” (Musthafa Al-Zarqa, Syarul Qawa'idil Fiqhiyah, [Damaskus, Darul Qalam, 1989], hal. 461).
NU dalam keputusan Munas yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Qamarul Huda NTB tahun 1997 juga pernah mengkaji masalah kekayaan intelektual. Meski dalam forum tersebut fokus kajiannya adalah terkait hal cipta dalam karya tulis, namun secara umum ia dapat disamakan dengan karya-karya dalam bidang lain.
Dalam forum tersebut, diputuskan bahwa hak kekayaan intelektual adalah hak yang diakui secara syara sebagai hak milik dan dapat diwariskan kepada ahli waris. Sehingga pihak lain yang ingin memanfaatkannya harus mendapatkan izin dari pemilik.
Hak Cipta dalam Hukum Positif
Dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Adapun karya yang dilindungi adalah dalam bentuk benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, dan merek dagang dan benda yang berwujud berupa informasi, teknologi, sastra, seni, keterampilan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 9 ayat (2), dijelaskan bahwa penggunaan lagu secara komersial, termasuk diputar di kafe, restoran atau pusat perbelanjaan, harus disertai izin dan pembayaran royalti. Sehingga, penggunakan yang bersifat individu dan tidak ada tujuan komersial tiodak dikenakan kewajiban membayar royalti.
Dua undang-undang di atas merupakan bentuk apresiasi dan afirmasi negara terhadap hak cipta. Dalam hal ini, segala jenis karya, penemuan artau kreativitas yang sudah dipatenkan menjadi hak milik pribadi yang diakui oleh syariat dan negara. Pihak lain tidak boleh menggunakannya untuk tujuan komersial tanpa izin dari pemegang hak paten.
Mereka yang mempergunakan hasil karya tersebut harus membayar royalti kepada pemilik hak melalui lembaga manajemen kolektif nasional (LMKN). LMKN adalah lembaga yang dibuat khusus untuk mengelola royalti hak cipta lagu dan musik. Selanjutnya, LMKN inilah yang akan menyalurkan royalti tersebut kepada pemilik hak.
Namun, Undang-undang yang mengatur masalah tersebut juga harus diatur dengan jelas dan detail. Hal ini untuk menutup kemungkinan simpang siur dan penafsiran berbeda mengenai pasal-pasalnya. Penyusunan undang-undang tersebut tentunya juga mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat pada umumnya. Jangan sampai kewajiban membayarkan royalti ini memberikan beban kepada pihak-pihak atau pengusaha-pengusaha kecil yang omsetnya tidak seberapa.
Pemerintah juga harus transparan terkait regulasi ini. Jika royalti yang dibayarkan oleh pengguna tidak diawasi dengan regulasi yang ketat, khawatir akan disalahgunakan dan dialokasikan kepada pihak yang seharusnya tidak berhak.
Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat terkait hak cipta ini juga penting dilakukan. masyarakat perlu mengetahui apa dan bagaimana regulasi yang ada karena tidak sedikit masyarakat yang minim literasi terkait hak cipta dan royalti serta apa saja yang harus dibayarkan royaltinya. Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Zainul Mujahid, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo.